Kolom Nisa Alwis: PARTY

Apakah kamu suka party? Suka nggak suka, nyatanya orang Indonesia paling suka pesta. Bahasa lainnya adalah ‘walimah’. Sebelum lahir sudah hajat 7 bulanan. Pas lahir upacara lagi aqikahan, sunatan, lamaran, walimatussafar, walimatulursy, maulidan, haul, rajaban, banyak lagi yang sudah jadi tradisi. Kerabat, tetangga diundang datang ke pesta. Cantik tampan wangi semua bertemu muka dan makan bersama.

Lebih meriah bila ada panggung hiburannya, disusul ceramah kyai kondang malam harinya. Sempurna.




Tapi judul kali ini bukan tentang itu. Kita melongok Political Party, boleh ya. Bukan tentang pesta, melainkan organisasi politik dengan ideologi tertentu atau dibentuk dengan tujuan umum. Ia juga kelompok terorganisir yang anggotanya punyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Nah! Ini bisa saja gak begitu penting, tapi sering bikin pusing seolah genting

Apakah kamu anggota partai politik? Saya tidak. Jutaan orang lain pun sama, bukan anggota partai mana-mana. Parpol cuma wadah, bukan isi Sembako di dapur rumah. Juga bukan rukun tetangga, rukun warga. Bahkan sampai di pemilihan umum pun, banyak orang langsung mencoblos ‘orang’. Partainya apa itu bukan urusan.

Sebagian orang ada pula yang sebaliknya, memandang partai itu utama. Siapapun bagaimanapun orangnya tutup mata, yang penting partainya. Itu sah-sah saja. Namun tanyalah lagi buat apa fanatik pada sebuah PARTAI politik, karena pada akhirnya adalah tampilan ‘manusianya’. Bukankah Partai cuma nama dan benda mati tanpa manusia yang menjalani.

Maka selayaknya kita melihat apakah orang yang terpilih di bawah Parpol tersebut mampu bekerja dan amanah. Bila tidak, seagung apapun slogan sebuah partai, mengaku partai Tuhan sekalipun, tidak berarti otomatis kedudukan partainya naik tinggi. Apalagi di arsy tataran kemuliaan Tuhan. Mimpi.

Belakangan ini, politisi di barisan oposisi memang sampai membawa Tuhan, setan, bahkan iblis dan dajal di arena kontestasi. Apakah kata-kata ghaib itu pada publik bisa dijual? Sebagian percaya saja tanpa mengkitisi, sebagian lainnya justru segera tahu itu awal dari pikiran membual. Sebab yang nyata dalam gerakan politik adalah tujuan utama: ‘memanusiakan manusia’. Bukan membawa hal-hal gaib yang tak jelas rimbanya.




Kini saat polarisasi semakin menjadi-jadi, sebagian orang gamang melihat partai pemenang. PDIP, diberi stigma sebagai partai non-Islam bahkan PKI. Saya beberapa kali mendengar obrolan warga yang senang pada Jokowi, tapi tidak suka pada partainya yang dalam bahasa mereka partai ‘nggak jelas’. Serangan dari lawan politik nampaknya membuahkan hasil. Sampai masyarakat awam mengabaikan HASIL kerja yang jelas akibat dijejali terpaan isu dan hoax rendah dan tidak jelas

Sekarang, bila maksudnya adalah ingin yang Islami, partai mana yang Islami? Bukan sekedar jargon, tapi putih murni tanpa seleweng dan korupsi? Tak pernah ada. Justru partai yang menghembus-hembus Islam, presidennya sendiri dijerat KPK secara sah dan meyakinkan. Malah kamuflase tindak korupnya pakai istilah agama: liqo, juz dll. yang artinya duit-duit dan duit. Agama tak pernah sampai untuk disandarkan di tubuh partai.

Seorang santri yang banyak membaca buku Bung Karno, bercerita pada saya bagaimana ia bisa berada di PDIP yang menurutnya konsisten menanamkan semangat membangun negeri, toleransi, dll. dalam nilai-nilai Pancasila.

“Bagaimana mungkin partai nasionalis ini anti Islam, sedangkan para pengurus dan anggotanya mayoritas Islam. Suatu saat masyarakat akan sampai pada rasionalitasnya,” ujarnya kalem dan yakin.

#majulah_indonesia
#haveagoodfriday
#salam_hangat



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.