Kolom Nisa Alwis: SANG RATU

Sekian tahun di awal kehidupanku adalah kebersamaan dengan Ende Dones. Terlebih ketika kedua orangtua masih pergi merantau. Betapa tabahnya nenekku, berbagi kamar dengan cucu yang cupu. Sepulang sekolah dia akan bermain dengan teman-temannya entah ke mana, dan nanti kembali dengan baju yang kadang basah berbau tanah.

Aku harus mandi dan berseka, karena malamnya kami tidur bersisian di ranjang yang sama. Ranjang besi dengan kelambu putih tipis menjuntai hingga lantai. Di siang hari bagian tengah tirai disibakkan ke tepi. Seperti jendela yang juga terbiar membuka, agar hawa segar menyusup masuk ke dalam kamar.

Sesekali Ende menanyai sekolahku, temanku, dan lain-lain. Aku cukup duduk di samping, menjawab Ende yang juga duduk atau berbaring. Ia kerap memintaku memijat betisnya, pijatan separuh tenaga saja, sambil menyimak nasehat dan cerita singkat. Termasuk tentang mendiang suami, Kyai Ibrahim, kakekku, yang tutup usia saat aku kelas satu. Samar-samar aku ingat, Ende Ibrahim senang berpakaian khas seorang pangeran. Bukan pangeran di tahta istana, tapi Pangeran Dipenegoro tak berkuda.

Berjubah gelap panjang dengan udeng lekat di kepala, berjalan pulang dari masjid sehabis sembahyang isya. Sebuah tongkat kayu menjadi teman setianya. Ulama bersahaja. Mengajar ratiban dan marhaban di kampung tercinta. Pernah dicari Belanda dan lari sembunyi di hutan rimba, dianggap orang berbahaya.




Sang Kyai senang memanjakan istri dengan caranya sendiri. Ia menempatkan Ende Dones sebagai ratu dan permaisuri. Tugas utama ditunaikannya; mengandung, menyusui, memberi didikan dan perhatian pada anak dan suami. Meski ada bantuan pekerja, bagi Ibrahim turun langsung ke dapur itu biasa. Menyalakan tungku api, memasak air dan mengisi kendi, hingga mengolah daging sapi ia senang melakukannya. Dones ada melengkapi damai suasana, di singgasananya.

Ende Dones banyak mengisi waktunya untuk tilawah. Mengaji dengan suara rendah, hanya didengar dirinya atau yang sangat dekat padanya. Mushaf alQuran hampir setiap waktu dalam genggaman tangan. Selain karena ibadah, baginya mengaji juga serupa hobi, menyenangkan hati. Saat sejenak rehat, ia biasanya beranjak mencabut rumput di halaman depan, menikmati suguhan rebus umbi-umbian, atau melenggang menuju rumah saudarinya: rumah Fatmah.

Suatu hari waktu main sore-sore di halaman tetangga, tanpa terukur aku sembarang mengangkat teman yang berbadan subur. Pinggangku mendadak ngilu, dan tak tahan aku menangis tersedu. Rupanya Ende mendengar dan terganggu tangisanku. Aku menyesal karena kulihat ia marah di teras rumah. Kedua tangannya melintang di pinggang. Teman-temanku sebagian menolong, yang lainnya terdiam, ada pula yang kabur sembunyi di rumah kolong. Ende berteriak:

“… Ayo, berhenti bermain! Semua yang bernama main itu mengundang setan!” kami terdiam.

Bermain itu menyenangkan, Ende. Kalau setan itu menyeramkan. Aku cepat-cepat berhenti menangis. Jangan sampai Ende lebih murka lagi. Semakin banyak setan nanti di sini. Rasa sakit dan ngilu juga sudah reda. Dan tadi maksudku pun bukan cengeng untuk dibela.

Kami ke pasar dalam setahun bisa dihitung jari, hanya berapa kali. Lumayan jauh juga, dan harus berjalan kaki. Hanya buka tiap Rabu dan Minggu, namanya pasar Kadukacang. Bila aku diajak, rasanya di lots padagang kain paling senang. Rupa-rupa pakaian bagus dan tentunya baru dipajang. Pasar bagiku adalah sebuah parade pertunjukan. Seru, dan aku tak hendak meminta beli ini itu. Mengiringi saja kemana Ende melangkah, dan melihat-lihat orang dewasa tawar-menawar harga, itu indah. Di sana kami juga tak berlama-lama. Biasanya sebelum pulang Ende membeli kue pancong, roti moho, atau apem kuning bertabur gula merah. Siapapun melihatnya, tak tertahan meleleh liur di lidah.

Kata Ende, tak usah sering-sering ke pasar bila tidak penting sekali. Di tempat keramaian seperti itu banyak setan berkeliaran. Ah, setan lagi. Baru aku pahami peringatan Ende ini sekarang. Banyak setan, maksudnya ialah banyak godaan. Saat di pusat belanja begitu banyak manusia yang mungkin diantara mereka ada yang berniat durjana, kita waspada. Tak hanya itu, yang mesti diwaspadai juga adalah setan yang bersemayam di dalam diri. Yang menuntut pada nafsu belanja tanpa kendali. Betul tidak Aa?




Pernah aku bertanya mengapa nama Ende itu “Dones”. Ia menahan tawa, terlihat gigi palsunya yang rapih dan rata. Ende dilahirkan dalam suasana perjuangan nasional. Semangat untuk merdeka membentuk negara yang dihembuskan Douwes Dekker, KH. Agus Salim dan lain-lain di awal abad itu, terdengar hingga ke desa-desa. Mereka mulai menyebut-nyebut nama “Indonesia”. Itulah mengapa nama “Dones” dipilih sang ayah. Ringkas, menyiratkan makna gelora.

Yang lebih ringkas lagi nama sepupunya, yaitu SI (dibaca: es-i), hanya itu. Sang orang tua terinspirasi gerakan Haji Samanhudi, yaitu Sarikat Islam, disingkat SI. Apalah arti sebuah nama, kata William Shakespeare. Andai kamu memberi nama lain untuk bunga mawar, ia tetap akan berbau wangi. Tetapi mawar tetaplah nama yang manis untuk setangkai bunga segar itu. Sama halnya Dones dan Es-i, nama yang unik, dan memiliki nilai kilas balik.

Malam semakin larut, dan obrolan kami akhiri. Kedua mata mulai meredup, tirai kelambu pun ditutup. Tak lupa aku kecilkan dahulu lampu di sudut kamar, di atas meja marmer bundar. Diputar dari level terang menjadi remang-remang. Lalu Ende mengajakku berdoa bersama. Dan terbanglah kami ke cakrawala. Sampai jiwa yang mengembara kembali lagi, kala terjaga subuh nanti. Tidur yang lelap. Nyamuk-nyamuk kecil tak sanggup mengusik kami berdua. Sebab mereka terbang di luar kelambu. Hanya mampu mengintip dan cemburu pada beberapa temannya yang berpesta karena terkurung di dalam ranjang sang ratu dan si cucu cupu. Hahaa.




Yang ini pahit. Ende Dones berkisah tentang momen yang membekas sepanjang hidupnya. Mungkin bukan mistis, meski ada kesan demikian. Insiden awal mula penyebab mata kiri Ende tak lagi sempurna. Semua tahu matanya hanya berfungsi satu. Namun begitu, hingga usia senja, dengan keterbatasan fungsi matanya Ende mampu membaca mushaf kecil tanpa cela.

Ceritanya kala itu Ende sangat kelelahan di pembaringan, baru saja melahirkan anak bungsu yang ternyata kembar, diberi nama; Hasan dan Husein. Sayangnya, Hasan hanya hidup beberapa jam. Husein yang bertahan. Dalam suasana letih dan sedih, tiba-tiba Ende merasa dari jendela ada sosok besar masuk ke dalam kamar dan secepat kilat menaburkan sesuatu, tepat di mata kirinya. Ia gelagapan, dan menjerit kesakitan. Pertolongan diberikan, dan Ende segera dilarikan berobat ke kota dengan dokar kuda menyusuri jalan desa.

Meski lalu dinyatakan sembuh, Ende sudah kehilangan sebelah matanya.Penjelasan medis tentu ada. Apakah sosok besar itu hanya ilusi akibat syndrom baby blues, atau otot mata bisa rusak karena komplikasi proses persalinan, belum aku pastikan. Tidak perlu menganggap ini seram, sebab semua kengerian akan hilang tersapu waktu. Seperti gema hentakan sepatu kuda yang berlari dilecut kemudi di tanah berbatu. Lekas pergi kala bergegas membawa Ende, yang merintih menahan perih di sepanjang jalan itu.

(i’ll see you again)





One thought on “Kolom Nisa Alwis: SANG RATU

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.