Kolom Nisa Alwis: SUSU

Kamu masih ingat cerita tentang Dones dan Fatmah, Sang Ratu, juga Kopi dan Rindu? Itu yang terjadi di sini. Di ruang dan waktu di mana aku hadir dan menapakkan kakiku. Di belahan bumi yang lain, sedang apakah orang-orang yang sosoknya sering datang menari-nari di kepala gadis kecil di kampung kecil ini? Kubagi kisahnya, Ahmad Nurcholis.

Bapakku dulunya kontraktor, orang yang hidupnya mengontrak. Mahasiswa asing tinggal di studio apartemen sambil bawa istri dan anaknya. Pada suatu hari, Ibuku meminta pertolongan padaku, untuk membelikan sekaleng susu. Biasanya aku yang sering minta pertolongan. Ini aneh, bukan? Tentunya aku senang. Dengan perjanjian, uangnya tolong dilebihkan, aku juga mau jajan. Terdengar bagus, seperti saling timbal balik tolong-menolong.

Kemudian melangkahlah aku menuruni tangga apartemen itu dengan gembira. Lalu berjalan ke warung yang hanya 20 meter dari pintu keluar. Bukan pintu kamar ayahku, yah, pintu apartemen di lantai bawah. Itu catatannya.




Aku membeli satu kaleng susu, ukuran biskuit Regal yang ada rantenya. Itu susu bubuk bukan susu cair. Oh maaf di Madinah waktu itu penjual susu tidak pernah merante kalengnya, jadi jangan salah faham yah. Nanti dikira saya menyebut penjual susu di Madinah merante kaleng. Itu kan tidak baik. Oke kita lanjutkan. Kelebihan uang aku belikan biskuit coklat mirip Bengbeng.

Dengan senang aku pulang, membaca salam depan pintu kamar. Ibuku menjawab dan membuka pintu kamar.

“Assalamualaikum, wahai kanjeng ratu. Ini, ananda telah selesai menjalankan perintahmu. Terimalah persembahan susu bubuk sekaleng. Jika diperkenankan ananda ingin istirahat dahulu”.

Itu kira-kira dialogku jika dijadikan drama. Tapi aslinya tidak begitu. Karena setelah pintu dibuka langsung saja aku kasih si susu itu, dan mulutku penuh dengan biskuit cokelat. Tidak ada dialog yang sedramatis itu.

Lalu ibu membuka susu perlahan. Cukup perlahan saja tak perlu buru-buru. Ini kan bukan perlombaan. Santai saja. Tapi ibuku lalu kaget. Kamu juga pasti kaget seperti ibuku. Kenapa dalam kemasan kaleng susu ada kartu? Diambil, diperhatikan dan diterawang. Betul! Secarik kertas kartu lengkap dengan tulisan berbahasa Arab, bukan bahasa Inggris apalagi Sunda.

Ibuku hanya mengerti sedikit saja bahasa Arab, tidak bisa membaca Arab gundul. Ibu bertanya padaku, yang masih mengunyah coklat gigitan terakhir. Mulutku sibuk saat itu. Nah ini seperti perbuatan sia-sia, sebab aku ini masih TK. Belum masuk calistung bahasa Arab juga. Mengapa bertanya padaku, ibu?

Lalu kami pun bersepakat bahwa pesan itu harus dibaca oleh orang setingkat mahasiswa yaitu Bapakku. Saat Bapak pulang, ibu tak membuang waktu menyampaikan penemuan misterius itu, dan segera menyodorkan barang bukti kertas kartu kepadanya.

Bapak dengan cermat komat-kamit membacanya. Kamu menyangka aku dan ibu ikut membaca juga? Oh tentu tidak, kami membiarkan ahlinya mengerjakan tugas dengan baik, kami tenang-tenang saja.

“Alhamdulillah. Mama, Nung, ini hadiah langsung!” ujarnya. “Kertas kartu ini harus kita bawa ke distributornya, ditukar dengan hadiah besar.” Itulah kira-kira ucapan Bapak. Kamu harus tau saat itu sebetulnya aku bingung. Kenapa tiba-tiba ibu Bapakku mengecup aku berkali-kali sambil kegirangan dan bilang alhamdulillah berulang-ulang. Memangnya aku berbuat apa?

Esok harinya mobil sedan merah Bapak menembus padang pasir, menuju alamat yang ada di kartu, menjemput sesuatu. Aku penasaran berharap dapat motor-motoran elektrik yang bisa aku tunggangi. Itulah hasrat terpendamku. Ingin ikut trend anak kecil Madinah saat itu.

Alamat kantor distributor susu itu tidak akan aku sebutkan, sebab itu rahasia perusahaan. Khawatir ada yang menyalahgunakan. Selain rahasia, juga kebetulan aku lupa.

Setiba di tujuan, kami disambut tuan rumah dengan ramah. Sebut saja bang Toyyib namanya. Bapak was wes wos dalam bahasa Arab, dan menyerahkan kertas kartu dari susu yang kubeli di warung itu. Bang Toyyib menerimanya lalu berjongkok di hadapanku tersenyum lucu dan menjabat tanganku. Mohon diingat, yah, tangannya lebih gede dari tanganku.

Bergegaslah mahasiswa dan anak TK ini masuk mengikuti bang Toyyib, lebih dalam ke kawasan itu. Ruangan yang lega. Salah seorang karyawan menghadap bang Toyyib, mendengarkan pengarahan serta instruksi. Mungkin tausiyah juga. Pokoknya pakai bahasa Arab semua. Dan segera kamu akan tahu nasib karyawan itu.

Bang Toyyib ternyata meminta pertolongan padanya supaya mengangkut tiga kardus ukuran besar ke mobil Bapak. Iya, tiga kardus besar. Dua kardus pas di bagasi, satu kardus di kursi belakang. Aku di depan bersama supirku, yaitu Bapakku.




Selama perjalanan pulang hati kami dag dig dug der dor ingin segera tahu apa gerangan isi tiga kardus ini. Entah bagaimana rasanya, yah seperti itulah. Bayangkan ada hadiah tiga kardus besar, saudaraku.

Aku tidak perlu ceritakan teknis pengangkatan kardus-kardus itu ke aparteman oleh Bapakku. Bagaimana usahanya, digotong kah. Bagaimana rasanya mengangkat seberat itu. Aku nilai ini tidak penting. Nah yang aku perlu ceritakan adalah ketika kami membuka salah satu kardus hadiah itu.

Memegang gunting, Bapak membaca bismillah diikuti oleh jamaah yang terdiri dari aku dan ibu. Jengjreng… ternyata kardus itu isinya kaleng-kaleng kecil berisi susu. Sekecil apa? Sebagai referensi gambaran dapat dilihat kira-kira seukuran kaleng susu bubuk terkecil di belakang kasir Alfamaret.

Tiap kardus berisi 20 kaleng, masing-masing kaleng bisa untuk 30 gelas. Jadi kami punya stok susu 60 kaleng. Berapa ratus gelaskah potensi susu diproduksi di rumah ini? Silahkan berhitung sendiri.



Sejak hari itu kami mendeklarasikan tidak akan pernah membeli susu lagi selama persediaan masih ada. Hari itu kami menyatakan gembira luar biasa, tidak ada masalah walau hadiah itu bukan motor-motoran.

Tapi aku harus jujur di sini bahwa aku tidak terlalu suka susu. Ibuku yang paling suka. Bapak juga kurang suka. Entahlah susu di atas susu ini akan tersegel terus hingga berapa lama. Kamu mau?

Suatu hari aku iseng memasukkan setengah gelas air ke dalam salah satu kaleng, bagaikan ilmuwan melakukan penelitian kimia. Kugoyang-goyang dan aduk-aduk dengan sendok dan jari tangan. Hasilnya banyak susu bubuk menempel pada sendok. Bulat-bulat mirip permen. Aku makan dan juga jadi mainan. Ibu dan Bapakku belum tahu.

Setelah itu aku sering melampiaskan permainan ini pada kaleng-kaleng susu yang lain. Saat ibu tahu, aku terkesima. Bagaimana bisa mengelaknya. Siapa lagi di sini yang iseng begitu, kalau bukan aku. Mana mungkin itu perbuatan mahasiswa. Ibu mau marah, tapi idak berteriak. Hanya geleng kepala memicingkan mata, tersenyum kecut. “Astagfirulah,” katanya begitu. Maafkan aku yah.

Tapi eksperimenku berhasil. Susu bubuk yang kujamah itu berubah, semakin menyatu dan mengeras. Dalam kaleng banyak gumpalan-gumpalan berkeliaran. Bahkan ada yang keras seperti kelereng. Ini bukan keajaiban, tapi diusahakan lewat kerja keras tangan-tanganku tadi.

Bagaimanakah nasib akhir kaleng-kaleng susu itu? Tidak akan aku lukiskan. Karena takut terharu. Yang jelas sebagian sudah dibagikan pada teman-teman Bapak. Aku sendiri sekali lagi, jarang minum susu. Paling-paling mencoba memakan susu bulat keras yang hasil ekperimenku, lalu buru-buru dilepeh.

Memory hadiah susu ini sangat melekat bagi kami bertiga, antara aku, Bapak dan ibuku. Sebuah kejutan unik yang tidak pernah terbayangkan juga. Seharusnya adikku juga tahu, tapi waktu itu adikku belum ada. Ibuku bahkan belum mengandungnya. Seharusnya kakak-kakaku juga tahu, tapi mereka tidak ada di sini. Mereka jauh di ujung kampung sana. Entah pernah minum susu atau tidak. Itu bukan tugasku mengetahuinya.

Kejadian ini menjadi kenangan ceria di suatu masa ketika kami di Madinah di pertengahan dekade 80an. Desember 2015, saat Abah duduk lemah di kasur, tampak kurus dan pucat, aku menghadirkan lagi cerita masa lalu itu. Dan Abah tersenyum mengenang. Aku lihat air matanya menggenang. Selaksa ingatan membayang, menghempas dirinya kembali ke masa muda yang penuh energi dan mimpi. Saat tidak terbayang tubuhnya akan menjadi serapuh sekarang ini.

Lalu agak bergetar Abah menyebut nama para sahabat, beberapa diantaranya sudah wafat. Rindu seakan meletup. Itu beberapa hari sebelum Abah pun pergi. Hadir saat shalat jenazah diantaranya kyai Maimun Ali, salah satu yang Abah sebut namanya berselang lima hari. Alhamdulillah. A living memory.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.