Kolom Pdt. Kazpabeni E. E. Ginting: MEMBACA, MENULIS, DAN KINIKARON

KazpabeniProgram acara Semangat Pagi Indonesia di TVRI Nasional pagi kemarin [Kamis 8/9] membahas secara khusus tentang Hari Aksara Internasional (HIS) ke 51 yang diperingati pada hari itu. Saya teringat dengan pengalaman Praktek Jemaat (pada umumnya disebut PKL) pada masa kuliah di salah satu jemaat GEPSULTRA di Kolaka (Sulawesi Tenggara). Seperti di GBKP dan gereja-gereja lain pada umumnya, jemaat ini juga punya program ibadah ke rumah-rumah anggota jemaat.

Setiap pelayan Firman juga bertugas untuk mencatatkan data jumlah (kehadiran dan persembahan) serta nama keluarga yang menjadi ‘tuan rumah’ pada ibadah itu dan ditandatangani olehnya. Saya sudah menuliskan data-datanya pada selembar kertas itu lalu memberikannya kepada si tuan rumah. Anehnya, dia terlihat linglung dan tidak menyentuh kertas. Ternyata bapak yang kelihatannya masih berumur 30an tahun pada masa itu buta aksara.

menulis-2Didorong oleh ingatan tersebut, saya penasaran, bagaimana dengan Taneh Karo? Untuk tidak menertawakan orang lain, bercerminlah dengsn diri sendiri. Saya menemukan data Badan Pusat Statistik tentang data buta aksara di Kabupaten Karo. Untuk data sensus terakhir pada tahun 2010, disebutkan jumlah tuna aksara di Kabupaten Karo berjumlah 2.384 jiwa. Tercantum pula data berdasarkan kecamatan yang jumlahnya paling minim adalah Kecamatan Payung sejumlah 42 jiwa. Lalu, jumlah teratas adalah Kecamatan Berastagi sebanyak 218 jiwa dan pada urutan ke dua ditempati oleh Kecamatan Kabanjahe sebanyak 212 jiwa.

Namun, dari segi data usia produktif 25-44 tahun, data Laki-laki buta huruf terbanyak adalah di Kecamatan Juhar yakni 37 orang, serta perempuan buta aksara sebanyak 51 orang berada di Kecamatan Kabanjahe.

Dari data tersebut terlihat bahwa masyarakat Karo juga tidak bisa lepas tangan dari upaya pengentasan tuna aksara. Kehidupan berliterasi teramat penting dalam lini kehidupan yang diperhadapkan dengan dunia teknologi yang tak terbendung. Fungsi edukasi keluarga sangat mempengaruhi perkembangan psikomotorik dan kognisi anak dalam usia pertumbuhannya.

Bagaimana bisa fungsi edukasi itu dapat berjalan efektif jikalau orangtua yang dalam masa usia produktif ternyata buta huruf? Bukan hanya fungsi edukasi dalam pendidikan kognitif atau pendidikan formal anak, tapi, bukankah orangtua juga harus mengaktualkan dirinya sendiri termasuk dengan cara membaca?

Berkaitan dengan hal ini, bagi penulis termasuk juga dalam menggunakan media sosial. Kita tahu bersama bahwa mulai dari tingkat sepele sampai tingkat serius setiap tulisan yang kita muat di media sosial akan menjadi milik publik bahkan bisa saja menjadi viral (perbincangan yang menjangkit). Khususnya dalam aktualisasi diri terhadap kinikaron.

Berbagai tulisan sensasional bahkan ekstrim bermunculan di media sosial dengan topik yang berbeda-beda. Bahkan caci maki pun bermunculan seolah mendeskripsikan si penulisnya tidak berbudaya. Kecintaan terhadap literasi tentu dapat menepis semua ini sebab satu kata yang tercipta dari beberapa buah aksara dapat beribu-ribu maknanya.




Ada juga opini yang mengatakan bahwa orang Karo paling susah diajak gemar membaca. ‘Tangkas ukur, tangkas kata‘, bisa juga dipahami bahwa orang Karo lebih suka penjelasan secara lisan daripada tulisan. Bahkan tak jarang terjadi antara pihak yang bertikai di media sosial mengatakan: “Pangen kita jumpa asangken berdebat jenda” (Lebih baik kita ketemu tatap muka daripada berdebat di sini [media sosial, red.]) dengan sikap yang relatif emosi.

Tapi sebenarnya bagi penulis sendiri, ungkapan tersebut juga memotivasi kita untuk (juga) mencintai dunia literasi, baik itu menulis dan atau membaca. Bagi penulis, salah satu kesulitan generasi kini untuk memahami adat dan budaya Karo adalah karena minimnya literatur serta pembandingnya dalam bahasa lokal, sehingga memandang dengan penuh curiga literatur berbahasa asing.

Maka dalam peringatan Hari Aksara Internasional ini, mulailah untuk mencintai literasi. Tunjukkanlah ‘kinikaron’ itu melalui tulisan-tulisan yang bermutu, bukan opini kosong berlandaskan emosi. Tentu untuk menjadi penulis bermutu harus dibarengi dengan mencari bacaan bermutu.

Selamat hari aksara!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.