Kolom Sada Arih Sinulingga: PEMBATAKAN SUKU SEKITAR BATAK OLEH KOLONIAL

Belanda mendapat perlawanan hebat dari Aceh, Sumatera Barat dan Karo serta Melayu, mulai dari  pesisir sampai pegunungan. Untuk memisahkan Minangkabau/ Sumatera Barat, Aceh dan Melayu yang beragama Islam dibawalah misionaris RMG dari Jerman yakni Nomensen ke Tanah Batak pada tahun 1861 dengan maksud mengkristenkan orang Batak.

Selain itu, kolonial membutuhkan pekerja – pekerja sehingga dibangunlah sekolah – sekolah di Tanah Batak. Kemudian, karena perlawanan rakyat Karo dan Melayu bersatu dalam Perang Sunggal yang dipimpin oleh Datuk Badiuzzaman Surbakti selaku Raja Urung Sunggal dibantu Panglimanya Nabung Surbakti.




Kolonial menyebutnya sebagai Perang Batak atau Batak Orloog yang berlangsung sejak tahun 1872 – 1895 (23 tahun) serta dilanjutkan oleh Nabung Surbakti dengan bertahan di markasnya di Tanduk Benua. Dari sini, Nabung Surbakti memimpin pasukannya sekitar 400 orang pada malam hari membakar bangsal – bangsal perkebunan dan pada siang hari pasukannya kembali ke kampung – kampung mereka.

Perang Tanduk Benua berlangsung selama 3 tahun yang dikenal dengan musuh berngi ini menyebabkan banyak kerugian di pihak kolonial. Bahkan jauh sebelum Belanda mampu sampai ke Karo Gunung.

Nabung Surbakti menolak pembuatan jalan menuju Berastagi ke Seribudolok hingga Sidikalang dan Kotacane melalui jalur Tuntungan (Pasar Sepuluh) Tanduk Benua tembus ke Berastagi sehingga dialihkan melalui jalur Sembahe – Berastagi pada tahun 1905.

Sebuah kampung Karo (Dokan) pada tahun 1990. Foto: JUARA R. GINTING

Nabung Surbakti semakin terdesak ke arah Karo Gunung dan akhirnya Ia bersembunyi di Juhar dekat Tigabinanga. Di sinilah ia akhirnya terbunuh dengan tipu muslihat Belanda pada tahun 1915 dan dikuburkan di Kuala, Tigabinanga.

Kolonial bermaksud agar dukungan Aceh dan Melayu menjadi berkurang terhadap perjuangan oang-orang Karo melawan Belanda. Maka didatangkanlah pula misionaris dari Belanda NZG pada tahun 1890 di Buluh Awar. Missionaris kemudian berhasil membabtis beberapa orang dan berdirilah GKP pada tahun 1892 yang pada tahun 1941 dirubah namanya menjadi GBKP pasca kekalahan Belanda melawan Jerman pada Perang Dunia II.

Membatakkan suku sekitar Batak dan dijadikan sebagai wilayah Missionaris (pengkristenan) merupakan strategi politik masa Kolonialisme Belanda agar Aceh, Minang dan Melayu yang sudah Islam tidak bersatu dengan Suku Karo dalam mengusir penjajahan.

FOTO HEADER: Di album foto-foto yang beredar di internet sering disebut Batak warriors, tapi jelas sekali konstruksi bangunan di latar belakang adalah lumbung padi Karo (sapo page) yang bagian bawahnya dijadikan tempat ngumpul laki-laki. Bangunan ini hanya bisa kita dapati di perkampungan Karo dan tidak di suku-suku tetangganya.








One thought on “Kolom Sada Arih Sinulingga: PEMBATAKAN SUKU SEKITAR BATAK OLEH KOLONIAL

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.