Kolom Seriulina Karosekali: BATAK KETEMU BATAK, KARO KETEMU KARO (Kok Beda?)

Beberapa waktu lalu, 2 kejadian hampir mirip aku alami, serupa tapi tak sama. Kejadian pertama, ada customer kami datang mau membeli Tensimeter Digital. Yang melayani adalah teman saya keturunan Tionghoa yang sudah paham sedikit Bahasa Karo. Customer ini seorang polisi muda dan ganteng. Polisi kan tentunya ada nama di seragamnya. Begitu saya baca namanya H. Surbakti, saya bisikkan ke teman saya.

“Yoga, itu orang Karo,” bisikku pada Yoga. Ini memang salah satu carku memperkenalkan Suku Karo dan merga-merga Suku Karo kepada orang lain. Ketika suatu waktu saya membaca resep atas nama orang Karo, saya pasti bilang ke teman-teman, ini merga Orang Karo.

Kembali ke Yoga. Begitu selesai transaksi pembayaran Tensimeter, Yoga bilang ke Surbakti: “Bujur ya, bang, anjar-anjar kam.” Si Surbakti pun dengan senangnya, terlihat dari sikapnya.

“Eh …. bujur … bujur …. Tahu kam Cakap Karo, ya?” tanya Surbakti.

“Iya, kakak itu yang ngajarin, beru Karosekali,” kata Yoga sambil nunjuk ke aku. Aku hanya tersenyum.

Turangku berarti. Surbakti inipun langsung mendekati aku.

“Beru Karo kam, kak? Serina nge beru Karosekali ras Surbakti,” katanya sambil menyalami aku.

“Ini kakakku, bukan kakak main-main, sama merga kami. Karosekali itu masih abangnya Surbakti,” katanya kepada Yoga.

Aku hanya tersenyum karena masalah merga mana tua dan muda aku juga tidak paham. Tapi yang membuat aku senang, dia ternyata pendukung KBB (Karo Bukan Batak, red.) banget. Kamipun asyik ngobrol ngalur ngidul, sampai ke istri, mertuanya yang sakit, bagaimana ceritanya dia bisa tugas di Brimob Batam. Dan cerita tentang KBB sudah pasti.

Peristiwa ke 2, kejadiannya 2 hari setelah aku berkenalan dengan Surbakti.
Customer kali ini Orang Batak marga Sinaga yang kebetulan temanku juga. Karena kebetulan teman kerja juga ada marga Sinaga,j adi aku berinisiatif mengenalkan mereka satu sama lain.

“Mo, ini Sinaga juga, lho,” kataku sambil menunjukkan customer yang marga Sinaga (sebut saja Impal).

“Dari mana, lae?” impal bertanya ke temanku (sebut saja Moan).

“Aku dari Kabanjahe. Lae dari mana?” tanya Moan.

“Aku dari Lau Baleng,” balas Impal.

“Sinaga apa?” tanya Impal lagi.

“Maksud lae apa?” dengan nada tinggi Moan bertanya kembali. Kelihatan sedikit emosi. Kami pun yang ada di situ kaget. Mereka pun kelihatan berdebat dalam Bahasa Batak yang kami tidak mengerti apa yang diperdebatkan (Saya dari Suku Karo yang tidak mengerti Bahasa Batak).

Setelah Impal pergi, aku pun bertanya kepada Moan. Kata si Moan, itulah egoisnya Orang Batak ini. Dia nanya aku Sinaga apa, kubilang Sinaga itu cuma satu. Dia bilang dia Sinaga keturunan yang lain. Memang sampai sekarang, itu masih jadi perdebatan, mereka yang keturunan (dia sebut satu kata tapi aku lupa) selalu mengaku yang paling tua.

“Kalau Sinaga bertemu mereka, kalaupun aku sudah bapak-bapak, mereka masih anak-anak, aku harus panggil amang kepada mereka. Tapi kami Sinaga yang lain keturunan, tetap mengatakan Sinaga itu sama semua. Jadi, aku bilang ke dia (Impal), kamu perlu belajar lagi, lae. Jangan nanti kau digebukin sama orang gara-gara pendapatmu yang tidak masuk akal itu,” papar Moan menjelaskan perdebatannya tadi dengan tekanan masih sedikit emosi.

Kedua kejadian di atas masing-masing merupakan pertemuan antar sesama suku (antara sesama Suku Karo dan yang lainnya antara sesama Suku Batak). Kebetulan pula antara sesama merga/ marga pula (sesama Karo-karo dan yang lainnya sesama Sinaga).

Sebagai orang Karo saya jadi tidak mengerti mengapa Sinaga dengan Sinaga jadi berdebat soal siapa yang lebih tua? Hanya merekalah yang tahu.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.