Kolom Sri Nanti: KAKEK DAN SAHABATNYA YANG BERTOPI VETERAN — Cermin Nasionalisme

Sukorejo, 1989

Hari ini libur sekolah aku bosan ikut ibu jualan rebung dan daun jati di pasar. Hari ini aku ikut ayah gotong-royong mendirikan rumah paman. Ramai sekali orang-orang bekerja. Ada yang menggergaji kayu dan bambu, ada yang memukul-mukulkan palu pada paku-paku, ada yg memindahkan genteng, ada yang menganyam iratan bambu untuk dinding.

Di belakang, ibu-ibu juga ramai memasak. Ada nenek, bude, bulek dan beberapa tetangga.

Aku bocah perempuan berumur 9 tahun yang kurang suka berada di dapur. Aku bergabung dengan anak-anak laki-laki yang sibuk ikut membantu memindahkan genteng. Tak jauh dari tempatku ada Mbah Darmo, teman baik kakek yang ke mana-mana selalu pakai topi bertuliskan “veteran”.

Mereka berdua sibuk membuat kuda-kuda rumah. Aku tertarik melihat kain warna merah putih yang dibawa kakek. Kain itu dipasang di bagian atas kuda-kuda, orang Jawa menyebutkan blandar.

Kudekati mereka sambil bertanya, “Mbah Darmo, kenapa ada bendera di situ?”

Mbah Darmo menoleh, aku lihat kerutan di keningnya dipenuhi butiran keringat. Beliau tersenyum lalu jongkok di depanku.

“Itu symbol penghormatan kita kepada Sang Saka merah putih.”

“Kenapa dipasang di situ? Bukankah kita bisa memasangnya di tiang bendera di depan rumah tiap Bulan Agustus, di sekolah dan balai desa juga tiap hari ada bendera berkibar. Kenapa harus di atap rumah?”

Mbah Darmo menarik tanganku supaya duduk. Kakek ikut duduk di sebelahnya. Mereka mulai menyulut rokok lintingan daun jagung. Setelah menghisap beberapa kali dan menghembuskan asapnya, Mbah Darmo mulai berkata.

“Dulu, zaman pra kemerdekaan, mengibarkan bendera Merah Putih ini taruhannya nyawa, Nok! Tidak boleh, kalau ketahuan penjajah kita bisa ditembak mati. Tapi, kami, nenek moyangmu dulu sangat menginginkan kemerdekaan yang dilambangkan dengan bendera Merah Putih yang berkibar di langit Nusantara ini, karena mereka tidak berani mengibarkannya di luar. Maka nenek moyang kita mengibarkannya di langit-langit rumah mereka masing-masing. Agar setiap menjelang tidur dan ketika bangun tidur semangat mereka tetap menyala melihat Sang Merah Putih berkibar. Semangat untuk merdeka tetap berkobar. Energi perjuangan melawan penjajah terus menyala di dalam setiap jiwa mereka,” jelas Mbah Darmo panjang lebar.

“Tapi, Mbah! Sekarang kita sudah merdeka. Kita bisa mengibarkan sang Merah Putih di mana saja dan menghormatinya kapan saja. Tiap hari Senin kami sekolah upacara hormat bendera. Kenapa benderanya masih harus dipasang di langit-langit rumah?”

“Untuk menghargai perjuangan dan semangat para pendahulu kita, Nok!” Kakek angkat bicara.

“Supaya kita tidak lupa, bendera Merah Putih yang kini berkibar di mana-mana sebagai simbol kemerdekaan itu dahulu pernah diperjuangkan dengan tetesan darah, keringat dan air mata oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa kenal perbedaan, dari Aceh sampai Papua… agar kita tidak merasa berat ketika harus ikut upacara, kepanasan sedikit untuk mengibarkannya…”

“Terimakasih, Mbah! Nanti akan kuceritakan ke teman-teman yang suka sembunyi di kantin pas upacara bendera, supaya mereka tahu nggak perlu berjuang untuk bisa menghormati bendera merah putih, cuma upacara beberap menit saja…”

Mbah Darmo dan kakek tertawa. Aku berlari ke arah teman-temanku yang sudah tidak lagi memindahkan genteng tapi sibuk main pecahan genteng untuk gaco main gedrik…

DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA KE- 74

Pandu kami putra-putrimu untuk tidak pernah lelah mencintaimu ?????????

…….. 
Foto hanya ilustrasi… Sampai kini masih banyak yang melestarikan symbol penghormatan itu… di antara lautan perang ideologi dan kaburnya semangat nasionalisme…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.