KOTA MEDAN KOTA KARO. Selamat Ulang Tahun, Meidan!

DENHAS MAHA. MEDAN. Menyambut HUT Kota Medan ke 427, Roy Fachraby Ginting dan kawan-kawan berkumpul pulung metunggung melaksanakan Tawar Kota Medan dengan Lau Penguras Simalem-malem [Sabtu 1/7: Dinihari].

Roy Fachraby Ginting, tokoh masyarakat yang kerap turun dalam aksi sosial terhadap Pengungsi Sinabung dan sekaligus Sekjen MPR-Karo ini menjelaskan bahwa pelaksanaan Tawar Kota Medan dilaksanakan dengan penuh kesederhanaan.




“Itu merupakan panggilan untuk kita semua, khususnya generasi muda yang akan melestarikan dan melanjutkan ke depannya,” ujarnya.

Selanjutnya Roy mengatakan, Kota Medan yang didirikan oleh putra Suku Karo Guru Patimpus Sembiring Pelawi 427 Tahun lalu di Pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura (Lau Burah dalam Bahasa Karo atau Bah Burah dalam Bahasa Karo kuno yang masih dipakai dalam Bahasa Simalungun) harus terus dilestarikan.

“Perayaannya harus menjadi tradisi serta turut secara terus menerus dikenalkan kepada masyarakat,” ujarnya.

Dalam Tawar kota Medan dini hari tadi, turut hadir beberapa penggiat seni dan budaya seperti Adrian Martari Ginting, Wasit Ginting, Gagarin Sembiring, Ahmad Arif Tarigan, Hanna Br Tarigan, Ramli Azis, dan Suyato Tarigan.

Meski sederhana, warga Suku Karo setiap tahunnya memperingati HUT Kota Medan. Bukan hanya karena pendiri Kota Medan adalah seorang putra Karo, tapi juga karena kampung Meidan yang menjadi cikal bakal Kota Medan adalah dulunya sebuah kampung Karo. Banyak orang lupa atau seolah tak pernah ada bahwa Meidan dan beberapa kampung di dekatnya adalah betul-betul didirikan sebagai kampung Karo. Hanya saja, kata kuta dalam Bahasa Karo belakangan diucapkan menjadi kota yang seolah-olah dari Bahasa Melayu. Padahal, kata-kata kuta (Karo, Pakpak, dan Singkil), kota (Melayu), huta (Batak, Mandailing dan Simalungun), koto (Minangkabau), kute (Alas), dan kuete (Gayo) berasal dari Bahasa Sansekerta.

Demikian halnya Kota Bangun yang telah lebih dekat ke Belawan menurut W. Middendorp adalah kampung Karo yang didirikan merga Ginting Munte sebagaimana Kuta Bangun di dekat Tigabinanga (Dataran Tinggi Karo) yang juga didirikan oleh merga Ginting Munte. Kota Rantang (lebih dekat lagi ke arah pantai), menurut arkeolog asal Inggris E.E. McKinon dulunya bernama Kuta Rentang (kampung besar) dari Bahasa Karo sebelum para pendatang Jawa menyebutnya jadi Kota Rantang. Pulo Brayan sering diasosiasikan sebagai sebuah pulau, padahal dari Bahasa Karo yang berarti hutan keramat di sekeliling kampung seperti halnya Tanjung Pulo di Dataran Tinggo Karo untuk membedakannya dengan pemukiman baru yang tumbuh di tepi jalan raya di kemudian hari.

Kota Cina yang menjadi pusat Kerajaan Haru banyak ditafsirkan dari kata China yang berarti Tiongkok dengan mengabaikan adanya kampung Buluh Cina. Jenis bambu yang disebut Buluh Cina hanya dipergunakan oleh orang-orang Karo, sebagaimana Jhon Anderson telah mencatatnya di dalam laporan perjalanannya ke Sunggal di tahun 1823. Tanjung Gusta aslinya adalah Tanjung Manggusta yang berarti manggis dalam Bahasa Karo.

Sunggal, Lau Cih, Delitua, Namorambe dan banyak kampung lainnya yang sekarang masuk ke wilayah adminitrasi Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang adalah merupakan kampung-kampung tradisional Karo di masa pre kolonial.

“Intinya, Medan itu bagian dari Taneh Karo Jahe,” kata seorang tetua merga Karo-karo Surbakti kepada Sora Sirulo yang kemudian menjelaskan Karo Jahe adalah bagian hilir (jahe) dari Taneh Karo sedangkan bagian lainnya disebut Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo).








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.