Kolom Eko Kuntadhi: KURSI KOSONG NAJWA

Kemampuan tertinggi seorang jurnalis adalah jika ia bisa mewawancarai sebuah kursi. Ya, kursi. Kursi doang. Apalagi jika saat wawancara kursinya sampai gak sanggup menangkis pertanyaan-pertanyaan cerdas pembawa acara. Kursi sampai keringet dingin. Kebelet pipis.

Dibuat gak berkutik di atas panggung.

Jurnalis yang berhasil wawancara narasumber eksklusif, itu banyak. Toh, yang diwawancarai orang juga. Bisa ngomong. Bisa mendengar. Sedangkan mewawancarai kursi butuh indera ke enam. Mungkin indera ke enambelas.

Sebagai jurnalis hebat, adalah sebuah kesalahan jika ada orang diundang gak datang. Itu melanggar hukum dan ego pembawa acara. Kalau gak mau datang juga, kirim aja pasukan Cakrabirawa untuk menculiknya. Dudukan di studio. Lalu tanya.

Rupanya kursi tidak mau dipermalukan seperti itu. Ia memilih hadir di acara televisi. Berhadapan dengan Najwa, sang jurnalis luar biasa seangkasa raya.

Sedangkan Menteri Terawan, meski sudah mengutus Sekjen Departemen Kesehatan untuk jadi narasumber. Rupanya gak cukup. Ingat. Yang ingin dipermalukan bukan Sekjennya. Tapi menterinya.

Sebab acara televisi itu bukan mau mengorek informasi dan kebenaran. Kalau itu yang dicari, Sekjen kayaknya infonya setara menteri deh. Tapi ini soal rating. Rating akan naik, kalau berhasil mempermalukan. Itulah intinya.

Kita mungkin merasa, acara TV memang lebih berjasa ketimbang kerjaan seorang menteri. Tidak boleh seorang menteripun menolak diundang acara TV. Sama seperti gak bisa menolak kalau dipanggil Yang Maha Kuasa.

Jika berani menolak? Awas. Mampus kau.

Maka malam itu, Najwa menunjukan kepiawaiannya mewawancarai kursi kosong. Karena menteri yang diharapkan sebagai Narsum berhalangan. Sekjen Depkes ditolak oleh tim Mata Najwa.

Mungkin karena acara itu gak butuh informasi. Yang dibutuhkan adalah objek untuk dipermalukan. Untuk dibully. Untuk diejek di depan umum.

Mewawancarai kursi kosong adalah keterampilan tertinggi seorang jurnalis.

Bahkan dari kursi itu saja, seorang wartawan cerdas sudah bisa menarik kesimpulan: Semua yang dilakukan Menkes salah. Alasannya? Karena berhalangan hadir di acara Mata Najwa.

Rupanya Najwa perlu mulai belajar memilah jenis pejabat. Ada yang hobi ngomong, kalau disuruh ngomong gacor banget kayak burung Loverbird. Ada yang fokus kerja. Sebab baginya , kerja lebih berguna ketimbang ngomong.

Ada yang seimbang, kerja dan ngomong. Ada juga pejabat, sering ngomong. Yang diomongin mayat melulu.

Ada orang yang bukan pejabat. Bukan bekas pejabat. Bukan siapa-siapa. Malah buron ke luar negeri. Kalau disuruh ngomong, bawaannya ngegas terus.

Dan tipe kursi kosong? Itulah jelas yang gak pernah ngomong. Gak pernah membantah. Gak pernah kebelet pipis. Gak pernah laper. Gak pernah dengerin orang ngomomg juga.

Kursi kosong adalah jenis nara sumber yang susah dikorek informasinya. Hanya jurnalis kelas dewa saja yang bisa mewawancarai…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.