Kolom Natalia E. Angel: MAHASISWA DAN ORGANISASI

Menyandang status mahasiswa harusnya tidak hanya menjadi kebanggaan karena dianggap sebagai kaumnya intelektual dan agen perubahan. Justru dengan anggapan itu mahasiswa memikul  tanggungjawab yang sangat berat.  Mahasiswa adalah generasi intelektual yang harusnya idealis, cerminan keresahan masyarakat yang mampu memberi solusi dalam permasalahan yang ada.

Tanpa mengharapkan adanya reward, pengakuan, dan lainnya karena itu merupakan tanggungjawab.

Saat ini, justru banyak sekali mahasiswa yang tidak memiliki keresahan sedikitpun melihat banyaknya persoalan dan ketimpangan yang ada. Banyak yang senang di zona nyamannya, sehingga muncul pertanyaan “apa bedanya mahasiswa dengan yang bukan mahasiswa?”

Menjawab pertanyaan-pertanyaan itu muncullah organisasi-organisai mahasiswa dengan berbagai ideologi masing-masing. Organisasi-organisasi mahasiswa khususnya organisasi mahasiswa ekstra kampus memberi tawaran sebagai penyambung lidah masyarakat, sebagai agen perubahan sosial karena organisasi adalah rumah belajar yang penuh pengetahuan.

Dengan organisasi ekstra kampus harusnya memudahkan mahasiswa menghimpun jaringan, berbagi ilmu dan teknis dengan bermuara tindakan sebagai jawaban keresahan itu.

Namun, sangat jauh berbeda dengan yang diharapkan. Justru organisasi mahasiswa dijadikan sebaga alat politik praktis dan mendapat jejaring agar kebagian proyek baik swasta maupun pemerintahan. Jika adapun advokasi dan aksi, semata-mata hanya untuk menaikkan eksistensinya.

Diskusi-diskusi akademik sangat minim dilakukan.

Bahkan  dalam pengkaderan sekalipun mahasiswa yang telah ada di dalamnya tak ditawarkan bahwa organisasi ini dapat memudahkan mahasiswa mendapat popularitas dan memudahkan mendapat pekerjaan dari link yang didapatkan.

Ini merupakan observasi yang sejauh ini saya amati terutama di lingkungan saya. Slogan-slogan hebat dimunculkan sampai tak memahami secara konsep apa sebenarnya isi slogan itu.

Mungkin ada beberapa orang yang sudah sadar bahwa hirarki organisasi tidak seperti itu. Namun, karena secara turun-temurun organisasi-organisasi bertingkah seperti ini dan sudah mengakar kuat dalam kepengurusan organisasi maka banyak yang hanya terdiam karena sangat sulitnya melakukan perubahan.

Banyak kader baru organisasi saat ini yang hilang pemahaman tentang organisasi itu sendiri.

Sehingga saat ia menjadi pengurus ia mengikuti sebagaimana sebelumnya sehingga politik praktis itu sendiri tetap subur berada. Hal ini tidak terlepas juga dengan keberadaan senior yang bukan memberi arahan malah menempatkan kepentingannya di dalam organisasi.

Sehingga organisasi saat ini tak ada ubahnya dengan dikooptasi oligarki.

Tak ada ubahnya dengan Ormas-Ormas penuh ideologi dan keaku-akuan hanya untuk mendapat sedikit kekuasaan dan proyek tanpa memberi solusi. Kemampuan intelektualnya sebagai pemberi solusi tidak digunakan lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.