Kisah Bersambung: Ginting Manik Mergana (5)

Masalah Datang Silih Berganti

 

kisber 8

Sanggar Seni Sirulo. Model: Muslim Ramli. Fotografer: Masmur Sembiring

 


[one_fourth]Oleh: Bastanta P. Sembiring (Urung Senembah)[/one_fourth]

Hubungan Perangin-angin dengan beru Ginting Manik semakin lama semakin dekat. Ini tentunya imbas banyaknya kegiatan yang membuat mereka sering bertemu. Kedekatan ini merisaukan keluarga Karo-karo Sitepu yang sangat menginginkan beru Ginting Manik kelak menjadi menantu di jabu Sitepu mergana.

Benih-benih suka dan saling mengagumi berlanjut, menumbuhkan rasa cinta antara mereka berdua. Apalagi sepertinya kaka tuanya Ginting Manik mergana tidak begitu terganggu walau restu belum tentu diberikan.

Bagi Ginting Manik, tidak begitu mempermasalahkan hal ini. Dia sudah kenal betul sosok Peranginangin dan aginya. Apalagi Peranginangin pria yang baik, sopan, jujur, pekerja keras. Dia juga sahabat dan kalimbubu dari mendiang Amir sahabat baiknya.

Hubungan Amir dengan Peranginangin berawal dari pernikahan Amir sepuluh tahun silam dengan Hamidah yang juga dari jabu merga Perangin-angin asal Karo Bingé. Sedangkan dengan Ginting Manik, Amir sudah seperti saudara. Ibu Amir beru Karo-karo Surbakti adalah sahabat baik ayah Ginting Manik yang sama-sama dibesarkan di Kuta Namo Kelawas.

Namun, Ginting Manik terikat oleh rasa berhutang budi kepada keluarga Sitepu. Mereka telah banyak membantu, khususnya mendiang ayahnya yang dibesarkan dan mendapat perlindungan dari Karo-karo Sitepu mergana. Ini yang menjadi dilema bagi Ginting Manik.

Lanai ngé nari lit ranan mehuli siterkena bas pusuhndu é nandé Ginting, maka bagénda kel perbahanenndu?” kata Nini Ginting kesal dengan hubungan beru Ginting Manik yang semakin lama semakin dekat, bahkan ramai diperbincangkan di kuta.

Dengan nada sedikit keras, Nini Ginting melanjutkan perkataannya kepada beru Ginting Manik, “Maka lanai kuidah sitik pé diaténdu pemindon kami? La kin akapndu cocok perbahanen kami sedekah énda?”

Bagi beru Ginting Manik, impalnya Dharma Sitepu sudah seperti turangnya sendiri. Sejak kecil mereka dibesarkan bersama. Sedikitpun tidak ada rasa selain persahabatan dan persaudaraan terhadap Dharma. Ini dipahami oleh Dharma Sitepu. Diapun tidak begitu merisaukan hubungan beru Ginting Manik dengan Perangin-angin mergana walau orangtuanya sangat menginginkan suatu saat dia dapat mempersunting beru Ginting.

Sesungguhnya, dia juga memendam rasa cinta terhadap beru Ginting Manik. Namun, rasa cintanya lebih menginginkan kebahagiaan bagi wanita yang dicintainya ketimbang hidup bersama oleh karena faktor paksaan orangtua.

Dalam hal ini, Ginting Manik adalah orang yang paling tertekan. Dia harus memilih antara dua pilihan yang sulit. Antara merestui atau melarang hubungan turangnya dengan Perangin-angin mergana.

Dalam waktu yang bersamaan, berkat pengaturan yang dilakukan Nini Ginting, Nini Karo, Sitepu Mergana dan pihak Sembiring Kembaren Mergana, maka pertemuan antara Ginting Manik dan Beru Kembaren membuahkan hasil pembicaraan ke tahapan selanjutnya yang lebih serius lagi. Tanpa ada sedikitpun rintangan kecuali hati Ginting Manik yang sedikit terganggu karena memikirkan kelanjutan hubungan turangnya dengan Perangin-angin mergana, maka Ginting Manik pun akan segera mempersunting Beru Kembaren dalam waktu dekat.

Januari 1939. Pernikahan antara Ginting Manik mergana dan impalnya beru Kembaren pun berlangsung sederhana di kediaman Kalimbubu Sembiring Kembaren Mergana di Urung Sukapiring, Karo Jahé yang dihadiri sangkep nggeluh  (Sembuyak, Anak Beru, Kalimbubu, dan Senina) dari kedua belah pihak. Beberapa sahabat turut hadir.

Setelah menikah, Ginting Manik dan Beru Kembaren tinggal di Medan hingga kelahiran putera pertama mereka. Namun, karena situasi keamanan dan alasan lainnya, mereka memutuskan pindah dan tinggal di kuta saja. Apalagi setelah insiden pelemparan batu ke rumah mereka dan surat ancaman yang sering datang kepada Ginting Manik, membuat merekapun memilih kembali ke Namo Kelawas.

kisber 9
Sanggar Seni Sirulo. Model: Agrifa Singarimbun. Fotografer: Muslim Ramli.

Maret 1940. Mantan suami beru Kembaren kembali ke Sumatera Timur. Dia mendapati beru Kembaren sudah menikah dan tinggal bersama dengan Ginting Manik mergana di Namo Kelawas. Kesal dengan hal ini, dia pun menyampaikann keberatanya dengan membawa masalah ini ke Landraad. Atas laporan ini, Ginting Manik pun terancam akan ditahan.

Sitepu Mergana bersama Nini Ginting dengan didampingi seorang pengacara dari salah satu kantor pengacara di Medan dan seorang sahabat yang bekerja sebagai juru tulis di kantor Residentie Oostkust van Sumatera kemudian menemui Panitera setempat dan mencoba memberi penjelasan. Nini Ginting berujar, ini masalah adat.

“Dalam adat kami, setiap perempuan yang telah ditinggalkan bertahun, tidak dinafkahi, dan tidak ada kabar dari suaminya, maka perempuan itu berhak memutuskan hubungan,” terang Nini Ginting.

“Apalagi beru Kembaren adalah impal dari Ginting Manik. Jadi, menjaga harga diri kalimbubu Sembiring Kembaren Mergana sudah menjadi kewajiban bagi Ginting Manik,” lanjut  Nini Ginting menjelaskan.

Mendengar hal ini Panitera dengan dihadiri juga jaksa saat itu tidak mau gegabah dan tidak menginginkan di kemudian hari permasalahan ini menimbulkan situasi tidak baik. Pengadilan yang sedianya akan dilakukan di Minggu itu diundurkan ke dua Minggu berikutnya. Dengan alasan ini, masalah adat maka perlu didiskusikan terlebih dahulu dengan Commissie voor het Andatrech yang menangani permasalahan berkaitan dengan peradatan.

Mendengar kabar ini, mantan suami beru Kembaren menjadi berang dan melaporkannya ke Residen Oostkust. Dia memaksa peradilan diadakan di tingkat Raad van Justitie (Dewan Hukum) di Medan dan penahanan atas Ginting Manik dilakukan.

Berkat pengaruh dan adanya intervensi Residen maka permohonannya dikabulkan. Ginting Manik pun ditahan di Medan.

Beru Kembaren yang saat itu sedang mengandung anak kedua pun kemudian bersama Perangin-angin pergi ke Medan menjenguk Ginting Manik. Sebelumnya, dia menemui mantan suaminya dan memohon agar gugatan ini dicabut. Tetapi, mantan suaminya itu menolak, kecuali bila beru Kembaren memutuskan hubungan dengan Ginting Manik dan mau ikut dengannya ke Belanda. Jelas saja beru Kembaren menolak syarat yang diberikan oleh mantan suaminya itu.

Sebelumnya, di Hindia Belanda, Volksraad (Dewan Rakyat) telah dibentuk oleh Pemerintah Kolonial pada Tahun 1918 sebagai wadah keikutsertaan rakyat pribumi dalam pemerintahan di daerah jajahan. Kemudian, pada Tahun 1926, Volksraad diberikan kewenangan untuk pembentukan undang-undang sesuai dengan perubahan II Grondwet (1922: bagian khusus tentang tata pemerintahan Hindia – Belanda). Dengan demikian Regerings Reglement diganti menjadi Indische Staatsregeling. Keresidenan Sumatera Timur (Residentie Oostkust van Sumatera) yang resmi berdiri pada 1 Mei 1887 dengan afdeeling dan Onderafdeeling-nya turut menjalankan tata peradilan berdasarkan Indische Staatsregeling (IS).

* * * *

Ginting Manik pun harus tinggal di tahanan setidaknya sampai pengadilan terhadapnya dua minggu ke depan diadakan.

Senin siang, Nini Ginting dan Nini Karo bersama seorang pengacara yang akan mendampingi Ginting Manik untuk menjalani persidangan menemui Ginting Manik di tahanan. Selain berdiskusi tentang kasus yang sedang dihadapi Ginting Manik, tidak lupa kedua perempuan tua itu menyinggung kedekatan antara beru Ginting Manik dan Perangin-angin.

Tentunya ini sangat mengganggu hati Ginting Manik. Belum lagi soal istrinya yang sedang mengandung anak kedua mereka. Ginting Manik sangat tertekan. Sampai-sampai dia tidak selera makan dan sempat jatuh sakit.

Namun, dia tidak boleh larut dalam situasi sulit ini. Dia harus menghadapi semua masalah yang ada. Bahkan, di depan, dia akan segera dihadapkan dengan permasalahan yang lebih besar lagi dalam sejarah hidupnya.

BERSAMBUNG

Sebelumnya: Rasa Kehilangan Yang Terus Melanda


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.