Kolom Soibah E. Sari: MELAMPAUI ZAMANNYA

Dulu, waktu kecil dan hidup di kampung, saya sering tidak disukai orangtua teman sepermainan saya. Alasannya, sangatlah terdengar konyol. Karena saya sering punya mainan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Bagi mereka mainan saya itu mahal dan merasa tidak mampu membelinya. Sementara teman-teman saya itu terus merengek minta dibelikan. Namanya juga anak-anak, pasti punya keinginan dalam hatinya jika mainan itu sangat menarik di matanya.

Alhasil saya sedikit dikucilkan oleh mereka.

Bukan tanpa alasan saya selalu punya mainan yang lagi trend masa itu. Penyebabnya adalah, ibu saya berasal dari kota kabupaten. Sehingga saya sering berkunjung ke rumah kakek yang tinggal di “kota”.

Biasanya sehabis mengunjungi kakek, saya selalu mampir di toko penjual mainan. Mana mainan yang lagi musim, saya pasti beli. Membawanya pulang ke rumah yang letaknya masih sangat tertinggal. Tetapi karena tugas kedinasan ibu saya, menyebabkan kami tinggal di daerah tersebut.

Kebiasaan ibu saya yang berasal dari daerah yang lebih maju sangatlah berbeda jauh dengan tetangga kami tinggal.

Cara Ibu saya berpakaian juga sangat modern, rambutpun selalu dipotong pendek agar lebih praktis. Beda dengan masyarakat di sana yang religius dan fanatik. Sehari-hari memakai sarung, dan tutup kepala berupa selendang yang ditungkupkan di kepala mereka.

Mereka melihat penampilan ibu saya pasti menyimpan beribu-ribu unek-unek dalam hati. Tetapi tidak berani mengutarakannya.

Jadi terpaksalah mereka diam dan menerimanya. Demikian juga dengan gaya berpakaian saya bersaudara. Sangat berbeda jauh dengan teman-teman sebaya kami. Mereka memandangnya aneh, tapi tidak berani mengutarakannya.

Di masa remaja, saya sudah biasa pakai jeans belel yang sobek-sobek, atasan ngepas body, dan bisa mengendarai motor. Yang mungkin di kampung tersebut, termasuk sayalah pemulanya. Sehingga orang tua teman-teman saya melihat saya ini cewek badung dan tidak patut dicontoh.

Teman-teman saya memakai sarung dan tudung kepala, belajar menyulam, atau ikut orangtuanya ke sawah.

Sementara saya setiap hari pergi mengikuti bermacam-macam kursus (matematika, Bahasa Inggris dan komputer) serta bergaul di luar kampung saya juga. Dengan teman-teman saya yang tinggal di kota kecamatan (mereka juga gayanya lebih modern). Teman-teman saya dari sekolah TK, yang kemudian bertemu lagi sesudah menginjak usia remaja.

Bayangkan! Masa saya sekolah TK, di kampung saya tinggal hanya ada lima orang yang sekolah TK. Mereka adalah anak dari teman-teman ibu saya sesama pegawai yang dinas di Puskesmas di kampung saya. Jadi hampir semua teman-teman saya waktu masuk Sekolah Dasar tidak merasakan sekolah TK lebih dulu.

Mengingat semua hal yang saya alami di masa itu, saya berkesimpulan bahwa jika kebiasaan, gaya hidup dan cara berpikir kita melampaui zamannya, maka kita bisa dianggap pemberontak. Dianggap salah dan harus dijauhi dan dikucilkan.

Dulu Galileo Galilei berani membantah bumi sebagai pusat alam semesta. Pikirannya yang melampaui zamannya bertentangan dengan otoritas agama sehingga ia dijatuhi hukuman. Awalnya ditahan untuk kemudian dieksekusi.

Tan Malaka dan Pramudya Ananta Toer, dua tokoh ini juga punya pemikiran yang melampaui zamannya. Sehingga dianggap membawa ketidakbaikan bagi masa depan bangsa. Padahal pemikiran mereka sangatlah masuk akal dan bisa diterima logika.

Kisah saya di atas, meskipun sebenarnya tidak begitu sebanding, tapi saya ingin menganalogikannya dengan cara kita beragama. Ketika kita mengetahui kebenaran-kebenaran sejati dari sebuah penciptaan agama, sehingga kita mempertanyakannya, maka kita dianggap salah dan dituduh murtad.

Dianggap berdosa karena mempertanyakan hakikat Tuhan. Meragukan ke-Esaannya, bahkan tidak percaya akan kekuasaannya sebagaimana kita didoktrin sedemikian rupa sehingga kitapun dipaksa percaya begitu saja. Terima dan imani saja! Jangan bertanya, jangan meragukannya jika kamu tidak ingin mendapat murka!

Namun, jika percaya dan melaksanakan ritualnya dengan taat dan patuh, maka surgalah balasannya. Sayangnya, banyak diantara kita yang masih terbuai dan terlena. Tidak ingin mencari tau karena sudah duduk dengan nyaman di sebuah zona yang memang sengaja disediakan agar umat tetap dalam keyakinannya.

Bagaimana dengan saya sendiri? Ya memilih berpikir dong! Saya punya kesempatan untuk memikirkannya dan mempelajarinya, tentu saya manfaatkan sebaik mungkin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.