Kolom Andi Safiah: MEMBUNGKAM JRX — Membungkam Hak Sipil

Mereka yang percaya pada sesuatu bebas mengekspresikan dirinya, sementara mereka yang kebetulan tidak percaya pada sesuatu tidak punya kebebasan yang sama dalam mengekspresikan dirinya. Pada posisi ini saja sebenarnya negara sudah melanggar prinsip ke 5 yaitu itu “Keadilan” bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kasus Jrx dan kasus seperti kawan saya Donald Frans, Ahmad Fauzi, Otto, bahkan Ahok adalah bukti bahwa bangsa ini tidak bisa memberikan jaminan seperti yang tertulis dalam konstitusi berbangsa dan bernegara kita.

Bahwa “Kemerdekaan itu ialah Hak” dan oleh sebab itu maka segala jenis penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.

Ini komitmen tertinggi dalam urusan bernegara dan berbangsa kita, tapi faktanya justru jenis “penjajahan” itu sudah sampai pada level individu atas individu lainnya. Bahkan untuk urusan “nama baik” hingga urusan “penistaan” yang itu status ontologisnya fiksi bisa menjadi alasan seseorang masuk penjara.

Inilah yang saya maksud melanggar prinsip ke lima dari bangsa ini.

Bayangkan saja jika “ketersinggungan”, baik itu individual atau kelompok masyarakat, dijadikan alasan membungkam seseorang, maka kesibukan lembaga negara macam kepolisian akan habis sia-sia. Sementara urusan yang lebih real tidak menjadi perhatian utama seperti bagaimana menjawab dampak real secara ekonomi akibat informasi Covid19 yang simpang siur dan beragam.

Kasus Jrx yang bersuara agak “kasar” menurut IDI adalah contoh lemahnya kita secara mental dalam urusan berbeda pendapat. Padahal, jika masuk dalam arena UFC, bahasa sebenarnya tidak ada itu istilah “kasar”. Yang ada adalah ekspresi seseorang atas realitas yang dibahasakan.

Ambil contoh istilah “kacung” yang membuat organisasi profesi macam IDI langsung meradang. Apa sih kacung itu? Semacam pesuruh, pembantu, budak, atau dalam konteks ini wakil tidak resmi WHO untuk urusan Covid-19 di Indonesia secara spesifik Bali.

Apa yang salah dari tuduhan Jrx yang dialamatkan langsung kepada IDI? Menurut saya dalam konteks kebebasan berekspresi jelas tidak ada yang salah. Bahkan seorang Presiden US yang dituding sebagai “kacung” Rusia tidak pernah ambil pusing. Apalagi memenjarakan mereka yang sudah dengan lancang membuat tuduhan sadis macam itu.

Oh, mungkin anda akan bilang bahwa ini Indonesia bukan US. Betul ini adalah Indonesia bukan US, tapi perlu anda ingat bahwa pembukaan UUD saja bunyinya jelas bahwa “kemerdekaan itu ialah Hak” catat ya merdeka itu Hak, bukan Kewajiban.

Karena dia masuk dalam ranah Hak maka seorang Jrx tentu saja berhak menggunakan hak dia untuk menyuarakan pendapatnya secara bebas dan merdeka. Bagi mereka yang tidak sependapat dengan pandangan Jrx, tentu saja punya hak merdeka yang sama untuk membuat argumen bantahan secara terbuka.

Bukan dengan mengambil jalur “kepengecutan” dengan melaporkan sebuah pernyataan ke lembaga kepolisian. Jelas bukan tugas polisi dalam urusan bahasa komunikasi rakyat terutama rakyat yang berkeliaran di media sosial.

Sebagai sebagai warga negara Indonesia yang masih merdeka, saya jelas menolak cara-cara menyelesaikan persoalan omong-omong media sosial dibawa ke ranah hukum, karena alasan konstitusional yang sudah saya uraikan di atas.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin mengutip Voltaire bahwa “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakan itu.”

Nah, dari Voltaire kita bisa belajar membangun demokrasi bangsa kita lewat pendekatan yang lebih manusiawi, berkeadilan dan beradab.

Salam Kebebasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.