Mencermati Wanprestasi Sebagai Penipuan

Oleh: Uratta Ginting SH

 

Menusia adalah makhluk sosial. Itu sudah kodrat, bahwa manusia tak mungkin hidup sendirian. Manusia hidup berkelompok karena sesama manusia pada dasarnya saling membutuhkan.

Agar dalam lalu lintas pergaulan tidak terjadi benturan kepentingan, maka diperlukan hukum untuk menjaga ketertiban dalam kehidupan kelompok tersebut.  Jika seseorang  untuk keperluan pengembangan usahanya membutuhkkan kucuran dana segar berupa pinjaman kepada seseorang yang mampu memberi pinjaman adalah suatu bukti bahwa manusia betapa hebatnya pun tidak mampu hidup sendirian.

Dalam setiap hubungan hukum yang terjadi timbul hak dan kewajiban para pihak yang harus dilaksanakan atas dasar itikad baik. Katakanlah urusan pinjam-meminjam uang tersebut sudah disepakati akan dikembalikan paling lambat 12 (dua belas) bulan ditambah sejumlah bunga yang dibayarkan perbulannya.

Persoalannya menjadi lain jika si peminjam uang tersebut tidak mengembalikannya kepada pemilik uang setelah 12 (dua belas) bulan berlalu. Menurut hukum sipeminjam disebut wanprestasi karena tidak memenuhi prestasi sesuai yang telah disepakati sebelumnya.




Bisa jadi pemilik uang begitu kesal menghadapi tingkah si peminjam yang selalu mengulur waktu membayar pinjamannya dengan berbagai dalih. Sehingga timbul niat kreditur (pemilik uang) menyerahkan persoalannya kepada pihak berwajib meskipun hubungan hukum antara mereka atas dasar perjanjian adalah ranah hukum perdata, bukan pidana.

Wanprestasi

KUHPerdata tidak memberi batasan yang jelas tentang wanprestasi. Dalam prakteknya wanprestasi sering juga disebut “Cidra janji atau ingkar janji.” Namun, para ahli hukum Indonesia memberi rumusan secara garis besarnya, “Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik dan debitur punya unsur salah atasnya” (J. Satrio, 2011:3).

Kata-kata adanya unsur salah pada debitur tersebut maksudnya karena tidak dipenuhinya kewajiban itu sebagaimana mestinya. Pada hal setiap perjanjian yang sah berlaku prinsip kejujuran sebagai syarat terbentuknya kesepakatan diantara mereka yang membuat perjanjian.

Debitur atau sipeminjam kadang kala punya pengalaman tersendiri dalam berbisnis, sehingga menyadari betul implikasi tidak dipenuhinya isi perjanjian “sanksinya” hanya sebatas pembayaran ganti rugi dan hal itu baru dipenuhi jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila misalnya,  tidak ada juga itikad baik melaksanakan putusan pengadilan secara sukarela. harus pula ditempuh melalui upaya eksekusi.




Oleh karena itu, jalan satu-satunya menurut hukum untuk memaksa si peminjam yang telah wanprestasi agar segera memenuhi prestasinya tidak ada upaya hukum lain kecuali melalui gugatan perdata ke pengadilan.

Namun, bukan rahasia bahwa menempuh jalur gugatan perdata memakan waktu panjang, tidak seperti awal pinjaman terjadi hanya butuh waktu singkat dan tidak rumit karena para pihak benar-benar memang telah sepakat.

Dalam praktek penegakan hukum berkenan dengan perjanjian adalah sebagai ranah hukum perdata,  seseorang sering mencari jalan pintas untuk mendapatkan haknya kemballi dengan cara membuat laporan polisi dengan alasan pelapor adalah korban penipuan.

Sedang untuk menetapkan seorang menjadi tersangka sebagai tindak lanjut laporan seperti penangkapan dan penahanan terhadap seorang yang telah wanprestasi tersebut sepenuhnya adalah kewenangan yang dimiliki oleh penyidik polisi.

 

Penipuan (Bedrog)

Apakah karena kreditur (pemilik uang) jengkel, buta hukum atau ingin  segera menerima uangnya kembali dengan utuh?

Di sinilah sering terjadi modus korban melapor pada polisi atas dasar penipuan (bedrog) sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP atau dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 1328 BW.

Meskipun awalnya adalah hubungan hukum perdata pinjam meminjam uang, dibuktikan dengan akta otentik atau dibawah tangan. Jika penyidik polisi menemukan dalam perjanjian adanya unsur rangkaian kata bohong, tipu muslihat dan keadaan palsu,  terlapor debitur dapat saja ditetapkan sebagai tersangka karena bersalah melakukan penipuan.

Dalam jurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1885 K/Pid/2008, tanggal 3 Desember 2008, dalam pertimbangan hukumnya menegaskan, bahwa perjanjian kerja sama lelang pengadaan kain dengan menggunakan nama sebuah CV ternyata Cv tidak pernah ada. Sementara korban telah menyetor dana kepada pemilik CV. Ketika lelang tidak terlaksana, uang diminta oleh korban, pihak CV menolak menyerahkan uang, perbuatan demikian diputuskan terbukti sebagai penipuan.

Kasus jual beli rumah yang telah disepakati dan dituangkan tertulis dalam satu perjanjian. Namun, salah satu pihak wanprestasi (tidak melaksanakan prestasi seperti telah disepakati) akibatnya kerugian timbul pada pihak lain, lalu membuat laporan pada polisi.

Dalam putusan Mahkamah Agung RI No.1927 K/Pid/2007, tanggal 14 November 2007 kasus tersebut diputuskan  bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti melakukan penipuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP. Kendatipun ada pihak yang dirugikan menurut putusan MA terebut, maka pihak lain dapat mengajukan ganti kerugian, sebagaimana diatur Pasal 1919 BW.

Kasus hutang dua orang pengusaha untuk keperluan pengembangan usaha telah berhutang kepada seseorang dengan jaminan giro bilyet. Dua pengusaha sampai batas waktu yang telah disepakati secara tertulis tidak membayar hutangnya kepada pemilik uang.

Oleh karena pemilik uang telah berkali-kali memintanya kepada pengusaha tersebut, apalagi giro bilyet sebagai jaminan yang diberikan ternyata kosong, tanpa ada dananya di Bank yang ditunjuk. Akhirnya masalah piutang tersebut dilaporkan kepada polisi.

PN Samarinda mengadili dalam perkara No.15/Pid/1991 memberikan putusannya yang amarnya berbunyi, “Perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran.” Selanjutnya membebaskan dua pengusaha tersebut dari tuntutan hukum. Sedang di tingkat banding, Pengadilan Tinggi menyatakan permohonan Jaksa tidak dapat diterima. Demikian juga pada tingkat kasasi, MA dalam putusannya No. 999 K/Pid/1982 menolak permohonan kasasi Jaksa.

Persoalan semula adalah hutang yang belum tuntas. Namun, karena dua pengusaha yang pernah sebagai terdakwa menggugat pencemaran nama baiknya terhadap pemilik uang karena dianggap telah membuat pengaduan dengan fitnah (Pasal 317 KUHP).

Pengadilan telah pula menolak gugatan dua pengusaha berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 562 K/Sip/1973, perbuatan memasukkan pengaduan pada polisi untuk mempertahankan hak keperdataan, tidak termasuk perbuatan melawan hukum in casu  perbuatan fitnah seperti dimaksudkan pasal 1365 BW.

Atau jika pengaduan polisi dianggap memfitnah – quod non—berdasarkan Pasal 1380 BW gugatan dua pengusaha telah kadaluarsa.




Untuk menentukan seseorang telah wanprestasi apakah karena pura-pura lupa (lalai dalam Pasal 1238 BW) ataukah ada unsur disengaja tidaklah mudah untuk menentukan apakah ranah hukum perdata atau pidana penipuan.

Menurut hemat penulis untuk mencermati kedua hal tersebut perlu pemahaman fakta juridis dan pembuktian terhadap fakta-fakta hukum berkaitan dengan “perbuatan sebelumnya” dan “perbuatan sesudah” perjanjian dibuat. Dengan demikian dapat memperjelas perbuatan mana dikategorikan sebagai wanprestasi (perdata) atau penipuan (pidana).

Jika seorang mengikatkan diri kepada pihak lain dalam satu perjanjian tertulis tentang jual beli kayu. Akan tetapi, usai perjanjian ditandatangani belakangan diketahui pihak penjual kayu tersebut tidak pernah berurusan dengan kayu. Rasanya tidak adil jika penjual tersebut dinyatakan hanya wanprestasi (Pasal 1236 BW).

Karena salah satu pihak akibat perbuatan si penjual telah mengalami kerugian besar.  Bilamana salah satu pihak mengetahui keadaan sebenarnya dilandasi adanya kebohongan tipu muslihat, keadaan palsu tidak mungkin terjadi kesepakatan para pihak, karena kesepakatan adalah sebagai unsur paling utama dalam  jual beli kayu tersebut (Pasal 1320 BW).




Penipuan (bedrog) dalam hukum pidana (Pasal 378 KUHP) sebenarnya berbarengan dengan penipuan dalam hukum perdata (Pasal 1328 BW). Dua koridor hukum ini dapat ditempuh oleh orang yang merasa dirugikan sebagai akibat hubungan perjanjian yang dilandasi dengan tipu muslihat dan rangkaian kata bohong, keadan palsu terkait efek jera dengan sanksi pidana penjara. Kemudian penipuan menurut Pasal 1328 BW juga dapat ditempuh dengan cara mengajukan gugatan perdata terkait ganti kerugian.

Meskipun antara wanprestasi dan penipuan, masing-masing berada dalam ranah hukum yang berbeda, namun tidak dapat saling dipertukarkan secara sembarangan dan sewenang-wenang.

Karena bisa jadi maksud hati ingin menegakkan hukum justru mengorbankan keadilan itu sendiri; bahkan sekaligus melanggar HAM seseorang, sebagaimana bunyi Pasal 19 ayat (2) UU No. 39 Th 1999 Tentang HAM, menegaskan :

“Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang-piutang.”

 

Penulis adalah Uratta Ginting SH, Advokat, tinggal di Medan.

E-Mail : [email protected]









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.