Kolom Muhammad Nurdin: MENGAMANKAN ORANG-ORANG BAIK DI SEKITAR JOKOWI

April 2016 silam, Sri Mulyani menyampaikan salam perpisahannya dalam sidang tahunan Bank Dunia dan IMF. Ia mengatakan, “Saya sangat mencintai Indonesia, dan tidak punya pilihan lain, saya harus kembali.” 6 tahun silam, saat ia memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai Menteri Keuangan di Era SBY, dan mengasah karirnya di dunia internasional (Bank Dunia), keluarganya sempat terkejut dan tidak percaya.

Tapi, Sri Mulyani berjanji kepada keluarganya, suatu hari ia akan kembali. Suatu hari ia akan mengabdi kembali di tanah kelahirannya, Indonesia.

Dan, benar saja. Setelah 6 tahun berlalu. Indonesia menyuruhnya pulang. Presiden Jokowi memintanya kembali ke Indonesia. Ada tugas besar lagi berat untuknya.

Sri Mulyani seolah menemukan momentum untuk kembali mengabdi, untuk menjawab kegelisahan yang selalu menghantuinya tentang bagaimana caranya ia bisa mendapatkan kesempatan sekali lagi untuk membangun negeri ini.

Sri Mulyani

Jokowi tahu, Sri Mulyani adalah bintang. Ia adalah begawannya keuangan di dunia. Tapi, Jokowi juga tahu soal kekecewaan yang tak pernah diungkapkannya dulu. Dulu, saat ia memutuskan lebih baik berkarir di luar negeri. Sebab, seolah-olah ia yang paling bersalah dalam satu kasus mega skandal yang cukup ramai kala itu.

Saat Sri Mulyani kembali ke Tanah Air, lalu diminta oleh Presiden menjadi menteri keuangan, ia bertanya kepada Presiden, “Pak Presiden, mandat saya apa?”

Jokowi menjawab, “Saya mau bangun infrastruktur, mau bangun SDM, tapi saya gak mau pusing soal ekonomi negara.”

Sri Mulyani membalas, “Tapi ekonomi negara lebih pusing, pak.”

Dengan entengnya Jokowi menjawab, “Ya, itu urusan kamu.”

Jokowi tahu kompetensi Sri Mulyani. Ia sudah tak perlu didikte lagi, asal arah pembangunan Indonesia jelas ke mana.

Pak Tani (Lokasi: Wonoasri, Kab. Madiun). Sumber foto: https://cakshon.com/tag/orang-desa/

Dan Sri Mulyani juga tahu bahwa Presiden punya visi yang konkret, ingin membangun dari pinggiran, ingin benar-benar infrastruktur itu bisa memecahkan masalah.

Dua tahun menjabat sebagai menteri keuangan, kita saksikan APBN kita sudah tidak sakit lagi. Kita sudah bisa mendulang surplus. Ekonomi kita bangkit. Pengangguran terus dikikis. Inflasi tetap dijaga.

Jokowi benar-benar mempercayakan ekonomi negara sepenuhnya kepada Sri Mulyani. Ia tidak mau pusing soal itu. Sebab, ada pekerjaan besar yang harus ia kebut. Ya, pembangunan infrastruktur (dari pinggiran).

Jokowi perlu satu orang yang memang tidak jauh beda dari dirinya, yang gila kerja juga koppig (keras kepala). Ia menemukan satu orang, Basuki Hadimuljono. Mungkin, tidak ada orang di negeri ini yang gila kerja (membangun negeri) semisalnya.

Kadang ia berada di Jawa. Tak lama ia sudah berada di Sumatera. Tak lama lagi di pedalaman Papua. Di Maluku, Timor, Sulawesi, Lombok dan di tempat-tempat dimana Presiden mau dibangunkan sesuatu di tempat tersebut.

Di Jawa sudah tersambung jalan tol. Sebuah pekerjaan yang sudah sejak lama didambakan para pengguna roda empat, enam, delapan juga sepuluh.

Basuki Hadimuljono (tengah)

Di Papua, tempat-tempat yang dulunya hanya bisa ditempuh lewat udara atau jalan kaki, kini sudah membentang jalan mulus yang bisa dilalui aneka kendaraan.

Menteri yang didaulat sebagai Daendlesnya Jokowi ini mengaku sudah tak punya waktu luang lagi. Ia berujar, “Hidup saya mungkin sekarang habis untuk pekerjaan. Rumah, kantor, istana dan lapangan. Hidup saya hanya itu 4 tahun ini.”

Bahkan, saat akhir pekan pun, kadang digunakan untuk meninjau proyek infrastruktur di luar Jakarta.

Basuki mengaku tak pernah lelah berkeliling Indonesia. Sebagai anak yang hidup di keluarga tentara ia kerap mengikuti sang ayah yang sering berpindah tugas.

Tak hanya Basuki, Jokowi juga memiliki Retno Marsudi. Perempuan pertama yang memangku jabatan sebagai Menteri Luar Negeri.

Perempuan yang pernah menjadi Dubes untuk Norwegia dan Belanda ini dikenal sebagai sosok yang ramah dan hangat. Berpenampilan sederhana, perempuan kelahiran Semarang ini mempunyai etos kerja yang tinggi.

Pada Januari 2015, Retno mendapat anugerah tertinggi “Ridder Grootkruis in de Orde van Oranje-Nassau” dari Raja Belanda, karena prestasinya yang luar biasa sewaktu menjabat Dubes RI untuk Belanda.

Padahal, Belanda merupakan pos yang sulit untuk banyak diplomat. Ketegangan diplomatik selalu menjadi dinamika yang sulit disudahi. Entah karena catatan sejarah yang kelam di masa lampau. Tapi, Retno membuktikan kapasitasnya sebagai diplomat yang handal. Sehingga, hubungan bilateral dua negara ini terus meningkat.

2017 lalu, saat ramai kasus “genosida Rohingya” di Myanmar. Banyak pihak menuding pemerintah bungkam dan tidak berbuat apa-apa. Oposisi makin yakin bahwa pemerintahan Jokowi sebagai anti-Islam.

Padahal, sejak 2016 Menteri Retno sudah mulai membuka jalur “humanitarian aid” di Myanmar. Pada saat itu, Myanmar sangat tertutup dengan bantuan asing sehingga kasus penyiksaan etnis Rohingya semakin tidak terkontrol.

ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara pun sulit untuk bertindak karena adanya prinsip “non-interference”. Tapi Retno sekali lagi membuktikan kehandalannya sebagai diplomat.

Retno Marsudi (kiri) bersama
San Suu Kyi (kanan)

Retno akhirnya mengadakan pertemuan dengan San Suu Kyi di Naypidaw, Myanmar pada 6 Desember 2016 membahas terkait masalah Rohingya di Rakhine State.

Pada 19 Desember 2016 diadakan pertemuan ASEAN Retreat di Yangon, Myanmar untuk menindaklanjuti pertemuan Retno dan San Suu Kyi. Retno memaparkan agar permasalahan di Rakhine State diselesaikan menggunakan pendekatan inklusif.

Akhirnya, Myanmar membuka akses media dan kemanusian melalui ASEAN juga PBB dengan tujuan menstabilkan kondisi di Rakhine State.

Ada banyak sekali orang-orang baik di sekeliling Jokowi. Baru 3 orang saja saya ceritakan, saya sudah berkesimpulan, Jokowi punya magnet yang kuat untuk menarik orang-orang yang gila kerja berada di lingkarannya.

Orang-orang itu seperti terpanggil nuraninya untuk membantu Jokowi membangun negeri ini. Mereka tak butuh uang. Mereka juga tak butuh pemberitaan secara personal. Sebab mereka telah selesai dengan dirinya.

Saya tak bisa membayangkan, jika orang-orang baik di lingkaran Jokowi ini harus tersingkir seiring kekalahannya di Pilpres 2019. Nasib sial warga Jakarta, dimana orang-orang gila kerjanya Ahok dipindahkan. Apakah skalanya akan menjadi nasional jika Jokowi kalah dalam Pilpres nanti?

Kalau itu terjadi, yang sial dan rugi adalah kita. Sementara Jokowi dan orang-orang di belakangnya akan kembali menghabiskan masa tuanya dengan duduk-duduk santai di beranda rumah, sambil baca koran ditemani secangkir kopi yang agak pahit.

Dan, saat sebuah headline dibacanya, mereka hanya tersenyum getir. Sambil bergumam dalam hati, semoga negeri ini baik-baik saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.