Kolom Darwono Tuan Guru: MENGAPA KETUPAT?

Darwono Tuan GuruCerita tentang ketupat, dalam wacana Jawa, ada tembang yang liriknya seakan serem tetapi sebetulnya bercerita tentang ketupat, yang dibelah. Mari kita renungkan lirik tembangnya:

Paman-paman apa wartane ing ndalan, ing dalan akeh wong mati, dipun kani aya, tinigas pedhang ligan, ing jaja terusing gigir, akari raga, badan kari ngalinting.

Berita apa yang ada sepanjang jalan, sepanjang jalan banyak orang mati karena dianiaya dengan pedang dari dada hingga punggung tubuh tinggallah selongsong yang berkerut.

Sepertinya kabar tentang korban-korban tak bernyawa, tetapi ketika kita membaca gatra terahir, badan tinggal menggulung (ngalinting), tentu yang dimaksud bukan badan manusia yang mengelinting tentu sesuatu yang berbentuk lembaran tipis. Untuk jelasnya, ngalinting papir (nginting kertas berisi tembakau untuk dijadikan semacam rokok).

Pada lirik di atas adalah cerita tentang ketupat, yang disuguhkan dengan dibelah dari ketupat 3atas hingga bawah dan terbagi dua lalu diiris-iris (tinigas pedhang ligan, ing jaja terusing gigir), sehingga tinggal selongsongnya, yang terbuat dari janur, dan akan mengelinting, menggulung kering akibat panas matahari.

Tembang di atas adalah contoh tembang Macapat yang tergolong tembang Durma. Seperti kita pahami, bahwa Durma juga bisa diartikan sebagai darma, yaitu sifat ingin memberi atau berderma yaitu keinginan untuk menolong sesamanya yang sedang dalam kesulitan. Durma juga menyiratkan hubungan yang sangat erat antar manusia sebagai makhluk sosial. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia senantiasa memiliki ketergantungan pada manusia lainnya. Dengan adanya ketergantungan tersebut, maka setiap individu dituntut untuk bertanggungjawab terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Terutama tanggungjawab dalam mengemban tugas.

Dalam arti nilai-nilai profesionalisme benar-benar dijunjung tinggi.Tanggungjawab akan melahirkan rasa aman sekaligus rasa percaya terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Dengan bertanggungjawab hubungan antara sesama manusia menjadi serasi dan harmonis, sehingga menghilangkan rasa saling curiga dan buruk sangka. Dengan demikian maka hubungan yang dilandasi saling percaya, saling ketergantungan, saling bertanggungjawab serta memiliki keterikatan yang kuat akan menjauhkan manusia dari segala permusuhan.

Lirik tentang “nasib ketupat” pada tembang Durma di atas, mengisyaratkan kepada kita, bahwa sebuah interaksi harus disikapi dengan cerdas, fikiran dingin, tanpa sak wasangka. Sikap su’udhon memaknai lirik Durma di atas akan gagal paham dan bahkan dapat tersesat. Kita mungkin akan tersesat fikir bahwa Si Paman memberi kabar tentang pembunuhan masal. Padahal, yang dimaksud adalah pesta ketupat, yang terkontek dengan masa iedul fitri seperti sekarang ini.




Ketupat, dijadikan simbol dalam interaksi sosial, menurut hemat penulis karena kita memahami bahwa untuk membuat ketupat melibatkan berbagai aspek, termasuk seni membuat slongsongnya dari janur (daun kelapa yang masih muda). Banyak upaya yang harus dikerahkan dalam membuat sebuah ketupat. Itulah sesungguhnya realitas hidup yang harus dihadapi oleh kita semua. Menghadapi hidangan ketupat, maka kita dihadapkan pada perenungan berbagai upaya yang telah dilakukan untuk membuat ketupat. Jika kita bisa mencontoh masyarakat Jepang dengan “Tea Ceremony” nya, maka dengan “Ketupat Ceremony” kita dapat mengambil hikmah yang luar biasa.

Ketupat yang menggambarkan totalitas usaha untuk dapat menikmati hasil jerih payah usaha manusia, penamaan dengan suku terahir yang jatuh pada “pat” sering digunakan untuk rima dari kata lepat (salah), tentu saja ini tidak sekedar kebetulan, ketupat yang dalam bahsa Jawa sering dikatakan sebagai “kupat” (kulo lepat, saya salah), adalah bentuk dari kesadaran akan fitrah manusia yang memang tidak pernah lepas dari kesalahan. Al Insanu mahalul khoto, manusia mengandung sifat alfa`

Di situlah relevansinya, mengapa pada Idul Fitri, kita menggunakan simbol ketupat, atau kupat, untuk mengirimkan pesan dan mengingatkan, ingata kolektik, bahwa kulo lepat, saya bersalah, makanya kita mengucapkan “Mohon ma’af lahir bathin”.

Sayur santen, lawuh ketupat, matur ngapunten, bilih kulo lepat.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.