Kolom Edi Sembiring: MENTERI ATR DAN GUBSU KABURKAN MASALAH TANAH — Petani Karo Hilir Lanjut Jalan Kaki Tuju Istana

Kamis, 30 Juli 2020, tepat hari yang ke-36. Rombongan petani Karo Hilir dari Simalingkar dan Sei Mencirim melakukan aksi jalan kaki dari Medan menuju Istana Negara, Jakarta, untuk mencari keadilan atas tanah mereka yang dirampas oleh PTPN II Tanjung Merawa. Mereka mulai melakukan aksinya sejak tanggal 25 Juni 2020, dengan berjalan kaki 1.812 Km.

Untuk mencari keadilan ke hadapan bapak Presiden Joko Widodo.

Pada hari yang ke-36 ini para petani beristirahat di Lampung Selatan. Para petani disambut dan diberi tempat beristirahat di Kantor PCNU Lampung Selatan.

Sebelumnya, pada tanggal 28-29 Juli 2020, Menteri ATR/ Kepala BPN Sofyan Djalil berkunjung ke Medan. Pada tanggal 29 Juli 2020 dilakukan Rapat Koordinasi (Rakor) Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan di Provinsi Sumatra Utara di Pendopo Gubernur Sumatra Utara, Medan.

Rakor ini diikuti diantaranya oleh Gubernur Provinsi Sumatra Utara (Edy Rahmayadi), Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumatra Utara (Harun Mustafa), Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Sumatra Utara (Amir Yanto), Wakil Kepala Kepolisian Daerah (Wakapolda) Provinsi Sumatra Utara (Mardiaz Husin Dwihananto) dan diikuti oleh seluruh stakeholder yang ada di Sumatera Utara (Sumut).

Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar dan Mencirim Bersatu (Aris Wiyono) via WhatsApp (WA) kepada Sorasirulo.com menyampaikan, sangat disayangkan Sofyan Djalil bersama stakeholder yang ada di Sumatera Utara bukan membahas penyelesaian konflik yang dialami oleh para petani Simalingkar dan Mencirim.

Mereka melainkan membahas soal pemindahan Lanud Suwondo dan penyerahan sertifikat aset Pemda dan tanah wakaf yang disinyalir tanah hasil pembelian tanah eks HGU PTPN II oleh pihak Pemprov. Sumatera Utara beberapa bulan yang lalu.

“Miris rasanya melihat apa yang dilakukan oleh seorang Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil ini. Yang lebih miris ketika ditanyakan oleh media soal aksi jalan kaki yang dilakukan oleh petani Simalingkar dan Mencirim, yang sedang mencari keadilan menempuh jarak ribuan kilometer tersebut, Sofyan Djalil menyampaikan akan segera diselesaikan dengan skema-skema yang telah dibahas dengan pihak Pemprov. Sumut. Itu sudah ditandatangani bersama tanpa melibatkan perwakilan petani. Jelas lagi-lagi ada yang tidak transparan dalam soal skema yang akan dilakukan oleh mereka dan terkesan ditutup-tutupi,” kata Aris.

Lebih miris lagi, lanjut Aris, saat ditanya soal sertifikat hak milik yang sudah dimiliki petani Mencirim namun juga ikut digusur paksa oleh PTPN II, beliau menjawab sertifikat tersebut sudah dimohonkan pembatalannya oleh pihak PTPN II kepada BPN Deli Serdang dan petani segera diberi tali asih.

“Sungguh ini pernyataan seorang menteri yang menurut kami cukup membuat rakyat terkejut. Begitu mudahnya membatalkan sertifikat hak milik yang dimiliki petani hanya dengan surat permohonan pembatalan oleh PTPN II,” kata Aris.

Aris membandingkannya kalau petani yang memohon untuk pembatalan Sertifikat Hak Guna Usaha atas nama PTPN II. Meski pun secara aturan Undang-undang Pokok Agraria memenuhi syarat dan ketentuan, itu pun badan pertanahan dan menteri sangat sulit membatalkannya.

“Tapi ini aneh, ketika punya petani sangat mudah untuk dibatalkan,” tegas Aris.

Sofyan A. Djalil dalam siaran persnya [Kamis 30/7] menyatakan, untuk sengketa tanah di Simalingkar di Sei Mencirim, PTPN II sudah mengajukan permohonan pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dimohon masyarakat dan jika ada SHM masyarakat yang masuk ke lokasi HGU akan diberikan tali asih (Sumber: https://m.republika.co.id/amp/qe9mzf423).

Gubernur Sumut (Edy Rahmayadi) menanggapi ketika disinggung perihal petani asal Deli Serdang yang berjalan kaki ke Jakarta untuk menuntut pembebasan lahan. Menurut Edy Rahmayadi, ada yang jalan kaki sampai Jakarta, sebenarnya tak boleh jalan kaki sampai Jakarta.

“Ikutilah proses administrasi untuk kepemilikan tanah ini. Di sini ada Pak Kapolda, di sini ada Pak Kajati, kalau perlu bantuan hukum. Itu tadi Pak Kajati sudah sampaikan, kalau ada sesuatu yang aneh, laporkan.” (Sumber : https://bratapos.com/…/skema-ala-sofyan-djalil-sengketa-la…/ )

Lucunya penyataan Gubsu yang ditabalkan sebagai merga Ginting ini menurut Aris, dia seolah-olah menyalahkan para petani yang saat ini sedang berjalan kaki menempuh ribuan kilometer untuk mencari keadilan ke Jakarta.

“Tanpa mengevaluasi kerja-kerjanya dan apakah petani ini pernah direspon laporan-laporannya atau tidak. Namun dengan serta merta menyalahkan petani,” kata Aris.

Petani diminta oleh gubernur untuk melapor ke Kapolda, Kajati. Ini semakin tidak nyambung, dan jauh dari harapan masyarakat petani terhadap gubernurnya.

“Yang namanya urusan tanah itu, ya urusan Badan Pertanahan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Bukan urusan Pangdam, Kapolda dan Kejaksaan,” kata Aris.

Pernyataan-pernyataan Menteri ATR dan Gubsu ini memperlihatkan upaya pengaburan masalah dan menjauhkan diri dari apa yang sudah diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo tentang penyelesaian konflik antara petani dan PTPN II selaku Badan Usaha Milik Negara.

Pada Rapat Terbatas tentang Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kantor Presiden, Jumat tanggal 3 Mei 2019, Presiden Jokowi sudah meminta agar kasus-kasus sengketa tanah yang melibatkan rakyat dengan swasta, rakyat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun rakyat dengan pemerintah harus segera diselesaikan secepat-cepatnya agar rakyat memiliki kepastian hukum, ada rasa keadilan.

Video selengkapnya dapat dilihat di bahagian ke-20 di https://youtu.be/XU8

Presiden Jokowi mengatakan, “Konsensi yang diberikan kepada swasta maupun kepada BUMN, kalau di tengahnya itu ada desa, ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsensi itu, ya siapapun pemilik konsensi itu, berikan! Berikan kepada masyarakat kampung, desa, kepastian hukum”.

“Saya sampaikan, kalau yang diberi konsensi sulit-sulit, cabut konsensinya. Saya sudah perintahkan ini. Cabut seluruh konsensinya. Tegas-tegas. Ini rasa keadilan dan kepastian hukum harus dinomer satukan. Sudah jelas hidup lama di situ malah kalah dengan konsensi baru yang baru saja diberikan”.

(Videonya dapat dilihat di https://youtu.be/9AgMpoR5dZI )

Redistribusi tanah kepada masyarakat yang puluhan tahun berada di dalam area yang HGU nya diperpanjang seharusnya dilakukan. Bila mana swasta ataupun BUMN tidak memberikan, sudah seharusnya konsensinya dicabut, namun kenyataan tidak dijalankan.

Kalau merujuk dari perintah presiden tersebut, petani Simalingkar dan Mencirim seharusnya sudah memperoleh kepastian hukum atas tanah mereka. Namun yang terjadi justru dibiarkan berlarut-larut dan akhirnya rakyat digusur paksa.

Dan kini para petani harus berjalan kaki ribuan kilometer untuk bertemu Presiden Joko Widodo untuk meminta keadilan.

#SelesaikanKonflikAgraria
#petanisimalingkar
#petanimencirim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.