Kolom Edi Sembiring: MENTERI ATR DAN GUBSU JANGAN ABAIKAN INSTRUKSI PRESIDEN

Pada Rapat Terbatas tentang Percepatan Penyelesaian Masalah Pertanahan di Kantor Presiden, Jumat tanggal 3 Mei 2019, Presiden Jokowi sudah meminta agar kasus-kasus sengketa tanah yang melibatkan rakyat dengan swasta, rakyat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maupun rakyat dengan pemerintah harus segera diselesaikan secepat-cepatnya agar rakyat memiliki kepastian hukum, ada rasa keadilan.

Presiden Jokowi mengatakan: “Konsensi yang diberikan kepada swasta maupun kepada BUMN.”

Selanjutnya dikatakan oleh Presiden, kalau di tengahnya itu ada desa, ada kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ, kemudian mereka malah menjadi bagian dari konsensi itu, ya siapapun pemilik konsensi itu, berikan! Berikan kepada masyarakat kampung, desa, kepastian hukum.

“Saya sampaikan, kalau yang diberi konsensi sulit-sulit, cabut konsensinya. Saya sudah perintahkan ini. Cabut seluruh konsensinya. Tegas-tegas. Ini rasa keadilan dan kepastian hukum harus dinomer satukan. Sudah jelas hidup lama di situ malah kalah dengan konsensi baru yang baru saja diberikan,” katanya lagi sebagaimana mana dapat dilihat di video VIDEO INI.

Selanjutnya pada tanggal 11 Maret 2020, diadakan Rapat Terbatas Percepatan Penyelesaian Pertanahan Sumatera Utara. Rapat dihadiri Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi.

Presiden Jokowi menerima laporan dari Gubernur Sumatera Utara (Sumut) bahwa ada dua masalah pertanahan di Sumut yang membutuhkan putusan yang cepat agar tidak berlarut-larut. Pertama adalah eks HGU PTPN II. Kedua terkait sengketa lahan di Pangkalan Udara Soewondo (eks Bandara Polonia Medan).

Presiden Joko Widodo mengatakan, “Terkait eks HGU PTPN II, data yang saya miliki terdapat 5.873 Ha yang telah dikeluarkan dari HGU PTPN II dan statusnya dikuasai langsung oleh negara. Dari luas tersebut 3.104 Ha belum beroleh ijin penghapusbukuan dari Kementrian BUMN. Dan telah ditetapkan daftar nominatif pihak yang berhak. Sedangkan sisanya seluas 2.768 Ha telah memperoleh ijin penghapusbukuan”.

“Tetapi sejalan dengan itu, saya minta Kementrian BPN untuk mengeluarkan kebijakan pembekuan administrasi pertanahan terhadap tanah ex HGU PTPN II untuk menghindari spekulasi tanah. Sehingga tanah ex HGU PTPN II betul-betul dimiliki dan bisa dimanfaatkan oleh rakyat berdasarkan daftar nominatif yang sudah ada. Atau dilakukan inventarisasi dan verifikasi ulang oleh pemerintah provinsi Sumatera Utara. Tolong betul-betul ada inventarisasi, ada verifikasi ulang”.

(Dapat dilihat di : https://youtu.be/64yzg0an-N4 )

Lalu Presiden Joko Widodo memberi contoh penyelesaian konflik tanah di Kampar (Riau). Keberpihakan yang kuat dari Presiden Jokowi kepada masyarakat, membuat selesainya sengketa tanah ulayat antara warga Sinama Nenek, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, dengan PT Perkebunan Nusantara V seluas 2.800 hektar. Sengketa tanah ulayat itu telah berlangsung selama 22 tahun.

Bisa disimpulkan :

1. kalau di tengah areal konsensi ada desa, atau kampung yang sudah bertahun-tahun hidup di situ maka pemilik konsensi itu harus menghargai hak/kepemilikan masyarakat kampung atau desa.

2. kalau mempersulit, cabut konsensinya.

3. ada 5.873 Ha yang telah dikeluarkan dari HGU PTPN II dan statusnya dikuasai langsung oleh negara. Negaralah yang akan mendistribusikan pada rakyat.

4. lalu Pemprov Sumut melakukan inventarisasi dan verifikasi. Perkampungan yang sudah berdiri lama tentu mendapat kesempatan utama.

5. bila inventarisasi berjalan tidak baik, hasilnya pun tak baik. Perlu dibuka daftar yang berhak atas tanah-tanah ex HGU PTPN II itu, apakah sudah tepat. Perlu transparansi dan mengikutkan kelompok-kelompok pemerhati agraria, kelompok-kelompok tani dan masyarakat.

Redistribusi tanah kepada masyarakat yang puluhan tahun berada di dalam area yang HGU nya diperpanjang seharusnya dilakukan. Bila mana swasta ataupun BUMN tidak memberikan, sudah seharusnya konsensinya dicabut, namun kenyataan tidak dijalankan.

Kalau merujuk dari perintah presiden tersebut, petani Simalingkar dan Mencirim seharusnya sudah memperoleh kepastian hukum atas tanah mereka. Namun yang terjadi justru dibiarkan bertahun-tahun berlarut-larut dan akhirnya rakyat digusur paksa. Dan harus berjalan kaki ribuan kilometer untuk bertemu Presiden Joko Widodo untuk meminta keadilan.

170 petani berjalan kaki dari Medan sejak tanggal 25 Juni 2020 menuju Jakarta. Saat ini (31/07/2020) sudah sampai di Lampung Selatan. Koordinator aksi jalan kaki, Sulaiman Sembiring, mengatakan mereka jalan kaki dari Medan menuju Jakarta dengan tujuan ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk menuntut keadilan.

Mereka tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) yang bertahun-tahun memperjuangkan tanah yang mereka tempati yang telah digusur paksa oleh korporasi PTPN II.

Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar dan Mencirim Bersatu, Aris Wiyono, via WhatsApp (WA) kepada Sorasirulo.com pada tanggal 31 Juli 2020 menyampaikan bahwa sebenarnya banyak peluang untuk bisa menyelesaikan masalah konflik ini oleh Kementrian Agraria dan Tata Ruang.

Semisal seperti petani Simalingkar yang dari tahun 1951 sudah ada kampung besar di dalamnya. Namun hari ini di area tersebut diterbitkan Sertfikat HGU No.171 tahun 2009. Dan di atas SHGU ini diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) No.1938 dan No.1939 tahun 2020 atas nama PT. Nusa Dua Bekala (NDB).

“Menteri Sofyan Djalil seharusnya bisa melihat dengan jelas SHGU No.171 tahun 2009 (seluas 854 hektar) pada tahun 2017 saja terjadi konflik. Lalu konflik belum selesai, diterbitkan lagi SHGB tahun 2020. Sedang sebenarnya, barang siapa mengalihkan SHGU menjadi SHGB maka si pemegang hak wajib mengeluarkan minimal 20 persen dari luasannya kepada petani di dalamnya. Ini peraturan presiden yang mengaturnya. Tepatnya di PERPRES No.86 tahun 2018 pasal 7 huruf a,b dan c. Nah kalau Mentri ATR berniat menyelesaiakan itu mudah sebenarnya,” kata Aris.

Video selengkapnya bahagian 21 Lihat di :
https://youtu.be/C-mzgaAaPcM

“Dan soal petani Mencirim itu lebih mudah penyelesaiannya. Mereka memiliki SK Landreform tahun 1964, dan ini merupakan SK Landreform pertama kali terbit. SK Landreform tersebut gamblang bunyinya, memberikan tanah kepada petani Mencirim dan sekitarnya seluas 1,1 hektar tiap kepala keluarga, untuk 486 kluarga. Dan pada tahun tersebut petani baru diberikan 5.000 meter/kepala keluarga. Sisanya yang 6.000 meter akan diberikan pada tahun berikutnya. Namun hingga sekarang sisa lahan tersebut belum juga diberikan kepada petani Mencirim,” kata Aris.

“Lahan seluas 473 hektar sebenarnya sudah dihuni dan dikelola puluhan tahun oleh petani Mencirim yang saat ini digusur paksa. Sertifikat Hak Milik (SHM) yang terbit dan dimiliki oleh petani karena berlandaskan SK Landreform tersebut. Dan seharusnya Sofyan Djalil wajib memberikan hak atas tanah kepada petani Mencirim dengan lebih mudah dan gampang, karena landasannya SK Landreform tahun 1964,” kata Aris.

Namun semua ini tentang keberpihakkan. Apakah keperpihakan Menteri ATR dan pemerintah daerah kepada petani Simalingkar dan Mencirim, ada atau tidak?

“Dan kenapa kami petani berjalan kaki ke Jakarta untuk bertemu dengan pak Presiden Joko Widodo? Agar negara hadir dan presiden melihat secara benar permasalahan ini. Sehingga kami bisa mendapatkan keadilan dan kepastian hukum atas tanah yang puluhan tahun telah kami tempati,” tegas Aris.

#SelesaikanKonflikAgraria
#petanisimalingkar
#petanimencirim

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.