Merawat Dialog Sinabung (Bagian 1)

Oleh: Ananta Bangun (Medan)

 

elisabeth barus 12Erupsi Gunung Sinabung menjadi simbolis misteri alam di luar nalar manusia. Kronisnya batuk-batuk ‘sang Bulang’ (dalam bahasa Karo berarti: kakek) memicu kejenuhan. Ini bermula dari pertanyaan: “Kapan erupsi ini akan berakhir?”

Bisa dimaklumi karena pengungsi dari kaki gunung tersebut, mayoritas bernafkah dari pertanian. Pun, para relawan tidak mampu rutin meluangkan waktu dalam bakti sosial mereka. Kecemasan, Putus Asa pun lahir dalam siklus monolog pertanyaan di atas. Padahal, kita masih keliru menumbuhkan dialog tentang erupsi Sinabung.

Laiknya proses dalam penanganan tanggap bencana secara umum, distribusi bantuan ditempatkan pada kolom prioritas. Kebijakan ini tepat dilaksanakan bila saja dampak bencana hanya sementara. Mungkin dalam hitungan minggu atau beberapa bulan saja. Meskipun tak dipungkiri tetap juga ada kekagetan yang mirip culture shock bagi penerima donasi. Bantuan materi mengalir bak banjir sebelum adanya dialog saling memahami antara pihak pemberi dengan penerima.

Persepsi baru muncul, seibarat menjejalkan sejumlah besar pakan ke mulut ayam, karena melimpahnya bantuan tertentu pasca bencana alam. Pola fikir baru ini mempersempit tradisi sebelumnya, memperoleh nafkah dari kerja keras.  Tentu saja mereka tersedak.

Bila dalam skenario dampak bencana temporer ada kemungkinan munculnya efek ‘tersedak’ tersebut, bagaimana dengan penanganan bencana Sinabung? Dari satu sisi, kondisi tersebut bisa sengaja diciptakan. Isu bencana alam merupakan satu metode penggalangan dana paling mudah dilakukan. Peran para penyumbang lebih banyak secara parsial atau terpisah.

ngguntur purba 170Dalam fikirannya, kewajiban moral tersebut mampu diteruskan lembaga/ organisasi bakti sosial. Lemahnya pengawasan dan skema ‘titip moral’ ini lah memancing penyalahgunaan. Karenanya tak heran ditemui punggawa lembaga/ organisasi bakti sosial berpenampilan flamboyan tiap kali bencana terjadi. Kita tentu masih ingat bagaimana gegernya pemberitaan kehidupan glamor seorang petinggi palang merah di negeri Tirai Bambu. Sementara di negeri sendiri, ini masih sekadar bisik-bisik sesama tetangga saja.

Namun, ada juga peran parsial yang cukup membingungkan. Ini biasa dilakukan pihak korporat. Dalam hitungan kuantitas, pemberian bantuan materi bagi pengungsi umumnya cukup besar. Dan hampir mengena dalam konsep bantuan dampak bencana temporer. Tetapi trik mereka terkuak ketika barisan media massa menyusul.

Benar, agenda donasi tersebut merupakan upaya memulihkan atau memperkuat citra. Tak perlu kaget menemui banyak selimut dan pakaian bagus bertebaran di posko Sinabung melebihi populasi pengungsinya sendiri. Seusai publikasi media, hubungan keduanya pun turut lepas (Bersambung ke Bagian 2).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.