Monyet, Pisang, Uang dan Pilkada

Oleh : Jhon Billy Meliala (Jakarta)*

 

billyMonyet adalah binatang dengan tingkat kecerdasan tinggi, setelah simpanse, lumba-lumba, dan gajah.  Monyet memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, mengingat dengan baik, serta mempelajari hal-hal yang baru. Hewan yang dikenal  berwajah ekspresif ini tergolong sebagai hewan sosial yang dapat merencanakan tindakan bersama-sama.

Dalam beberapa aspek, kecerdasan monyet dan manusia dalam mungkin saja sudah tidak jauh berbeda lagi.

Salah satu aspek vital yang menurut penulis menarik untuk dibandingkan adalah kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Kemampuan berpikir abstrak ini adalah suatu aspek yang penting dari inteligensi, karena mencakup  penggunaan efektif dari konsep-konsep serta simbol-simbol dalam menghadapi berbagai situasi khusus untuk mengambil keputusan.

Kemampuan berpikir abstrak tidaklah terlepas dari pengetahuan tentang konsep, karena berpikir memerlukan kemampuan untuk membayangkan atau menggambarkan benda dan peristiwa yang secara fisik tidak selalu ada/ tidak berwujud.  Orang dengan kemampuan berpikir abstrak yang baik akan dengan mudah menemukan pemecahan masalah tanpa hadirnya objek permasalahan itu secara nyata. Sedemikian pentingnya kemampuan berpikir abstrak, sampai-sampai ada yang ”menerjemahkan” kecerdasan sebagai kemampuan untuk melakukan pemikiran abstrak (the ability to carry on abstract thinking).

Bagaimana dengan monyet? Apakah monyet juga memiliki kemampuan berpikir abstrak?

Monyet memiliki kemampuan untuk berpikir abstrak, namun kadar berpikir konkretnya jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan berpikir abstrak. Dalam monyet 2mengambil keputusan, monyet akan lebih banyak mempertimbangkan sesuatu yang bisa dilihat dan ada secara fisik. Contohnya, monyet yang diberi makan pisang dalam jumlah sangat banyak tidak akan bersedia menukar pisangnya dengan benda lain, sekalipun pisang miliknya berlebih. Itulah sebabnya monyet belum sampai pada peradaban jual-beli barang (re:pisang) dengan cara tukar-menukar alias barter, apalagi pada tahap penggunaan uang.

Monyet yang memiliki pisang berlebih tidak akan mau menjualnya ke monyet lain, dan monyet yang kekurangan pisang juga tidak akan bersedia membeli atau menukarnya dengan suatu benda yang dia miliki. Monyet belum sampai pada tahap meng-“abstraksi”-kan uang sebagai sesuatu yang bernilai selayaknya manusia.

Sebaliknya, manusia justru memiliki kemampuan berpikir abstrak yang sudah sangat baik, sampai-sampai kemampuan berpikir konkretnya kadang-kadang dilupakan. Manusia begitu imajinatif sehingga mampu memasukkan pertimbangan-pertimbangan yang secara fisik tidak ada/ tidak kelihatan sebagai bahan pertimbangandalam mengambil keputusan. Peradaban tukar-menukar barang yang kemudian berubah menjadi peradaban jual-beli menggunakan uang adalah bukti adanya suatu lompatan kemajuan berpikir abstrak pada manusia.

Hal ini menjadi menarik karena manusia bisa menyepakati nilai sekeranjang buah dengan beberapa lembar kertas yang bersama-sama disetujui sebagai uang. Peradaban ini kemudian berubah lagi menjadi masa dimana uang tidak lagi diperlukan secara fisik. Keberadaan uang secara fisik hanya ada di dalam Bank atau Lembaga Keuangan, namun kepemilikan, daya tukar, dan nilainya dapat digunakan dan dipindahkan secara virtual. Tabungan adalah wujud kemampuan abstraksi manusia yang sudah sangat jauh melampaui monyet sebagai sesama ordo Primata.

Manusia bersedia membeli dan menjual pisang dengan menggunakan fasilitas Internet Banking, SMS Banking, atau e-money, sementara monyet bahkan tidak bersedia menukarkan satu buah pisang yang digenggamnya dengan satu lembar uang monyetseratus ribu rupiah. Sense of belonging atau rasa memiliki terhadap satu buah pisang antara manusia dengan monyet mungkin saja sama, namun kemampuan abstraksi berpikir  membuat pertimbangan dalam mengambil keputusan antara monyet dan manusia menjadi berbeda.

Bagaimana kaitannya dengan pengambilan keputusan dalam Pilkada?

Sedemikian imajinatifnya kemampuan berpikir manusia, sehingga mampu percaya begitu saja pada hal-hal yang abstrak, seperti janji-janji politik calon kepala daerah dalam pilkada. Manusia kadang juga dengan mudahnya mengabstraksikan hak suaranya dalam pilkada dan kemudian bersedia menukarnya dengan uang. Abstraksi berpikir manusia justru tidak  digunakan untuk menilai kapasitas para calon kepala daerah yang akan dipilih. Keduanya dipertukarkan secara salah dimana janji-janji yang abstrak itu dianggap konkret dan hadir secara nyata tetapi rendahnya kapasitasnya justru tidak dinilai secara konkret. Ah rumit ya.

Para calon kepala daerah juga demikian imajinatifnya sehingga mampu merekonstruksi pemahamannya sedemikian rupa untuk meyakini bahwa tidak menjadi masalah apabila pengeluaran dalam proses pencalonan dirinya menjadi Kepala Daerah jauh lebih besar daripada potensi penerimaan lewat gajinya sebagai Kepala Daerah kelak. Sederhananya, para calon siap menjadi Kepala Daerah meskipun secara hitung-hitungan finansial sangat tidak menguntungkan.

Maka dari itu, otak monyet sebaiknya jangan dibuang semua sehingga pemilih tidak bersedia menjual hak pilih hanya dengan beberapa lembar uang seratus ribu.  Sudah seharusnya menyisakan ruang-ruang konkret dalam cara berpikir sehingga pemilih memahami bahwa kuasanya sebagai pemegang hak pilih tak layak untuk dipertukarkan dengan uang. Pun demikian halnya dengan para calon Kepala Daerah, sudah seharusnya mempertahankan sebagian kemampuan berpikir konkretnya. Kalau secara logika hitung-hitungan sederhana saja sudah tidak menguntungkan untuk apa cara money politic digunakan? Kecuali, sejak awal memang niatnya untuk korupsi dan menyalahgunakan wewenang.

Beberapa hari lagi, Pemilihan Kepala Daerah serentak akan dilaksanakan. Apakah pemilik hak suara di Karo siap mempertahankan hak suaranya dari godaan uang layaknya monyet mempertahankan pisangnya dari godaan uang ratusan ribu rupiah?

*Penulis adalah PNS pada Kemenkeu RI

One thought on “Monyet, Pisang, Uang dan Pilkada

  1. Menarik sekali ulasan pilkada monyet ini.
    Kepintaran monyet itu jelas dari uraian ini, bahwa monyet tak akan memilih cabup yang menjanjikan kebun pisang. Tetapi manusia memilihnya . . . siapa yang lebih pintar ya?

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.