Kolom M.U. Ginting: Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Philipina

M.U. GINTING 3Perjuangan orang-orang muslim Bangsa Moro di Philipina Selatan sudah mulai sejak 1960 dalam organisasi The Moro National Liberation Front (MNLF). Selain itu, ada juga pemberontakan orang-orang komunis pro China ketika perang dingin pada puncaknya. Pemberontakan komunis ini umumnya berakhir setelah perang dingin selesai dan terutama setelah perubahan politik China dalam menanggapi komunisme.

Pemberontakan MNLF yang berdasarkan kultur/ etnis dan dari segi agama (Katolik kontra Islam) masih terus saja sampai hari ini. Komunisme dan pemberontaknya hilang dari Philipina, tetapi kultur/ etnis tak bisa hilang dan tak perlu dihilangkan juga. Karena itu, MNLF masih terus exis sampai sekarang dengan nama baru sejak 1984 yaitu Moro Islamic Liberation Front (MILF).

Tahun 1976 terjadi persetujuan antara Bangsa Moro dengan pemerintah Philipina dengan otonomi daerah Bangsa Moro. Pelaksanaan otonomi ini selalu sangat seret tak tercapai sebagaimana yang diinginkan dan perang berlanjut terus. Libya Kadaffi Moro 2pernah aktif membantu perjuangan Bangsa Moro ini dan juga bantu negosiasi, tetapi tetap saja senjata yang bicara dari kedua belah pihak.

Perjanjian perdamaian terakhir 24 Januari 2014 di Kuala Lumpur antara MILF dan pemerintah, juga mengalami proses yang sama seperti perdamian sebelumnya. Fenomena terakhir ialah munculnya grup baru pecahan dari MILF yaitu BIFF (BANGSAMMORO ISLAMIC FREEDOM FIGHTERS).  Pecahan BIFF ini ikut dalam pertempuran pertama melawan pasukan pemerintah 25 Januari 2015, dimana pasukan pemerintah mau mencari dan menangkap seorang expert bom ISIS dari Malaysia bernama Marwan yang di Philipina dilindungi oleh pasukan BIFF pecahan dari pasukan MILF. US FBI menyediakan uang hadiah $5,000,000 kalau menangkap Marwan. Pasukan Philipina bernafsu besar dapat duit dollar ini. Jelas sekali bagaimana duit dimainkan oleh AS dalam percaturan Philipina ini.

Dengan permainan ini semakin jelas bahwa perang Philipina ini masih sangat jauh dari berakhir. Apalagi sudah dimasuki oleh ISIS yang sudah jelas adalah pejuang depan ’war-based economy’. Terror-based industry telah berhasil menjadikan Philipina sebagai daerah jaminan terkuat dan berjangka panjang pemasaran produksinya, dari senjata canggih modern sampai ke bom canggih modern. Pasti larisnya karena pembelinya banyak di Pilipina, ada pasukan resmi pemerintah (bermacam-macam juga), berbagai pasukan tani privat, dan dua pasukan pembrontak yang kuat. Makin banyak orang Pilipina mati konyol makin laku senjatanya dan bomnya.




Taktik dan strategi ini angat lihai, lihai  bukan main!  Siapa sangka!

Mungkinkah taktik seperti ini berjalan di Indonesia? Di Papua masih selalu ada harapan bagi kekuatan luar itu. Tetapi selalu gagal, karena kesedaran rakyat Papua dan rakyat Indonesia secara keseluruhan sudah jauh lebih tinggi sekarang ini. Dulu masih ada yang mirip, di Aceh. Tetapi sekarang di Acehpun tak mungkin lagi terjadi, karena 12 etnis/ kultur di Aceh yang selama ini dipaksakan masuk ke dalam satu karung oleh GAM, sekarang sudah masing-masing punya karung sendiri seperti ALA dan ABAS. Orang-orang ALA dan ABAS tak mau lagi mati konyol karena diadu-domba orang luar. Mereka mau bebas bikin propinsi sendiri tanpa pengaruh ’war-based economy’.

Orang Batak mau bikin Protap, Mandailing bikin Sumtra, Melayu bikin ASLAB, dan Karo mau bikin Propinsi Karo. Semuanya dalam proses, sebagai yang dicita-citakan bangsa Moro, sebagai pernyataan JATI DIRI tiap kultur. Bagusnya perjuangan suku/kultur kita ini tidak dicampuri oleh ‘war-based economy’. 

Sebagian bisa dilihat di SINI.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.