Kolom Joni H. Tarigan: NASIHAT CENGEK YANG BUSUK

 

Tahun 2017 diawali dengan inflasi yang mencapai 4%. Katanya, ini tidak baik untuk ekonomi. Sederhananya, katanya lagi, semakin tinggi inflasi menandakan harga kebutuhan yang meningkat sehingga menurunkan daya beli masyarakat. Saya sendiri bukanlah ahli ekonomi, walaupun setiap hari informasi Index Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika  merupakan informasi yang sangat penting setiap hari.

Cabe rawit, alias cengek bagi masyarakat Sunda, tidak hanya pedasnya yang tidak sebanding dengan ukurannya. Namanya juga cabe rawit, kecil tapi pedas yang luar biasa. Tahun 2017 ini cabe rawit ini ternyata tidak hanya pedas rasa di lidah, akan tetapi merambat menambah pedas dompet ibu-ibu rumah tangga, dan juga pedagang makanan. Harga cabe rawit memiliki peran dalam tingginya inflasi awal tahun ini.

Hampir seminggu ini cuaca sangat dingin. Curah hujan yang lama dan tinggi, serta tiupan angin menambah dingin saja. Hari ini Minggu, 12 Februari 2017, ketika malam sudah mulai, keinginan untuk menyantap yang hangat dan penas menjadi pilihan untuk melawan dinginnya malam. Langkah pun jadi ringin ke kantin yang tidak jauh dari kediaman kami di Kabupaten Bandung.

“Bu, mie goreng, pedas sedang, ya,” saya memesan mie goreng.

“Ya, bang, kalo di kedai yang lain minta pedas nambah Rp. 5 ribu. Kalo di saya ga usah, karna toh sudah langganan,” jawab bapak yang sudah beruban yang selalu menolong istrinya menyiapkan pesanan makanan.

Terbukti cabe rawit memang pedas tidak hanya rasa di lidah saja. Sambil menunggu mie dan nasi goreng yang sedang dibuat, kami pun berbincang-bincang kalau cabe rawit yang sudah sangat mahal. Akhirnya, saya pun cerita kalau di pekarangan rumah, kami membiarkan cabe rawit membusuk di tanah karena tidak habis terpakai.

“Ah, bang … ga nawarin, sih. Kita mah perlu banget … Sok aja mau dijual berapa?” kata ibu yang sedang sibuk menggoreng.

Sayapun  berjanji lain kali akan menawarkan cabe rawit jika sudah berbuah lagi.

Dinginnya malam ini ternyata benar-benar bisa dilawan dengan pedasnya mie goreng yang pedasnya sedang. Sambil mensyukuri atas makanan hangat ini, pikiran saya pun melayang ke kehidupan sehari-hari. Cabe rawit kami biarkan membusuk, padahal ada orang lain yang sangat membutuhkan bahkan rela membeli. Seandainya saya bersedia menawarkannya kepada orang lain, alangkah bergunanya. Kesediaan menawarkan tersebut saya istilahkan dengan peduli.

Kehidupan ini saya pikir sama. Kadang kala kita memiliki banyak hal yang berlebih, termasuk kata-kata. Hal-hal yang kita miliki kita biarkan berhamburan dan bahkan membusuk. Padahal di lain pihak banyak orang yang sangat membutuhkan apa yang kita buang. Orang lain mungkin tak bisa berkata-kata lagi karena getirnya kehidupan ini. Rasa peduli mungkin bagian yang kita perlukan untuk berbagi kebaikan. Kita yang membuang apa yang kita miliki belum tentu buruk atau jahat, akan tetapi rasa peduli akan membuat rasa kemanusiaan kita menambah harapan bagi orang lain.

Dengan kata lain, kebaikan itu adalah buah dari tindakan yang peduli.

Salam semangat dan perjuangan.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.