Kolom Asaaro Lahagu: NEW MODUS SALAH JOKOWI OLEH DETIK, RUSLAN DAN UGM

Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu

Ada 3 peristiwa terakhir yang cukup menghebohkan publik. Pertama, framing judul berita oleh Detikcom, ke dua, video Ruslan Buton dan ke tiga, seminar di UGM. Ketiga berita itu sasarannya Jokowi.

Isi berita pun berefek negatif terhadap citra pemerintahan Jokowi.

Kalau benar-benar Sherlock Holmes (ahli detektif) ada di dunia nyata, maka ia dengan mudah menemukan tiga hal penting dalam berita itu. Pertama, dalang dan operator sama. Ke dua, modusnya sama dan saling bertautan. Ke tiga, tujuan yang hendak dicapai pun sama.

Mari kita periksa ketiga berita tersebut.

Publik paham bahwa Detikcom ikut bermain api ketika memberitakan kegiatan Jokowi Selasa, 26 Mei 2020 lalu. Di sosial media, beredar gambar screenshot ketiga pemberitaan mengenai agenda Kepala Negara disertai kalimat: “Bikin hoax dulu, pelintir dulu, ralat kemudian”.

Detik membuat judul pagi hari:  “Jokowi Pimpin Pembukaan Sejumlah Mal di Bekasi Siang ini di Tengah Pandemi”. Beberapa saat kemudian berita lain muncul: “Pemkot: Jokowi Saing Ini ke Bekasi, Dalam Rangka Pembukaan Mal”. 

Model Sora Sirulo: Venessa beru Ginting [Binjai]

Apakah Jokowi benar membuka mal? Nyatanya tidak. Lalu sore hari, Detik membuat judul yang terlihat diralat: “Pemkot Bekasi Luruskan soal Kunjungan Jokowi: Cek Persiapan New Normal”.

Dari 3 judul itu, Detikcom mendapat 3 keuntungan ganda. Pertama, klik bait yang deras. Judul yang dibuat oleh wartawan Detik itu jelas menarik untuk dibaca. Ke dua, memancing kemarahan publik soal Jokowi yang berani membuka mal di tengah pandemik.

Keuntungan yang ke dua dan ini yang menarik. ‘Jokowi membuka mal di tengah pandemic’. Dalam strategi militer, peran media massa dengan judul yang bombastis bisa menggiring publik untuk menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama.

Mereka yang tadinya netral kini bisa berbalik memusuhi Jokowi. Itu berarti haters  semakin membesar.

Keuntungan ke tiga, Detik bisa memainkan playing victim yang artinya menjadi korban dari orang yang terusik dari pemberitaannya. Terbukti kemudian ada berita berseliweran di mana-mana bahwa jurnalis Detikcom diancam dibunuh. Lalu AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Jakarta minta aparat mengusut. Dewan pers turun tangan. Mantap! Modusnya sangat rapi.

Apa modusnya? Jokowi disalahkan. Jokowi diframing seakan-akan mengekang kebebasan pers. Seakan-akan Jokowi menyuruh orang untuk mengancam wartawan Detik.

Artinya ada skenario. Buat judul kontroversial, publik marah,  ralat dan lakukan skenario pengancaman terhadap jurnalis. Lalu berlaku sebagai korban (playing victim). Ujungnya Jokowi yang disalahkan sebagai rezim otoriter.

Mari kita periksa modus ke dua, video Ruslan Buton. Ruslan membuat video kontroversial meminta Jokowi mundur. Publik terpancing dan panas karena ikut terhasut. Lalu aparat bergerak. Ruslan ditangkap. Pembuat skenario kemudian membuat framing: ‘Ruslan Buton ditangkap karena dia anti PKI’.

Ini berarti berlagak seakan-akan sebagai korban (playing victim) lagi.

Framing berikutnya dibuat dan ini yang paling penting adalah  Jokowi otoriter, anti kritik. Hanya gara-gara disuruh mundur, dia melakukan penangkapan terhadap Ruslan Buton. Lagi-lagi Jokowi diframing seakan-akan menyuruh orang menangkap para pengkritiknya.

Modus ke tiga adalah seminar di UGM. Perhatikan baik-baik judul seminar itu. Pembuat skenario menggagas seminar kontrovesial. Judulnya: “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan“. Dibocorkan ke publik dengan harapan heboh.

Setelah heboh judul kemudian diganti: “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan“. Tidak lama kemudian dibatalkan. Lalu si pembuat skenario menunggangi UGM agar berlaku sebagai korban (playing victim).

Tidak lama kemudian beredar berita: “Panitia diskusi dengan tema pemecatan Presiden, diancam dibunuh”. Lagi-lagi kesalahan ditujukan kepada Jokowi. Jokowi kembali diframing sebagai orang yang anti kritik dan menyuruh orang mengancam para pengkritiknya.

Jika menganalisis modus atau pola dari ketiga berita heboh itu, hasilnya sama. Pertama ada skenario pembuatan berita, video, seminar atau kegiatan yang heboh (kontroversial) yang ada kaitannya dengan Jokowi. Ke dua, setelah heboh, lalu ralat atau buat alibi. Ke tiga, berlaku sebagai korban (playing victim). Ada ancaman pembunuhan sekaligus adu domba.

Lalu, tujuan akhir adalah framing bahwa Jokowi sebagai rezim anti kritik, anti demokrasi, otoriter. Harapannya adalah memperbesar jumlah masyarakat yang menjadikan Jokowi sebagai musuh bersama (publik enemy).

Jika semakin banyak masyarakat yang tidak suka kepada Jokowi, tinggal satu kejadian saja, maka massa akan mengamuk. Akumulasi emosi mereka membesar dan kemudian meletup. Bensin sudah di tangan, siap disiram. New normal berganti dengan New Leader. Inilah tujuan sebenarnya di balik berita-berita heboh dan kontroversial.

Nah, ke depan new modus untuk menyalahkan Jokowi akan terus bergema, beriak dan berisik. Akan tetapi publik yang cerdas, akan memeriksa modusnya terlebih dahulu. Jika sama, maka tenang saja, jangan terpancing.

Pertanyaannya adalah siapa dalang yang membuat modus atau skenarionya? Jika Sherlock Holmes mau, maka dia bisa menyebut nama tiga orang tokoh beserta groupnya sebagai dalangnya. Namun Sherlock Holmes tidak mau menyebutnya karena hal itu adalah tugas dari Badan Intelijen Negara (BIN).

Cove photo adalah model Sora Sirulo Yanti beu Ginting

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.