ORANG JEPUN

Oleh FRIEDA AMRAN

Aku tak tahu apa-apa tentang orang Jepang. Di kepalaku hanya ada dua orang perempuan Jepang. Yang pertama adalah ahli sejarah yang dulu sama-sama di Leiden. Yang kedua adalah ahli antropologi ekonomi yang ketika penelitian di Lahat menjadi semacam anak angkat Ayah-Ibuku. Tetapi, karena saat ini sedang menerjemahkan buku tentang masa pendudukan Jepang di Indonesia, kepalaku dipenuhi bebayang orang Jepang.

Tak banyak yang kuketahui tentang masa Jepang di Indonesia.

Pikir-pikir, tak banyak pula yang kuketahui tentang masa Belanda di Indonesia. Pikir-pikir lagi, sebetulnya aku tak tahu banyak tentang apa pun! Bagaimana pun, aku mikir: apa yang pernah kudengar atau kualami terkait orang Jepang di Indonesia?

Ada dua hal. Yang pertama cerita dari Ibu dan Tante Ari, adiknya. Ibuku lahir tahun 1931 dan Tante Ari lahir tahun 1932. Ketika Jepang datang, mereka baru mulai beranjak puber: 11 dan 10 tahun. Kakak mereka yang paling tua, Wak YuMas berusia sekitar 18 tahun ketika itu. Kesembilan orang anak perempuan Mbah dan Yai-ku boleh dibilang cantik-cantik.

Ibuku dan Tante Ari bercerita begini: orang Jepang dikenal suka perempuan. Mereka juga dikenal suka dengan perempuan yang berkulit cerah/putih. Jadi, waktu mereka datang, gadis-gadis dan perempuan-perempuan di Baturaja (di selatan kota Palembang)–yang memang umumnya berkulit putih kekuning-kuningan–berusaha membuat dirinya sejelek mungkin.

Mereka memakai pakaian yang lusuh dan kotor. Tidak menyisir rambut dan menggosokkan arang di gigi supaya gigi itu tampak keropos dan membusuk.Apakah ada perempuan Baturaja yang diganggu Jepang?

“Entahlah,” kata Ibu.

“Rasonyo dak katek.” Tante Ari tertawa.

“Dak katek,” katanya. “Lanang mano yang galak dengan betino yang giginyo item busuk galo?!”

Cerita mereka tentang laki-laki Jepang habis di situ dan berlanjut dengan cerita mengenai arang sebagai pengganti odol untuk menyikat gigi di zaman Jepang itu.

Yang ke dua ceritaku sendiri. Barangkali tahun 1979, ketika aku sudah semester 3 di Jurusan Antropologi, seorang mahasiswa Jepang datang belajar di Fakultas Sastra. Aku lupa namanya. Yang kuingat, dia lumayan ganteng dengan kaki-kaki panjang (berbeda dengan kebanyakan laki-laki Jepang yang kulihat seringkali berkaki pendek).

Entah mengapa, aku menjadi berteman dengannya. Aku tak ingat pernah nongkrong bareng di fakultas, tapi ia beberapa kali main ke rumah, minum kopi dan ngobrol.

Suatu saat, dua orang temannya datang dari Jepang. Ia merencanakan acara makan malam untuk menyambut mereka.

“Kamu datang ya,” katanya.

Aku langsung saja mengiyakan. Penuh semangat, ia bercerita akan masak sendiri dan kami akan makan berempat di rumah sewaannya.

Pada hari H-, aku sudah siap sore-sore dengan pakaian lumayan rapi. Ia akan menjemputku dan kami akan sama-sama ke rumahnya. Lalu, datanglah ia. Kukenalkan kepada Ibu yang bersalaman dengan senyum seperti biasa. Aku masuk ke rumah untuk mengambil tas, diikuti oleh Ibu.

“Kawan kau wong Jepang?” tanya Ibu.

“Kau nak ke mano samo wong Jepang itu?”

“Makan di rumahnya,” kataku.

“Dia bikin acara makan-makan di rumahnya untuk dua kawannya yang datang dari Jepang. Gek aku dianternyo balik ke rumah.”

“Kawannyo jugo wong Jepang?” tanya Ibu. Wajahnya agak tertekuk, tak senang.

“Iyo-laaah,” kataku.

“Dio wong Jepang dan kawan-kawannyo jugo wong Jepang!” Aku tertawa geli dengan pertanyaan Ibu yang kukira agak aneh. Tetapi Ibuku tidak tertawa. Ia bahkan menggelengkan kepala. Wajahnya tanpa senyum.

“Kau dak boleh pergi samo dio,” katanya.

Hah?! Ibuku tidak pernah melarangku pergi-pergi ke mana-mana dan tidak pernah melarangku bergaul sama siapa pun. Ada apa ini? Aku ribut.

“Lah, macem mano dak boleh pergi? Wongnyo lah njemput dan nunggu aku di depan rumah??!”

Ibu bergeming. Aku tak boleh pergi. Dan wajahnya–yang biasanya penuh senyum–tampak dingin membeku. Aku tak boleh pergi. Apa boleh buat. Sikap dan wajah Ibu yang demikian membuatku yakin bahwa aku harus menuruti kata-katanya. Dengan rasa bersalah yang membuncah, aku keluar lagi menemui temanku.

“Maaf ya. Aku tak jadi ikut ke rumahmu. Ibuku melarang aku ke rumahmu. Aku pun bingung, tapi aku tak dapat berbuat lain. Maaf ya, betul-betul aku minta maaf …”

Temanku si Orang Jepang terdiam. Ia lama berdiri saja di samping mobilnya. Lalu, ia mengangguk.

“Tidak apa-apa, Frieda. Saya mengerti,” katanya.

Kemudian ia pergi. Seingatku, setelah kejadian itu, aku tak pernah lagi mengobrol dengannya dan ia tak pernah lagi mampir ke rumahku. Ceritanya lantas habis di situ saja.

Nah, hari ini, aku teringat padanya dan teringat pada Ibu dan Tante Ari. Apakah sikap Ibuku yang begitu aneh ada kaitannya dengan pengalaman masa lalu atau persepsi masa lalu tentang orang Jepang dan perempuan Indonesia? Entahlah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.