Kolom Joni H. Tarigan: PANEN SAAT MENABUR





Saat menabur benih padi, bagi kami Karo dinamakan merdang, adalah saat yang saya tunggu- tunggu saat kecil. Sanak keluarga akan berkumpul untuk melakukan persiapan penanaman padi. Tanah sebisa mungkin gembur dan rata. Ranting-tanting, bebatuan, dan gulma harus disingkirkan. Tanah yang baiklah yang mampu menumbuhkan padi. Batu dan ranting di bawah tanah akan menganggu suburnya padi.

Kebersamaan dan adanya masakan khas, tetapi sangat sederhana, merupakan bagian yang membuat momen merdang ini selalu menjadi peristiwa yang saya rindukan setiap tahunnya, sejak masa kanak-kanak sampai remaja.

Enam bulan kemudian, peristiwa berikutnya tidak kalah menarik. Padi yang ditabur, dirawat dari hama, burung pipit, dan juga dibersihkan dari gulma. Setelah 6 bulan merawat padi, maka tibalah saatnya panen dan pemisahan bulir padi dari tangkainya. Masa panen ini kami namai rani, dan pemisahan bulir padi dari tangkainya kami namakan ngerik.

Ngerik adalah proses pemisahan padi dari tangkainya dengan cara menggulung tangkai padi dan mengujamkannya dengan telapak kaki. Rani dan ngerik ini memperlihatkan keperkasaan para kaum lelaki menggunakan kakinya, dan kaum ibu memperlihatkan kesabarannya memisahkan padi dari sampah- sampah proses pemisahan. Tenaga yang terkuras, maka inilah yang mendasari bahwa makanan yang disajikan adalah makanan yang lejat. Biasanya rendang dan gule dari ayam kampung. Makanannya inilah yang kurindukan.

Usia saya kini 32 tahun, ingatan menabur dan memanen padi masih segar di kalbu. Saya bahkan tidak pernah melakukannya selama 15 tahun terahir. Dalam lamunan pengalaman masa kecil itu, saya pun tersangkut dengan waktu yang diperlukan saat menabur sampai menanam. Diperlukan waktu 6 bulan, bukanlah waktu yang sebentar untuk menunggu.

Kembali saya tersadar dari lamunan, dan pikiran tertuju kepada PILKADA serentak, dimana PILKADA DKI yang paling banyak diberitakan. Apa yang menarik bagi saya adalah masa kampanye  selama 4 bulan. Seperti biasanya, waktu yang sangat singkat ini digunakan untuk memperkenalkan masing-masing calon pemimpin daerah.

Banyak cara yang digunakan oleh masing-masing calon. Tidak jarang juga mereka memperkenalkan keburukan lawannya sebagai bagian memperkenalkan dirinya adalah orang baik yang layak dipilih.Namum sesungguhnya harga diri orang tidak semakin tinggi ketika merendahkan orang lain.  Sebagian lagi sibuk menyapa masyarakat dan memberi janji program yang akan dilakukan jika dipilih menjadi pemimpin daerahnya.

Begitu biasanya apa yang dilakukan saat kampanye, yakni menebar janji-janji manis kepada masyarakat. Maka sangat lumrah jika banyak masyarakat yang pessimis dengan janji-janji palsu. Ini yang saya lihat menarik, mengapa masyarakat bosan akan janji-jani para calon pemimpin?

Biasanya kebosanan akan terjadi ketika suatu perisitiwa itu  terjadi terlalu sering. Maka, mungkin, masyarakat bosan karena terlalu sering janji-janis manis yang ketika menjabat tidak ditepati. Hal ini juga berdampak pada para calon yang belum pernah menjabat, mereka juga dianggap sebagai pemberi janji palsu.

Peritiwa kampanye inilah yang menyambungkan ingatan saya saat masa menabur dan masa panen padi. Masa kampanye inilah saya analogikan dengan masa menabur benih, dan masa pemilihan nanti saya analogikan sebagai masa panen. Enam bulan adalah waktu yang sangat lama untuk proses padi dari menabur sampai waktu panen. Akan tetapi, bagi saya, waktu 4 bulan adalah waktu yang sangat singkat sehingga 4 bulan lamanya adalah masa menabur.

Dengan kata lain, setelah 4 bulan maka pemilihan akan berlangsung, yang artinya panen harus dilakukan baru saja setelah menabur. Jika padi sebenarnya, tetap butuh 6 bulan untuk kemudian dipanen, akan tetapi dalam proses Pilkada ini panen tetap harus dilakukan walaupun baru saja menabur. Padi tentu tidak bisa dipanen sehari setelah ditabur, tetapi dalam Pilkada itu sedang terjadi. Pertanyaanya kemudian, bagaimana hasil panen Pilkada itu?




Menjawab pertanyaan ini, tentu kita harus mengikuti hukum alam. Padi akan panen setelah enam bulan kemudian, dengan catatan proses selama enam bulan perawatan dijalankan. Jika kita kembali ke proses pemilihan, maka sangat lumrah jika masyarakat akan memilih berdasarkan apa yang telah calon lakukan, bukan apa yang calon janjikan. Hal ini tentu tidak memihak calon petahana. Karena setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan niat baiknya baik sebagai pejabat atau tidak. Maka sebenarnya masa mebur bisa kapan saja, tergantung apakah seseorang benar-benar berniat baik atau tidak.


[one_fourth]Jokowi mengikuti hukum menabur dan menuai[/one_fourth]

Terpilihnya Pak Jokowi menjadi Gubernur DKI bukanlah hasil kampanye yang sangat singkat, akan tetapi itu adalah panen dari pengabdian kepada masyarakat selama menjabat Walikota Solo. Beliau juga kemudian terpilih menjadi Presiden RI, tentu juga bukan semata keberhasilan partai mengampanyekan beliau. Pak Jokowi dipilih rakyat karena kerja nyata yang telah ia lakukan. Jejak Pak Jokowi mengikuti hukum menabur dan menuai.

Relevansi hukum menabur dan menuai ini tentu tidak hanya bagi orang-orang yang ingin menjadi pemimpin. Hukum itu tentu saja berlaku untuk setiap orang yang ingin mencapai tujuan baik bagi hidupnya, hidup orang lain, dan lingkungan. Marilah kita tabur benih kebaikan, bukan kebencian, untuk menuai panen perdamaian, bukan permusuhan. Kebenaran yang kita yakini itu penting, tetapi lebih penting lagi kebaikan yang dapat kita tabur dari keyakinan itu.

Salam semangat dan perjuangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.