Kolom Eko Kuntadhi: PEMBERONTAKAN PKI DI RT 002

Ketua RTku belakangan resah. Ini bulan September. Bulan pemberontakan. Ia gak mau di bulan-bulan penuh bahaya ini, wilayahnya terancam. Maka sore tadi ia menelepon saya. “Kita harus siap-siap, mas. Ini bulan September,” katanya serius. Saya cuma bisa mengiyakan saja. Membantah orang yang sedang resah tandanya gak punya empati.

Saya gak mau dianggap warga yang kurang adab.

Kita harus menyusun strategi yang jitu, katanya lagi. Ia berjanji malam hari akan ke rumahku. Membahas strategi RT 02/07, dalam menghadapi pemberontakan. “Sebab ini bulan September, mas,” katanya lagi meyakinkan.

Entah kenapa, dia memilih ke rumah saya. Bukan warga lainnya. “Rokok kita sama,” begitu alasannya. Jadi malam ini kami bicara tentang strategi RT 002/07 dalam menghadapi ancaman pemberontakan sambil ngopi dan merokok. Ia gak bawa rokok.

“Begini,” katanya seraya membuka peta wilayah. “Di sebelah Timur dengan musholla, RT kita berbatasa dengan RT 009. Kita gak perlu khawatir. Warga di sana tidak menunjukan ciri-ciri kebangkitan PKI. Ketua RT-nya Rojak. Gak bahaya.”

“Lalu di bagian Barat, kita berbatasan dengan RT 007. Saya juga belum mencium kebangkitan PKI di sini. Selama September ini kehidupan biasa saja. Cuma anak kos di rumah Haji Neneng, yang kemarin ciuman. Itu juga sudah ditegur warga. Kita memang melarang orang yang bukan KTP asli sini untuk ciuman sembarangan. Pengurus RW sudah menyediakan balai ciuman buat anak-anak kos yang pengen ciuman. Gratis. Tapi secara keseluruhan, anak kos di situ gak bahaya. Paling ciuman doang. PKI kan gak ciuman, kan mas?” ia ingin mendapat persetujuanku. Aku hanya mengangguk.

“Kalau di bagian Utara, kita tenang. Ada tembok tinggi pabrik tahu. PKI gak doyan tahu. Mereka doyannya genjer,” kata Ketua RT.

“Maksudnya, pak?”

“Itu lho, lagunya Genjer-genjer…”

“Ohhh…”

“Nah, yang paling kita khawatirkan sisi sebelah Selatan, mas. Deket lapangan. Di sana banyak PKL dagang.”

“Kenapa dengan PKL, pak?”

“Lho. Ini September mas. Bulan pemberontakan PKI. Huruf ‘L’ dan ‘I’ itu dekat. Bisa saja mereka ngaku-ngaku PKL, padahal PKI,” jawab Ketua RTku cepat.

Dia berencana untuk menempatkan dua petugas pengintai untuk memata-matai PKL. Petugas itu diberikan walkie talkie inventaris RT. Diberikan juga surat tugas. Tugasnya mengintai jika ada yang mencurigakan dari tingkah laku PKL.

“Pak, RT 010 ada anggota PKS juga kan,” kata saya memgingatkan. “Huruf S sama I bisa saja saling berkelindan. Apa kita gak perlu mewaspadai juga?”

Pak RT, terkesiap. RT 010 memang tidak berbatasan langsung dengan RT saya. Posisinya nyebrang comberan. Tapi comberanya gak terlalu besar. Tinggal lompat, hap, lalu ditangkap. Mereka sudah bisa masuk ke wilayah kami.

“Menurut Anda, apa yang harus kita lakukan?” wajah Pak RT tegang mendengar info dari saya. Ia sangat khawatir wilayahnya terjadi pemberontakan. Sebab ini bulan September.

“Pesan gofood, aja Pak. Itu satu-satunya jalan,” saranku serius.

Pak RT membuka HP-nya. Memesan Mie goreng. Alamat kirimnya ke rumah simpatisan PKS itu. Kami menamakan ini strategi diplomasi. Jika nanti mereka mau makan mie, berarti bukan anggota PKI.

Sebab kata Pak RT, orang PKI hanya makan genjer saja. Bukan yang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.