Kolom Sri Nanti: PENGALAMAN ADALAH GURU TERBAIK — Sebuah Analogi

Saya pernah dipilih jadi Ketua Panitia sebuah acara akbar di sekolah. Dengan antusias saya langsung bekerja mengerahkan tim. Mulai dari bagian perlengkapan yang tugasnya sewa tenda, kursi dan sound sistem sampai bagian konsumsi yang tugasnya order nasi kotak dan snack. Acara berjalan sukses, tapi ….

Setelah pembubaran panitia, saya dimarahi oleh salah seorang pembina.

Masalahnya… ternyata saya telah menabrak tradisi. Katanya, selama bertahun-tahun sebelum saya, setiap kali ada acara akbar di sekolah cateringnya selalu pesan kepada Ibu A. Perlengkapan dan lain-lain kepada Bapak B. Panitia harus koordinasi dengan mereka. Tapi saya malah nyelonong saja.

Menyewa tenda, sound sistem dan memesan catering di tempat lain tanpa koordinasi, karena memang tidak tahu kalau ada tradisi semacam itu. Pertimbangan saya hanya cari harga termurah, supaya anggaran bisa dihemat untuk kegiatan berikutnya.

Akhirnya Ibu A dan Bapak B “mutung” dan tidak mau ikut membantu pelaksanaan kegiatan.

Saat ditegur itulah saya benar-benar belajar satu hal. Bahwa idealisme itu hanya akan kokoh saat kita berada di luar sistem. Kita bisa melihat dan punya cara bagaimana seharusnya sebuah sistem dijalankan dengan baik dan lebih sukses, tapi begitu kita masuk ke dalam sistem tersebut, kita akan berhadapan dengan tradisi yang sudah mengakar kuat.

Kalau kita lawan, bisa jadi akan menggulung diri kita sendiri.

Ingat bagaimana Ahok yang begitu idealis membangun Jakarta tanpa APBD? Akhirnya tergulung karena banyak kepentingan yang dia tabrak. Ingat bagaimana Susi Pudjiastuti ditawari sekian M agar dia keluar dari kabinet karena begitu banyak pengusaha dan eksportir ikan yang merugi atas kebijakannya?

Dan sekarang Nadiem Makarim… Banyak kebijakannya yang menabrak tradisi. Kalau kita tidak punya kepentingan di dalamnya kita pasti melihat programnya cukup baik.

Nggak baik gimana wong dia bisa menggandeng pihak lain untuk membantu pekerjaannya tanpa keluar biaya dari APBN, sebagaimana dulu Ahok bisa membangun Simpang Susun Semanggi tanpa APBD.

Tapi, akhirnya menjadi gaduh karena Beliau tidak mempertimbangkan faktor tradisi yang sudah mengakar kuat di sekitarnya, sehingga banyak pihak yang merasa “ora diuwongke” alias tidak dihargai.

Ingat… SEMUA ORANG SUKA KEMAJUAN, BERHARAP PERUBAHAN, ASAL KEMAJUAN ITU TIDAK MERUBAH EKSISTENSINYA…

One thought on “Kolom Sri Nanti: PENGALAMAN ADALAH GURU TERBAIK — Sebuah Analogi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.