Kolom Eko Kuntadhi: PENGANUT SUNDA WIWITAN — Punya Hak Sama Sebagai Warga Negara!

Semakin sebel mendengar berita tentang diskriminasi. Pengikut Sunda Wiwitan, di Kuningan Jawa Barat, kemarin memgalami masalah itu. Mereka ingin memugar makam leluhurnya. Tapi masyarakat yang diprovokasi gerombolan intoleran menolak. Alasannya takut syirik.

Sialnya penolakan itu juga diaminkan Pamda Kuningan.

Melalui kekuatan birokrasi, mereka menyegel bangunan tersebut. Yang bentuknya hanya batu besar, di atas makam. Alasannya, seperti yang sudah diduga, karena gak ada IMB.

Entahlah, apakah memugar makam membutuhkan IMB?

Tapi alasan soal IMB sebetulnya hanya langkah soft untuk menghambat kelompok kepercayaan budaya ini. Motif sesungguhnya, gak boleh ada keyakinan lain eksis di Indonesia. Kalau mau jujur, emang berapa banyak musholah atau masjid yang punya IMB di Kuningan?

Bupati Kuningan (Asep Purnama) malah mengatakan alasan penyegelan itu sebagai langkah persuasif yang bijak. Langkah persuasif buat apaan? Justru statement itu menegaskan, penyegelan dilakukan karena ada tekanan massa.

Massa intoleran. Massa yang gak mau ada kelompok lain eksis. Massa kayak gini emang banyak di Jabar. Mungkin saja jadi salah satu kelompok pendukung Bupati di sana.

Sejak Provinsi Jabar dikuasai PKS, gejala intoleran memang makin marak. Untung saja sekarang PKS keok pada Pilkada Provinsi kemarin. Tapi masyarakat di sana sudah terlanjur termakan doktrin anti perbedaan.

Menurut catatan Setara Institut, sejak 12 tahun terakhir Jawa Barat paling banyak kasus intoleran. Ada sekitar 629 kasus dalam catatan Setara. Ingat dong, sejak 12 tahun lalu Gubernur Jabar dipegang oleh kader dari mana? PKS!

Kalau dibaca daerah dengan tingkat intoleransi tinggi, kita akan menemukan Jabar, NTB, Aceh, Banten, Sumbar dan Jakarta. Gubernur NTB dan Sumbar dari PKS. Aceh, kita tahu sendirilah. Sementara di Jakarta dan Banten suara PKS dominan.

Sebetulnya suara PKS di satu daerah bisa dibaca sebagai alarm, bahwa masyarakat di daerah tersebut sudah dirasuki semangat intoleran. Masyarakatnya sendiri sudah kerasukan pemahaman radikal. PKS ikut menyuburkan dan memetik manfaat politik.

Kasus-kasus kayak gini kayaknya sudah kesekian kali terjadi. Gerombolan pengasong agama bekerjasama dengan birokrasi menindas kelompok minoritas. Masih segar dalam ingatan penolakan pembangunan gereja dan rumah ibadah agama selain Islam di seantero negeri.

Yang menyebalkan, tugu pemakaman itu dibangun di atas tanah pribadi. Jadi, kalaupun berbentuk tugu, gak akan mengganggu keimanan siapapun. Kenapa mereka ribet?

Di desa Cisantana, Cigugur, Kuningan, penolakan bangunan makam itu juga disuarakan pengurus MUI daerah. Alasannya, apalagi kalau bukan soal musyrik-musyrikan. Penolakan itu juga dilayangkan dalam bentuk surat kepada pemerintah daerah Kuningan.

Padahal, dalam satu stementnya, Pengurus MUI Pusat mengatakan Sunda Wiwitan bukan agama. Lha, kalau memang bukan agama, kenapa juga harus dinilai dengan ukuran-ukuran agama? Pakai dalil musyrik-musyrikan segala.

Inilah masalahnya. Bangsa yang ribet ini selalu menilai orang lain memakai ukuran dirinya. Atau menilai suatu masalah dengan standar yang ngaco. Ini sama saja orang menilai keadilan putusan hakim dengan rumus matematika. Gak nyambung.

Harusnya kalau menyangkut urusan agama Islam, silakan menilai dengan ukuran-ukuran agama. Dengan dalil dan kitab suci. Kalau dia bukan Islam, apalagi dituding bukan agama, kenapa alasan penolakkannya menggunakan ukuran agama?

Yang mau bangun makam, masyarakat Sunda Wiwitan. Yang kebakaran celana dalam malah MUI, karena takut ada yang musyrik. Lho, makam itu memang bukan untuk orang Islam. Ngapain ngurus sampai ke musyrik-musyrik segala.

Jangan mentang-mentang agana mayoritas, seolah bisa berbuat semau-maunya dengan menerapkan ukuran penilaian sendiri.

Tapi, itulah ribetnya. Bupati Kuningan sendiri beradal dari PDIP, partai yang seharusnya mengusung nasionalisme. Tapi politisi seperti ini lebih suka memilih jalan yang gak ribet. Ia menyerah pada tekanan masa ketimbang membela hak-hak konstitusi warganya. Meskipun hanya minoritas.

https://www.youtube.com/watch?v=Vd2gVfmfpgQ

Seluruh perilaku itu sebetulnya taruhan buat masa depan bangsa Indonesia yang plural ini sedang dirongrong oleh mereka yang mabok agama. Miris.

“Mas, kalau menyembah paralon, itu hukumnya gimana, ya?” tanya Abu Kumkum.

Pertanyaan Kumkum hanya cocok diajukan kepada tukang ledeng. Bukan kepada MUI. Kakau sama MUI, bisa-bisa menggunakan paralon diharamkan.

Tapi, Kum. Paralon itu merk atau pipa sih?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.