Kolom Marx Mahin: PEREMPUAN DAN BENCANA EKOLOGIS

Ami. Aku memanggilnya Ami. Nama lengkapnya Amiyani. Nama faceooknya Amiyati Deswanto. Hampir 15 tahun aku tak berjumpa. Kini ia menjadi gembala, pendeta untuk tiga desa di pinggir Sungai Katingan: Desa Tewang Karangan, Dahian Tunggal dan Tumbang Lawang. Dalam struktur Gereja Kalimantan Evangelis (GKE), ia pendeta biasa, sangat biasa, sehingga namanya jarang dibicarakan.

Ia tak pernah jadi wacana. Pun halaman pesbuknya biasa-biasa saja.

Emak-emak banget, seringkali memuat resep makanan, kue, baju dan drama Korea. Sangat beda dengan yang lain, yang selalu upload foto wajahnya yang semakin putih mulus dan cantik. Bukan karena wajahnya cantik atau karena rutin perawatan atau nyalon, namun karena ada aplikasi kecantikan wajah pada smart phone yang agak mahal dan telah mampu dibelinya.

Hari ini aku berbagi kenangan, harapan dan kecemasan dengan Ibu Pendeta Amiyani. Momentum yang indah di tengah persebaran wabah. Ia berkisah tentang perjalanan pengabdiannya setamat dari STT-GKE Banjarmasin. Bercerita tentang tempat-tempat pelayanannya. Bertutur tentang cinta dan harapannya untuk berumah tangga.

Narasi-narasi linear yang sangat manusiawi. Namun narasi itu menjadi menukik tajam ketika berbicara tentang bencana. Terutama bencana banjir yang rutin tiap tahun dan berkali-kali menghampiri masyarakat di tepian Sungai Katingan.

Rumah kediaman pendeta (pastori) tempat tinggalnya sekarang sudah dibangun jauh, sekitar 200 meter dari bibir sungai, namun setiap tahun pasti kebanjiran. Pada dinding rumah yang berwarna biru langit tampak dua deret garis-garis hitam naik turun mirip grafik. Itulah tanda tingginya genangan air yang sebanyak dua kali memasuki rumahnya pada tahun 2019.

Di penghujung tahun 2020 ini, diperkirakan banjir akan datang menjenguk kembali. Para anggota jemaat melakukan upaya sederhana untuk tanggulangi bencana. Mereka menyiapkan rak-rak kayu yang bertiang tinggi, tempat menyimpan barang dan perabotan milik ibu pendeta agar tak basah dan terendam air.

“Sungai Katingan sudah tak lagi rupawan,” begitu kalimat spontan yang keluar dari mulut seorang temanku anak Katingan yang lama menetap di Jakarta. Dengan menarik napas panjang ia bercerita bahwa dahulu mereka bisa menangkap banyak ikan di tepian Sungai Katingan.

Bila air surut mereka bisa bermain-main di pantainya yang landai. Hamparan pasir sungai yang bercampur batu kerikil adalah arena bermain mereka anak-anak desa. Tak hanya itu, pada musim kemarau mereka dapat bercocok tanam sayur-sayuran.

Tanaman berumur pendek seperti kacang, jagung, timun, semangka, bayam, tumbuh subur karena ditanam di petak balanak atau petak katam yaitu tanah subur di bagian pinggir sungai karena endapan lumpur. Sekeping surga di masa kecil itu perlahan pupus punah.

Musim banjir tak seperti dulu lagi yang hanya datang setahun sekali. Banjir datang berkali-kali. Sehingga masyarakat tak dapat lagi bercocok tanam di tanah subur di tepian sungai. Padahal itulah salah satu kearifan lokal untuk mensiasati kerawanan pangan pada musim kemarau.

Sungai Katingan sedang mengalami kehancuran. Tidak lagi menjadi penunjang kehidupan seperti dulu, tapi sumber celaka dan bencana. Perubahan itu muncul dari manusia yang tidak lagi melihat sungai sebagai subyek atau entitas yang menghidupkan mereka, tetapi objek kerja yang dikeruk paksa untuk diambil serbuk emasnya.

Setidaknya itu yang dilaporkan oleh Prastiwi dkk., dalam buku terbitan BPNB tahun 2018 yang berjudul “Pertambangan Emas di Sungai Katingan, Perubahan Fungsi Sungai Bagi Masyarakat Dayak Ngaju”.

Datangnya banjir berkali-kali tentu bukannya takdir Sang Ilahi, bukan juga peristiwa alami. Hampir semua tetua kampung yang saya temui di sepanjang Sungai Katingan, seolah sepakat bahwa memang telah terjadi perubahan di Sungai Katingan. Perubahan-perubahan itu mendatangkan kerusakan. Perubahan orientasi kerja masyarakat dari bertani menjadi penambang emas.

Hilangnya hutan-hutan dan maraknya perkebunan. Semuanya itu mendatangkan perubahan, juga kerusakan. TANDA Garis-garis hitam di rumah kediaman Pendeta Ami tentunya bukan sekedar tanda air yang membanjir. Tanda itu merupakan pesan atau pemberitahuan yang ditulis oleh alam sendiri tentang adanya gangguan, tentang adanya krisis ekologis yang sedang terjadi.

Alam telah bicara. Alam telah berkata-kata melalui tanda. Tanda bencana di rumah ibu pendeta. Tanda bahwa Tanah-Air Katingan merintih kesakitan. Ia tak lagi menjadi sang ibu bumi yang melindungi, tetapi ibu yang luka pembawa bencana. Itu adalah tanda bahwa manusia terlalu banyak, terlalu berlebihan mengambil secara paksa.

Manusia tak pernah memberi apalagi mengembalikan sesuatu yang mereka dapati dari sang ibu pertiwi.Hari ini aku bertemu dengan Ami. Ibu Pendeta Desa yang sangat bersahaja.

Aku berharap dan selalu berharap ia tak pernah lupa dengan panggilan mulianya sebagai pendeta, yaitu; bukanlah sekedar berkhotbah di mimbar gereja, tetapi menghadirkan tanda-tanda surga di bumi yang sudah terlalu sarat dengan derita dan bencana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.