Kolom Nisa Alwis: SAAT ITU — Perempuan di Usia 25 Tahun

Lagi banyak status kelucuan masa lalu. Saya nulis juga ah, satu…

Ini tahun 1999, saat saya remaja dewasa. Untuk ukuran di kampung saya ketika itu, umur 25 sudah dianggap parawan kolot, cenah. Secara teman waktu SD, ada yangg sudah punya anak masuk SD. Ya. Wisuda sudah, saatnya saya pulang bergabung sekian waktu mengurus pesantren Abah. Suatu sore datang dua lelaki matang bertamu ke rumah.

Kirain tamu biasa mau menemui Kyai, ternyata tujuan utamanya mau ke saya.

Begitu datang, mereka bincang pada Abah dengan santunnya. Tapi terus terang kalau ditanya sekarang itu siapa, rupanya kayak apa, saya nggak inget sama sekali. Hanya inget kejadiannya aja, merekanya blur di memori.

Mungkin karena soal itu ingatan saya hanya fokus ke satu kekasih hati, the one and only. Uhuyy… Pacarku yang waktu itu selalu ditunggu tapi nggak datang-datang.

Saya curiga ini lelaki yang sama, yang beberapa bulan lalu datang dengan parcel besar sekeranjang. Sowan dan ngobrol sama Abah menjelang isya, dan saya menyuguhkan minumannya. Makk… Deg!

Gimana kalau dia niat jadi mantu Abah, aku ogah. Meski mungkin dia sudah sampaikan asal usul dirinya, pekerjaannya, dan lain-lain. bagiku ya tetep dia lelaki antah berantah yang mustahil aku bisa betah. Apalagi nikah…

Saya tau Abah orangtua yang asyik. Beliau percaya pada anaknya, dan memposisikan saya bebas menentukan pilihan apa saja. Kecuali milih buah salak jeruk atau mangga. Abah biasanya lebih tau yang manis seperti apa. Apalagi soal dorong mendorong perjodohan, bukan tipikalnya.

Tetapi kepada semua tamu, tentu perlu hormat menerimanya. Itu… Mereka masih di ruang tamu entah membincangkan apa. Saya akan turun kalau dipanggil Abah saja.

“Niiis… Ke sini dulu,” beneran.

Suara Abah akhirnya kedengaran tepat setelah saya selesai mandi dan “dandan”. Siap! Ehm… Saya berjalan kaya slow motion gitu turun di anak tangga. Yang di bawah kayaknya degdegan gak sabar ingin cepat jumpa.

Duduklah saya di depan keduanya dengan senyum Pepsoden selebar lapangan bola. Abah malah sengaja permisi pergi, ngeloyor meninggalkan kami. Pesona saya pasang semua puol. Kaki dilipat, dagu agak diangkat.

Saya membawa misi gimana caranya lelaki ini berubah pikiran. Saya tidak ingin ada hal serius atau menjurus pribadi. Kalau bisa ia dan pengantarnya give up saja sekali ini ketemu saya. Hahahh… Baiklah. Obrolan tidak begitu seru, agak kaku. Kurang nyambung, seperti sudah kuduga.

Tapi saya berusaha mencairkannya, apalagi waktu salah satu bertanya “jadi Neng Nisa suka dengan Amin Rais ya” hihihh… Itu responnya waktu saya cerita suasana demo di senayan 1998, bebeapa bulan lalu.

Saatnya pamit pun tiba… dan saya ko lega. Lebih lega lagi karena setelah itu memang tidak pernah ada lagi kabar berita. Mereka give up beneran. Mungkin kesel sama saya, entahlah. Jadi, saya kasih tau rahasia lainnya. Waktu habis mandi pikiranku berputar. Kalau pakai body lotion dan parfum saya segar dan harum, trus nanti dia nyaman gimana?

Akhirnya saya putuskan membalur sekujur tubuh pake “herocyn” cynnn…? Kebetulan ada bedak itu yang biasa dipakai ponakan saya. Tau kan aromanya lebih mirip obat. Sepetinya begitu saya muncul, mood tamuku drop. Masnya lebih inget suasana rumah sakit daripada bidadari surga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.