Kolom Edi Sembiring: PETANI KARO HILIR TANGGAPI UCAPAN EDI RAHMAYADI

Kesewenang-wenangan dari para penguasa di daerah, membuat petani Simalingkar dan Mencirim meminta perlindungan kepada pemerintah pusat.

Rapat Koordinasi Tindaklanjut Penyelesaian Konflik Agraria Desa Simalingkar dan Desa Mencirim (Sumatera Utara) digelar secara virtual melalui video conference di Posko Gugus TPP Covid-19 Sumut, Jl. Sudirman, Medan [Senin 31/8]. Rapat ini beragendakan penyelesaian kasus tanah di Simalingkar dan Mencirim secara virtual. Dihadiri oleh Gubsu (Edy Rahmayadi), Kepala Staf Kepresidenan (Moeldoko), Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) (Sofyan Djalil), dan beberapa lainnya.

Waspada.id memberitakan: “…. Menurut Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, menyelesaikan kasus tanah tidak bisa terburu-buru. Dia mengaku akan meminta dahulu tim di Sumut untuk melakukan pendataan, melakukan edukasi dan menertibkan perihal lahan tersebut ….”

Menanggapi ucapan Edy Rahmayadi dan hasil rapat virtual ini, Aris Wiyono (Dewan Pembina Serikat Petani Simalingkar dan Mencirim Bersatu) memberikan keterangan kepada Sora Sirulo pada tanggal 31 Agustus 2020:

“Kami dari Serikat Petani Simalingkar Bersatu dan Sei Mencirim Bersatu, menanggapi hasil rapat virtual hari ini antara Kepala Staf Presiden, Bapak Moeldoko, dengan pihak stakeholder terkait di Sumatera Utara, terutama kami ingin menanggapi pernyataan Bapak Gubernur Sumatera Utara, Bapak Edi Rahmayadi.

Mohon maaf pak Edi Rahmayadi, bapak seharusnya bisa menyikapi aksi yang dilakukan oleh petani Simalingkar dan Sei Mencirim ini secara bijaksana. Mereka hidup dan sudah beranak pinak dan turun temurun sejak tahun 1951 hingga sekarang, khususnya desa Simalingkar atau yang dikenal dengan kebun Bekala ini. Kampung ini sudah ada sejak jaman Belanda”.

“Dan tahun 1999 juga ada Rapat Dengar Pendapat yang difasilitasi oleh Ketua DPRD Tingkat 1 dan 2 yang dihadiri oleh seluruh stakeholder di Sumut, Direksi PTPN II dan perwakilan masyarakat petani. Dari hasil pertemuan tersebut pihak PTPN II sendiri mengakui hanya memiliki SHGU seluas 410 hektar. Dan Hak Guna Usaha-nya tidak pernah tahu ke mana,” lanjut Aris.

“Yang akhirnya diputuskan oleh DPRD bahwa tanah-tanah tersebut segera di SK-kan oleh Bupati dan dibagikan kepada petani namun tidak dijalankan hingga saat ini,” kata Aris.

Aris juga menyampaikan hal penting, bahwa pada tahun 2002 dibentuk tim B Plus yang mana dari hasil identifikasi tim tersebut pada area kebun Bekala, desa Simalingkar ini sudah penuh penduduk dan jadi lahan pertanian yang subur. Sehingga tidak bisa direkomendasikan untuk diberikan perpanjangan Sertifikat Hak Guna Usaha oleh PTPN II.

Namun tiba-tiba tahun 2017, petani dikejutkan dengan pemasangan plang SHGU No.171 tahun 2009. Dan ini menyebabkan terjadi konflik.

Tahun 2019, tiba-tiba sebahagian dari SHGU tersebut dialihkan menjadi SHGB atas nama PT. Nusa Dua Bekala. Dan terbit pada tahun 2020.

Meskipun sudah dilaporkan oleh pihak Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) ke BPN dan Kementerian ATR, namun tetap dipaksakan diterbitkan di saat pandemi Corona. Dan SHGB tersebut terbit tepat di atas lahan pemukiman masyarakat.

“Untuk petani Sei Mencirim, mereka digusur di saat pandemi Corona lagi marak-maraknya. Di saat orang disuruh diam di rumah, namun PTPN II dengan kawalan ribuan aparat TNI/Polri menggusur paksa pemukiman dan area pertanian,” kata Aris.

Aris menyayangkan, meskipun petani sudah menunjukan Sertifikat Hak Milik dan SK Camat, tetap saja digusur paksa. Sehingga para petani kehilangan tempat tinggal secara permanen. Selain petani memiliki Sertifikat Hak Milik dan SK Camat, mereka juga dilindungi oleh SK Landerform tahun 1964.

“Kenapa petani berjalan kaki ke Jakarta? Ini dikarenakan di Sumatera Utara tidak ada perhatian khusus dari pemerintahannya. Meskipun sudah dilaporkan, semua terkesan tutup mata atas kejadian-kejadian tersebut. Dan itu berulang-ulang dan terus menerus” kata Aris.

“Bukti kepemilikan lahan bukan hanya sebuah surat tapi penguasaan fisik terus-menerus dan turun-temurun itu juga bukti kepemilikan. Apalagi mendapatkan pengakuan dari batas kanan kiri dan Pemerintah Desa dan Camat setempat,” kata Aris.

Begitu carut-marut dan ruwetnya persoalan-persoalan tanah di Sumatera Utara hingga menyebabkan 170 petani berjalan jalan kaki dari Medan ke Jakarta sepanjang 1.812 kilometer sejak 25 Juni 2020. Dan para petani berharap negara hadir dan aturan Undang-undang Pokok Agraria ditegakkan, bukan hanya slogan.

“Dan kami petani sangat berharap pemerintah pusat hadir dan melindungi semua petani yang saat ini berkonflik dengan PTPN II dan PTPN yang lainya,” tambah Aris.

“Kalau pemerintah Provinsi Sumut mampu dan bisa melihat ini dengan bijaksana tentu tidak ada petani berjalan kaki ribuan kilometer. Dan yang pasti, siapa orang yang mau dibayar untuk berjalan kaki ribuan kilometer dengan rintangan dan bahaya di saat pandemi Corona,” tegas Aris.

Aris menambahkan, pemerintah pusat harus melihat fenomena ini sebagai fenomena kesewenang-wenangan dari para penguasa di daerah. Rakyat dan petaninya takut hingga meminta perlindungan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Bapak Presiden Joko Widodo.

“Kami tidak akan pernah pulang sebelum dapat keputusan dan skema yang jelas dan tertulis dari pemerintah pusat,” kata Aris.

“Kasus petani Simalingkar dan Sei Mencirim butuh penanganan cepat. Dan harus jadi perhatian negara dan menjadi skala prioritas. Karena petani-petani ini khususnya Sei Mencirim, sudah benar-benar tidak memiliki tempat tinggal dan mata pencaharian lagi,” kata Aris.

Sebelumnya, pada tanggal 27 Agustus 2020, perwakilan petani yang tergabung dalam Serikat Petani Simalingkar Bersatu (SPSB) dan Serikat Tani Mencirim Bersatu (STMB) sebanyak 5 orang telah bertemu dengan Presiden Republik Indonesia Ir. H.Joko Widodo. Pertemuan ini dijembatani oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, di kantor Sekretariat Negara lantai 3.

Presiden mendengarkan keluhan-keluhan dan paparan-paparan kasus serta konflik yang terjadi di lapangan dari perwakilan petani yang disampaikan oleh Sulaeman Wardana Sembiring dari petani Simalingkar dan Imam Wahyudi dari Sei Mencirim.

Setelah mendengarkan paparan dari perwakilan petani dalam pertemuan tersebut, Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional, Sofyan A. Djalil agar secepatnya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk segera menyelesaikan tuntutan petani Simalingkar dan Sei Mencirim tersebut.

Kutipan ucapan Edi Rahmayadi :
https://waspada.id/…/menyelesaikan-kasus-tanah-tidak-b…/amp/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.