Kolom Juara R. Ginting: UNTUK PDIP — Pilkada Karo 2020 Adalah Mata Rantai Politik Nasional (Bagian 2)

Bagian 2 ini kita mulai dengan sebuah renungan, mengapa PDIP mencalonkan Djarot Syaiful Hidayat untuk Pilgubsu lalu, padahal dia tidak punya hubungan apa-apa dengan Sumut? Pihak lawan menuduh PDIP hanya menghindarkannya dari keadaan pengangguran setelah kalah di Pilgub DKI. Tapi, saat dia mengatakan sudah punya KTP Medan, saya sudah menduga dia akan tetap tinggal di Medan setelah kalah apalagi kalau menang.

Mengapa saya berpendapat begitu?

Ada benarnya tuduhan lawan itu, tapi itu juga karena dia sangat dibutuhkan oleh PDIP. Ada kesamaannya dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Keduanya harus dijaga marwahnya supaya jangan terkesan lawan berhasil menumbangkan mereka yang artinya juga menjatuhkan marwah PDIP, Jokowi, koalisi, dan kaum nasionalis.

Selain persoalan marwah, keduanya dibutuhkan untuk membenahi. Ahok untuk membenahi BUMN, dan Djarot membenahi peta politik Sumut. Kesamaannya? Sama-sama membersihkan penyusup yang ingin menggantikan idiologi Pancasila dengan sesuatu lain yang bukan Pancasila.

Penyusupan bisa saja terjadi bila saja nasionalisme sudah mulai luntur dan uang menjadi segalanya di dalam perebutan kekuasaan dan bargaining politik. Pembenahan ini terutama sekali harus dimulai di tubuh PDIP Medan dan sekitarnya.

FOTO: Dokan, sebuah kampung Karo (kuta) di tahun 1990. Foto: Juara R. Ginting.

Lihat saja Pilkada beberapa periode terakhir dimana Medan dan sekitarnya (Binjai, Langkat, Karo, Simalungun, Deliserdang, dan Sergai) tidak pernah lagi dimenangkan oleh PDIP. Begitu juga dengan Pilgubsu dimana secara gerakan senyap PKS, meski bukan partai besar, menentukan sekali siapa yang menjadi Gubsu. Mulai dengan Syamsul Arifin, Gatot Pujonugroho, dan sekarang Edi Rahmayadi.

Saat itu, Golkar dan Demokrat bisa jadi teman bisa jadi lawan. Kenyataannya mereka menjadi lawan dan kemudian menjadi pesaing berat bagi PDIP di tingkat kabupaten. Nanti saya bahas bagaimana Kabupaten Karo yang dibangga-banggakan sebagai sarangnya Banteng ternyata Ketua DPRD nya sempat dari PD (Belum lagi bupatinya yang juga dari PD saat itu).

Ternyata bukan partai tapi kekuatan uang yang menentukan siapa yang menjadi bupati (terlihat di Langkat, Karo, Simalungun dan Sergai). PDIP Karo yang tidak mampu menemukan kadernya yang punya modal besar coba memboncengkan ketuanya ke pemodal Karo Jambi, namun kalah.

Lalu, periode berikutnya, ketuanya menggandeng pemodal Salmon Sagala, tapi dikalahkan oleh Karo Jambi. Ketua berikutnya , Sudarto Sitepu yang mencoba pengeluaran seminim mungkin, tersungkur dari Terkelin Brahmana.

Fenomena Sudarto vs Terkelin ini adalah salah satu masalah besar di tubuh PDIP Karo. Para pemilih menjadi sedikit bingung apakah Sudarto yang calonnya PDIP atau Terkelin?

Hal yang sama terjadi ketika Riemenda Jamin Ginting berpasangan dengan Aksi Bangun. Aksi Bangun pernah menjadi anggota DPRD Medan dari PDIP, tapi Paslon Riemenda-Aksi sama sekali tidak didukung oleh PDIP dengan kandidatnya sang ketua Siti Aminah Perangin-angin bersama Salmon Sagala.

PDIP menolak Riemenda yang ingin mencalonkan diri diusung PDIP. Selain ayahnya (Jamin Ginting) yang terkenal Soekarnois dan sangat membela Karo untuk berkiprah di tingkat nasional, dia jelas adalah seorang pemodal besar. Mengapa PDIP menolak lamarannya sehingga dia harus pontang panting mendapatkan dukungan 3 partai kecil? (PD saat itu masih partai kecil dan belum punya hubungan dengan Karo Jambi).

FOTO: Sanggar Seni Sirulo Pimpinan Ita Apulina Tarigan dengan pertunjukan-pertunjukannya dirancang dan disutradarai oleh Juara R. Ginting

Lebih membingungkan lagi ketika pemilih melihat banyak pentolan PDIP yang memperkuat Kubu Riemenda. Bukankah ini yang kembali terjadi di Pilkada Medan saat ini?

Di atas kertas, hanya PDIP dan bebeapa partai Islam (seperti PKS, PKB, PAN) yang masih memiliki idiologi, sedangkan partai-partai lain hanya politik kekuasaan belaka. Uang untuk kekuasaan dan kekuasaan untuk uang. Tapi, di dalam prakteknya, PDIP di daerah juga ikut goyang dangdut partai-partai lainnya, goyangan tanpa idiologi.

Apa relevansinya Djarot menjadi Plt. Ketua DPD PDIP Sumut dan kemudian menjadi Ketua DPD PDIP Sumut? Ini akan saya bahas di bagian berikut dengan ringkasannya sebagai berikut.

Kancah politik di Sumut dipetakan sebagai batu belah dengan adanya 2 kekuatan utama; yaitu Islam dan Batak. Pemetaan ini ada benarnya dan banyak tidak benarnya karena tidak semua muslim memilih partai/ kandidat yang sama dan banyak yang diklaim Batak malahan mengelak memilih kandidat Batak.

FOTO: Narsar Purba (kiri) adalah salah satu diantara beberapa pecatur internasional Karo di tahun 1930an. Dia pernah bermain remise dengan Prof. Dr. Max Euwe (Belanda) yang tak lama kemudian menjadi Juara Dunia Catur (FIDE) (Sebelum Boris Spasky). Di Tahun 1960an, Max Euwe menjadi Presiden FIDE.

Lihat saja betapa antusiasnya orang-orang Karo memilih Nurlisa br Ginting padahal dia Calon Wakil Walikota Medan yang diusung oleh PKS. Demikian juga kemenangan Syamsul Arifin dan Gatot Pujonugroho (keduanya diusung oleh PKS) sangat ditentukan oleh banyaknya pemilih mereka di Kabupaten Karo. Padahal saingan mereka dua kalinya kandidat Batak, Kristen, dan dari PDIP pula.

Kok bisa orang-orang Karo yang diklaim Batak, Kristen dan basisnya Banteng pula malahan cenderung memilih Melayu/ Jawa, muslim dan didukung PKS pula? Para politisi Sumut, khususnya Kaum Banteng Karo, seharusnya bangun dari nina bobok pemetaan politik Sumut yang sama sekali tidak memperhitungkan kebutuhan para pemilih Karo.

Itulah relevansi kehadiran Djarot yang akan saya bahas di bagian berikut.

BERSAMBUNG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.