Kolom Asaaro Lahagu: PUISI FADLI ZON DIHANTAM PUISI ‘KAU BOHONG’ SUSI (Sirulo TV)

Sebelum era Fadli Zon, puisi mendapat tempat terhormat di setiap hati penggemar sastra. Olahan kata penuh makna mampu menyihir dan menghentak kalbu dalam sebuah puisi. Lewat puisi, setiap orang mampu melukiskan kekaguman kepada Sang Pencipta, menggambarkan perjuangan rakyat tertindas, mengekspresikan amukan jiwa dan melampiaskan getaran-getaran cinta. Tetapi itu dulu. Di era Fadli Zon yang menguasai DPR Senayan saat ini, puisi menjadi tertindas. Ia ditunggangi, ditelanjangi dan dicabik-cabik kulitnya oleh Fadli Zon.

Fadli Zon dengan licik penuh akal bulus memanfaatkan puisi untuk kepentingan politik busuknya.

Fadli Zon memanipulasi puisi sebagai alat kebohongan dan propaganda. Ia menggunakan puisi untuk membelokkan kebenaran, membalikkan logika dan mengocok-ngocok nalar.

Di era Fadli Zon, makna puisi menjadi konyol dan brengsek. Pesannya menjadi kacau. Keindahannya menjadi buram. Esensi dan substansi puisi menjadi dungu. Puisi menjadi kacung dan makelar birahi kekuasaan Fadli Zon.

Tanpa peri kepuisian, Fadli Zon menginjak-injak hak asasi puisi. Ia mengebiri, mencincang dan memutilasi puisi demi nafsu bejat politiknya. Kekejian dan kebejatan Fadli Zon tergambar jelas dalam puisi terakhirnya ‘Doa yang Tertukar’. Puisi ini sudah tersebar luas di media.

Dalam puisinya itu, moralitas rendahan Fadli Zon terlihat menjijikan. Ia mengkerdilkan doa sebagai sebuah bisnis. Tanpa aling-aling, Fadli Zon menghina pelantun doa Kyai Maimoen Zubair atau Mbah Moen.

Saat mendoakan Jokowi agar kembali menjadi Presiden, Mbah Moen salah melantunkan doa dan justru menyebut nama Prabowo. Kekeliruan itu langsung dibisikkan oleh Ketum PPP Romarhurmuziy atau Rommy kepada Mbah Moen.

Dengan segera Mbah Moenpun meralat doanya dan menyebut kembali nama Jokowi. Peristiwa inilah yang membangkitkan amukan amarah Fadli Zon. Ia pun menyerang Mbah Moen, Jokowi dan Rommy lewat senjata mustikanya, puisi.

Dengan berlindung di balik kedok puisi, Fadli Zon menyebut Jokowi sebagai bandar, penguasa tengik dan Rommy sebagai kacung makelar. Sementara Mban Moen walau dibantah kemudian oleh Fadli, ia sebut sebagai begal, penukar doa.

Tentu Fadli Zon agak sulit diciduk atas penghinaan terhadap Mbah Moen. Karena dengan licik, Fadli Zon berlindung di balik puisi. Kekejian hatinya ia bungkus dengan puisi. Hinaan sadisnya ia samarkan dalam puisi. Puisi menjadi topengnya.

Oleh karenanya, di era Fadli Zon, khasanah kesakralan puisi menjadi pudar. Anak-anak generasi milenial mengenal roh puisi seperti yang dilantunkan Fadli, penuh dengan amarah, kebencian dan kenyinyiran.

Tetapi untunglah, roh puisi yang dirusak dan telah dibelokkan oleh Fadli Zon diluruskan kembali oleh Menteri Susi Pudjiastuti.

Teks Puisi AKU karya Chairil Anwar ditemukan oleh SORA SIRULO di Kota Leiden (Nederland)

Di pinggir pantai berdesir ombak, dihiasi kapal ikan dan langit biru, lahirlah puisi bermakna tajam Menteri Susi berjudul ‘Kau Bohong’. Berikut puisinya.

Kau Bohong

Kau bilang

mama, kawan, papa,

dan semua orang dekatku

Bicara begini dan begitu

Ku tanya dan ku cek

Ternyata kau bohong

Puisi pendek berjudul “KauBohong” ini tidak mengumbar makian seperti puisi Fadli. Kalimat awalnya pun sangat sederhana bahkan bisa dibilang kering. Meskipun demikian dalam puisi Susi ini bisa ditemukan unsur metafor yaitu ‘mama, kawan, papa, semua orang dekatku’. Saya yakin mereka bukan asli mama, kawan, dan papa Menteri Susi.

Semua orang dekat itu mengacu kepada siapapun, semua orang yang dikenal dan dekat dengan Menteri Susi selama ini. Artinya sangat mungkin mereka adalah para nelayan, yang sudah dianggap kawan, mama, papa sebab merekalah yang pertama-tama Susi pedulikan kepentingannya.

Lalu, siapakah ‘Kau’ dalam puisi itu? Sangat mungkin Fadli Zon, Sandiaga Uno atau Prabowo. Mengapa? Kata ‘Kau’ adalah kata ganti kepada seseorang yang selama ini mengaku sebagai papa, kawan, mama dan semua kawan dekat Susi.

Artinya Fadli Zon, Sandiaga, Prabowo dan semua elitnya mengaku sebagai papa, mama dan kawan rakyat jelata. Mereka bicara ini dan itu. Artinya menjanjikan ini dan itu. Dan setelah dicek oleh Menteri Susi dan juga oleh rakyat jelata, hasilnya ternyata bohong.

Bila dihubungkan dengan Sandiaga, maka kata bohong itu sangat relevan dengan program OK -OCnya di DKI yang ternyata bohong. Apalagi jika dihubungkan dengan janji kampanye: dimodali, dicarikan tempat dan pembeli, maka dengan mudah ditemukan bahwa semuanya bohong.

Jika dihubungkan dengan Prabowo maka kata bohong sangat relevan. Prabowo yang selama ini mengaku sebagai papa dan kawan rakyat kecil bicara penganiayaan Ratna, 98% rakyat hidup pas-pasan, 500 triliun anggaran bocor, setelah dicek oleh rakyat ternyata bohong.

Demikian juga jika dihubungkan dengan Fadli Zon, maka puisi berjudul kau bohong sangat relevan. Fadli Zon selama ini yang mengaku-ngaku berpihak kepada rakyat, ternyata banyak bohongnya.

Fadli ikut menyebarkan hoax Ratna. Ia bicara antek asing ternyata pendukung Donald Trump. Ia mengecam penggunaan fasilitas negara kepada Kubu Jokowi, tetapi ia sendiri meminta Kedubes agar memfasilitasi anaknya di luar negeri.

Ia bicara kepada rakyat bahwa hidup semakin susah sementara gajinya di DPR 5 miliar Rupiah per tahun. Ia bicara tentang etos kerja dan prestasi tetapi kerjanya di DPR hanya memantau Twitter dan nyinyir. Ternyata, Fadli Zon bohong.

Untunglah ada Menteri berprestasi Susi Pudjiastuti. Lewat puisi pendeknya, Menteri Susi langsung menghantam puisi Fadli Zon ‘Doa yang Tertukar’ dengan menenggelamkannya sebagai puisi bohong. Pun roh puisi berhasil dikembalikan ke khasanahnya oleh Menteri Susi yakni mengatakan kebenaran. Begitulah kura-kura. #17AprilJokowiTetapPresiden.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.