REFLEKSI AKHIR TAHUN 2021 — 7 Tahun Politik Pertanian Joko Widodo Pekerjaan Ketahanan Pangan Belum Rampung

Rahayu Setiawan

Mantan Aktivis GEMA IPB 98

“Untuk BUMN di sektor pangan, gula misalnya. 7 tahun lalu saya datang ke pabrik gula, lah mesinnya kaya gitu, gimana mau punya rendemen yang tinggi. Gak mungkin” (Joko Widodo).

Butuh tujuh tahun untuk seorang pemimpin Republik Indonesia, Presiden Joko Widodo menunggu BUMN di sektor gula mengganti mesin lama dengan mesin yang lebih canggih,  yang menurutnya sebagai obat untuk meningkatkan produktivitas rendahnya kualitas dan kuantitas gula di Indonesia.

Dapat dibayangkan jika yang meminta adalah rakyat biasa yang tidak memiliki kuasa.

Presiden Joko Widodo menyadari pangan mimiliki peran strategis mempengaruhi geopolitik internasional di masa depan selain sektor energi dan sumberdaya air.

Berdasarkan hal ini, dalam dua periode pemerintahannya, periode 2015-2019, sektor pertanian menjadi Agenda prioritas Kabinet Kerja “NAWACITA” mengarahkan pembangunan pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan, demikian halnya di periode 2019-2024.

Sejumlah hal positif telah dilakukan pemerintahan Joko Widodo untuk mencapai kedaulatan pangan.

Pertama. Infrastruktur ketersedian air, telah dibangun sebanyak 65 bendungan untuk mengejar target suplai irigasi menjadi 19-20 persen di seluruh tanah air.

Dari jumlah itu, pemerintah baru menyelesaikan 11% atau sekitar 780 ribu ha sawah yang diairi dari bendungan. Hingga akhir pemerintahan, Joko Widodo menargetkan selesai membangun 61 bendungan hingga akhir 2024.

Ke dua. The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Global Food Security Index (GFSI), yaitu instrumen yang mengukur kinerja ketahanan pangan suatu negara didasarkan pada keberadaan kondisi atau faktor yang menunjang (enabling environment) bagi pencapaian ketahanan pangan secara agregat.

GFSI diukur dengan membandingkan situasi ketahanan pangan antar negara berdasarkan aspek ketersediaan, keterjangkauan, serta kualitas dan keamanan pangan. Pada tahun 2019 Indonesia berada pada peringkat 62 dengan skor 62,6. Posisi ini meningkat dibandingkan posisi tahun 2015 yang berada di posisi ke-74.

Meningkatnya nilai indeks ketahanan pangan Indonesia karena membaiknya posisi tiga pilar yang membentuknya, yaitu pilar keterjangkauan (affordability) dan ketersediaan (availability) serta kualitas dan keamanan (quality and safety).

Untuk aspek keterjangkuan terhadap pangan, posisi Indonesia naik dari 68 pada tahun 2017 menjadi 63 pada tahun 2018. Peringkat Indonesia untuk aspek kualitas dan keamanan pangan pada tahun 2018 juga meningkat dan berada pada posisi 84.

Panen kentang kuning di Pertibi Lama (Dataran Tinggi Karo)

Pada tahun 2019, Indonesia berada pada posisi 86. Selanjutnya, untuk aspek ketersediaan pangan, tidak hanya peringkat, tetapi skornya juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 Indonesia berada di peringkat 64, naik menjadi peringkat 58 pada tahun 2018.

Begitu juga untuk skor ketersediaan pangan mengalami peningkatan sebesar 11,9 poin, dari skor 50,77 pada tahun 2015 menjadi skor 62,6 pada tahun 2019.

Ke tiga. Transfer dana desa terus meningkat dari tahun 2016 sebesar 46,7 Triliun hingga tahun 2021 sebesar 72 Triliun. Adanya dana desa menjadi penting mengingat dana desa mendukung ketahanan pangan melalui pengembangan usaha budidaya pertanian, peternakan dan perikanan.

Tentunya banyak hal lain yang menjadi keberhasilan pemerintahan ini dalam sektor pertanian. Dari sejumlah keberhasilan tersebut, kiranya perlu memberikan sumbangsih pemikiran masukan sebagai bagian kritik oto kritik membangun di bidang pertanian.

Pertama. persoalan import beras bukan saja permasalahan stok pangan melainkan perlu adanya perubahan paradigma yang harus dilakukan untuk menjadikan praktek impor sebagai permasalahan kedaulatan bangsa.

Mengingat, ketahanan pangan khususnya beras kerap kali menjadi menu wajib di setiap perhelatan kontestasi pemilihan presiden dan politik nasional.

Hingga 7 tahun ini Presiden Joko Widodo belum bisa menyelesaikan permasalahan impor beras. Impor sebenarnya tidak dilarang karena banyak negara juga melakukan impor untuk menutupi kekurangan. Namun, impor tidak boleh dilakukan terus menerus karena bisa membahayakan neraca perdagangan dan membuat petani mengalami kerugian besar.

Ke dua. Sinergitas antar lembaga. Adanya perintah Presiden Joko Widodo ke BUMN gula yang harus menunggu tujuh tahun perintah tersebut tidak dilakukan, dan mungkin saja hingga akhir pemerintahannya belum tentu juga akan dilakukan menandakan adanya permasalahan buruknya sinergitas antar lembaga khususnya BUMN.

Langkah melakukan perampingan dengan holding BUMN pangan dan menutup BUMN pangan yang gagal patut diapresiasi. Namun, harus diikuti rencana reformasi BUMN. Perlu adanya rencana-rencana strategis untuk meningkatkan tata kelola perusahaan, seperti melalui initial public offering (IPO) holding BUMN pangan.

Melalui pencatatan perdana ke lantai bursa, pengawasan publik dapat lebih ditingkatkan sehingga transparansi akan semakin baik pula. Holding BUMN pangan juga harus terbuka terhadap kompetisi pasar.

Pemerintah perlu memberikan perlakuan yang setara antara holding BUMN  dan pihak swasta yang hendak terlibat dalam sektor pangan dan pertanian.

Hal ini akan mendorong lebih banyak sektor swasta untuk terlibat dalam sektor pangan dan pertanian sehingga peningkatan investasi dapat terus terjadi.

Ke tiga. Luas lahan pertanian yang semakin sempit. Salah satu cara memperluas lahan pertanian adalah dengan pengembangan pertanian modern yang mengusung pembangunan food estate di atas lahan bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng).

Selain Kalimantan Tengah, pemerintah juga merencanakan food estate di berbagai lokasi seperti Sumatera Utara, Papua, NTT dan Sumatera Selatan.

Meski demikian, program ini perlu memperhatikan aspek keberlanjutan dari segala aspek khususnya sosial, ekonomi dan ekologi. Koordinasi antar lembaga, ketersediaan sarana dan prasarana yang tepat dan memadai serta kesiapan sumber daya manusia.

Harus didukung oleh teknologi yang memadai seperti transportasi dan teknologi operasional.

Selain hal ini perlu keberanian dalam menentukan arah politik pertanian Indonesia,  atas liberalisasi sektor pertanian. Kondisi ini dapat dimengerti sebagai bentuk “keterbukaan” dalam fenomena “transnasionalisasi” ekonomi, menyangkut komponen-komponen utama proses industri pertanian, mulai dari bibit, pupuk, tekhnologi, obat-obatan untuk hama dan penyakit tanaman, modal kerja, bantuan tenaga ahli sampai dengan produk akhir.

Sehingga, liberalisasi pertanian memastikan terjadinya persaingan petani lokal dengan kekuatan asing yang tidak terkendali, petani dengan perusahaan multinasional (MNEs), karena sepertiga dari perdagangan internasional terjadi dalam perusahaan transnasional (Stiglitz, 2002), dengan kecenderungan MNEs sebagai aktor utama globalisasi atau agen utama dalam integrasi ekonomi.

Di sisi lain, pemerintah melakukan beragam upaya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan industrialisasi pertanian melalui revolusi hijau, mekanisasi, membuka lahan baru, optimalisasi hasil melalui penggunaan pupuk kimia, bibit, dan pestisida hingga menuju jurang yang tidak terkendali.

Demikian juga pola tanam monokultur yang dominan telah menimbulkan kerusakan dan pencemaran lingkungan serta pemiskinan keanekaragaman hayati.

Terutama dengan lepasnya keragaman bibit padi lokal dari tangan petani ke tangan korporasi transnasional serta menyusutnya jumlah predator hama tanaman khususnya padi.

Kami minilai kondisi Suroto peternak yang nekat membentangkan poster kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan ke Blitar agar dapat membeli jagung dengan harga wajar dan harga telur yang murah, menjadi bagian yang tak terlepas dari situasi ini.

Peningkatkan konsentrasi penguasaan perusahaan transnasional dalam industri pertanian nasional di sektor perbenihan seperti pada kasus benih jagung hibrida dan benih sayuran serta mulai masuk pada benih padi hibrida.  

Babat alas adalah istilah Jawa yang artinya membuka ladang dengan membabat habis vegetasinya.

Adanya integrasi vertikal, dimana perusahaan transnasional berperan ganda mata rantai produksi dan pasar. Hal ini dapat kita lihat secara terang benderang di lapangan.

Kemudian, meski ketersediaan kalori dan protein secara nasional dari tahun 2015-2019 mengalami surplus, namun demikian jika konsumsi pangan dilihat dari kelompok pengeluaran penduduk, konsumsi pada kelompok kuintil 1 sampai 2 masih di bawah standar kecukupan gizi nasional.

Selain itu permasalahan pada aspek gizi, isu stunting, gizi buruk dan kekurangan gizi pada wanita usia produktif merupakan hal yang mengemuka.

Indonesia termasuk dalam 26 negara yang mengalami beban ganda permasalahan gizi (Global Nutrition Report, 2018). Saat ini sebanyak 150,8 juta anak mengalami stunting di seluruh dunia, dan diantaranya 7,3 juta merupakan anak yang berada di Indonesia.

Stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan menurunkan produktivitas pasar kerja, berakibat hilangnya 11% PDB serta mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20%.

Selain itu, stunting juga dapat berkontribusi pada melebarnya kesenjangan, sehingga mengurangi 10% dari total pendapatan seumur hidup dan menyebabkan kemiskinan antar generasi.

World Food Programme (WFP) dalam studi tentang biaya pangan Indonesia 2017, menyatakan bahwa secara nasional hanya 62% rumah tangga Indonesia yang dapat membeli pangan bergizi dikarenakan hambatan daya beli rumah tangga miskin, dan program subsidi pemerintah untuk masyarakat miskin belum memenuhi standar kecukupan gizi.

Dari output ini posisi kita seolah tidak mengalami perubahan secara struktural. Bukan pekerjaan yang mudah untuk mencapai kedaulatan pangan. Tetapi bukan juga tidak akan terwujud.

Indonesia sebagai bagian dunia, tentu tidak dapat menutup pintu masuknya investasi begitu pula negara lain memiliki tanggung jawab serupa, oleh karena itu, pemerintah haruslah menjadi regulator sekaligus fasilitator tidak bisa bersikap netral dalam menjembatani kepentingan antar stakeholders di industri pertanian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.