Sirulo TV: Rumah Makan Karo Paling Lengkap di Depok

herli sitepuHERLI SITEPU. DEPOK. BPK (Babi Panggang Karo) adalah makanan khas Karo. Rumah makan BPK adalah salah satu tempat tongkrongan orang Karo. Di Jl. Juanda (Depok) dulunya ada satu rumah makan Karo.

Rumah makan itu disebut Tambar Lihe (penawar [rasa] lapar]. Saat ini, rumah makan Karo di Jl. Juanda semakin banyak jumlahnya seperti halnya BPK Mamre, BPK Arih Ersada, BPK Tarigan, BPK Latersia dan BPK Tambar Malem.

BPK 3 Diantara rumah-rumah makan tersebut, ada satu rumah makan punya keunikan sendiri. Rumah makan ini menyediakan musik atau keyboard Karo. Di sini, pengunjung bisa menikmati makan sambil bernyayi dan menari.

Menunya ada BPK, B1 dan B2 serta arsik ikan mas, cepera manuk, manuk gundur, manuk getah-getah dan jus segala buah. Juga tersedia mie Medan, dan cap chai.

Parkir luar. Menerima pesanan antar untuk arisan atau runggu.




BPK 4bpk 1



One thought on “Sirulo TV: Rumah Makan Karo Paling Lengkap di Depok

  1. Banyak sekali perubahan dalam masyarakat Karo, dalam kaitannya secara nasional maupun internet. Kuliner Karo sering terlihat online. BPK, dulu di Cililitan, ini di Depok, bahkan di Jakarta Timur lainnya, Bekasi. Masyarakat Karo mulai dikenal karena perjuangan pencerahan KBB selama ini sudah banyak berhasil memperkenalkan Karo, termasuk juga Jonru dalam media sosialnya ikut bikin pencerahan KBB. Keterbukaannya bikin senang banyak orang, juga dalam mengatakan ‘apa adanya’ mengingatkan juga akan sikap Ahok gub DKI.

    Kalau dulu tak terpikir jadi rektor USU, sekarang malah terpilih dari orang Karo. Begitu juga jadi gubsu, sudah ada yang mungkin jadi calon, artinya mungkin dipilih kalau ada pemilihan. Karena orang Karo terkenal jujur dan ikhlas tentu semua bisa diuntungkan, semua suku. Orang Karo juga selalu bercita-cita demi keadilan bagi semua, tak pernah berpikir untuk orang Karo saja, kalau dia jadi gubsu. Kalau ada pikiran begini tak disukai oleh orang Karo sendiri. Karena dari dulu juga orang Karo berjuang begitu untuk kemerdekaan, tanpa pamrih. Tetapi dari segi lain, keadilan bagi semua tak mungkin diperjuangkan oleh orang Karo kalau tak ada keadilan bagi orang Karo sendiri. Perjuangan keadilan bagi Karo ada dalam KBB.

    Tahun lalu Ahok pernah menyatakan harapannya, mengharapkan orang ‘Batak-Karo’ jadi gubernur Jakarta, tetapi dia masih belum bisa membedakan Karo dengan ‘Batak Karo’. Jelas bukan karena salah Ahok, karena KBB belum terbaca oleh Ahok. Belum terbaca karena masih kurang infonya, bukan karena ida malas baca. Maka teruslah perluas pencerahan KBB, katakan apa yang harus dikatan, tulis apa yang harus ditulis. Kalau ratusan ribu atau sejuta orang Karo menulis soal KBB dibanyak media, tentu akan lain imbasnya daripada hanya ditulis di milis Karo atau di SS. Dengan perbanyak penulis atau penginfo KBB, nanti info KBB akan menjadi kekuatan tersendiri yang mengubah semua pengertian lama ‘Batak’ dan Karo, perubahan dari pemikiran kolonial ke pemikiran era keterbukaan dan partisipasi publik. Partisipasi publik adalah kekuatan, bisa mengubah apa saja ke arah positif dan berguna bagi semua.

    Kekurangan pengetahuan soal Batak dan Karo, tidak menguntungkan siapa-siapa, kecuali bagi yang tak ingin bikin perubahan, mandek. Tetapi kalau mau ada perubahan, harus juga ada yang bikin perubahan atau yang mendorong perubahan. Biasanya kita bilang kontradiksi adalah tenaga penggerak perubahan. Sudah ada kontradiksi itu, tetapi kalau dari pihak KBB diam saja, kontradiksi itu berarti TAK ADA, dan perubahan itu juga tak ada! Atau yang ada hanya pengetahuan lama yang ditinggalkan kolonial sejak abad 18. Dan pengetahuan lama ini tidak menguntungkan siapa-siapa sekarang ini. Kalau Ahok bilang menginginkan ‘Batak Karo’ jadi gub DKI, siapakah yang diuntuingkan? Semua hanya diperbodoh saja, dikembalikan ke pengetahuan abad 18.

    Pengetahuan soal KBB bukanlah pengetahuan mendalam akademis, semua bisa dan dari segi apa adanya saja. Seperti perbedaan yang sangat jelas dalam bahasanya, atau way of thinkingnya antara orang Karo dan orang Batak atau yang mengaku dirinya Batak yang sekarang diketahui adalah suku Toba. Bagi orang Karo sendiri, orang Batak dinamakan ‘kalak Teba’, dan orang Batak/Teba bilang ‘halak Karo’ terhadap orang Karo, tak pernah terdengar halak Batak Karo. Jadi dari mana ‘Batak Karo’ itu? Sumber yang pasti ialah kolonial itu.

    Istilah ‘batak’ ini sudah dikumandangkan oleh kolonial Belanda atau orang Eropah lainnya sejak abad 17-18, menyebut orang-orang pedalaman di Asia Tenggara terutama di semenanjung Malaka dan Indonesia dan Pilipina, karena orang-orang ini belum beragama dan dianggap sangat primitif, bahkan kanibal pula. Jadi sudah lebih dari 200-300 th orang-orang ini dibatakkan, termasuk kita-kita ini, orang Karo atau orang Batak, Simalungun atau Pakpak, atau Mandailing, bahkan dimasukkan juga orang Gayo dan Alas dan sebagian suku-suku di Singkil. Bagi bangsa penjajah ini, mulanya tentu demi kepentingan kolonialnya, memecah belah atau juga karena kaum kolonial itu sendiri tak punya pentetahuan yang berkualitas dalam soal ilmu bangsa-bangsa dan suku bangsa yang berada didaerah koloni mereka.

    Ayo orang Karo dan orang Batak, katakanlah apa adanya kepada suku-suku lain di Indonesia. Sikap Jonru sudah menunjukkan sikap yang tepat dalam medianya. Katakan apa adanya.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.