SEBUAH LAMPU DAN SEBONGKAH HARAPAN DI WAE NGAPAN

Laporan Eko Kuntadhi dari Buru Selatan

 

Eko Kuntadhi

Dari Bandara Namrole, Buru Selatan (Maluku) kami menyusuri jalan panjang. Keluar dari kota kecil, kami mulai menapaki jalan berkelok. Meliuk-liuk diantara pebukitan. Tanaman kayu putih berserakan di kiri kanan jalan. Tumbuh liar di sekeliling.

Bau aspal masih tercium karena jalan ini relatif baru saja diperbarui. Mobil melaju dengan kecepatan lumayan di jalan yang lenggang. Hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain. Sepanjang perjalanan dari Namrole menuju Desa Wae Ngapan ada 2 jembatan baru yang kami lewati.

“Sebelum ada jembatan ini, kita lewat jembatan kayu,” ujar Yongki, driver kami (Dia menunjuk sebuah jembatan beralas kayu di bawah).

Jika melewati jembatan itu kendaraan harus menukik agak curam lalu menanjak setelah melaluinya.







“Repotnya, jika hujan, licin. Sangat berbahaya lewat sini.”

Jalan dan jembatan baru itu sedikit menandakan bahwa infrastruktur memang sedang diperbarui di pelosok ini. Derap pembangunan terasa.

“Kita sudah lama menanti perbaikan jalan dan jenbatan. Baru sekarang bisa menikmatinya,” papar Yongki.

Setelah 3 jam lebih menyusuri jalan beraspal, kendaraan berbelok. Memasuki jalan tanah. Satu jam kamu terguncang-guncang di kendaraan akhirnya sampai ke desa Wae Ngapan. Tarian penyambutan dipertontonkan di muka desa. Beberapa lelaki memainkan parang dengan pekik suara yang riuh.

Diantara anak kecil yang berlalulalang, kaum ibu yang mengenakan pakaian warna warni, saya melihat beberapa ekor babi berkeliaran. Rupanya hampir setiap rumah di desa ini memelihara babi sebagai hewan ternak.

Ada sekitar 100 rumah di desa ini. Rumah-rumah dibangunkan pemerintah 10 tahun lalu, untuk menampung penduduk asli Pulau Buru yang sebelumnya punya kebiasaan nomaden.

“Mereka tinggal di hutan. Membuka ladang dengan cara berpindah-pindah,” tutur Artus Salaliwa, seorang guru yang ditempatkan di desa terpencil itu.




Menurut Artus, belum seluruhnya penduduk Wae Ngapan berubah dari kebiasaan lamanya. Meski sudah disiapkan rumah di perkampungan ini, sebagian mereka masih ada rumah di hutan. Kadang desa ini sepi sebab hampir semua penduduknya pergi bersama keluarganya masuk hutan.

“Termasuk anak-anak. Paling sisa dua tiga anak di sekolah,” kisah Atus.

Desa Wae Ngapan adalah salah satu desa dari 2500 desa di seluruh Indonesia yang mendapat bantuan perangkat listrik tenaga surya dari pemerintah melalui Kementerian ESDM. Setiap rumah dipasangi perangkat yang dapat menghasilkan listrik untuk penerangan.

Menurut Yappy Latubual, salah seorang warga, sebelum adanya perangkat ini mereka menggunakan getah damar untuk penerangan. Penduduk mencari getah di hutan.

“Tapi asapnya hitam,” ujar Yappy (Saya juga menyaksikan dinding rumah yang rata-rata menghitam).

Yappy senang ketika rumahnya kini jadi lebih terang. Lampu LED membantunya beraktifitas pada malam hari. Saya menyaksikan 2 anak Yappy yang sedang membolak-balik sebuah buku kumal pada malam itu.

“Kalau gak ke hutan, mereka bisa sekolah di sini,” ujar Yappy tentang 2 anaknya.

Ketika saya minta mereka membacakan isi buku itu, yang paling besar membaca dengan terbata-bata. Usianya kira-kira 13 tahun.

“Saya kelas 5,” katanya.

Di sekolah Artus mengajar sendirian. Mencakup seluruh kelas.

“Guru-guru tidak ada yang kuat hidup di desa terpencil ini. Apalagi dulu belum ada lampu. Kalau malam gelap gulita.”

Tidak banyak harapan Artus pada anak didiknya. Baginya cukup keterampilan baca, tulis dan hitung yang diajarkan. Selain karena kekurangan tenaga pengajar, juga karena semangat sekolah anak-anak Wae Ngapan tidak terlalu besar.

“Hidup di sini sangat keras. Jadi kebutuhan sekolah belum jadi prioritas. Semoga dengan adanya penerangan ada perubahan kebiasaan masyarakat di sini. “




Memang nuansa pedalaman masih sangat terasa. Sebelum kami datang, kepala desa Wae Ngapan harus mensosialisasikan kepada penduduk desa untuk tidak membawa parang saat di desa.

“Parang itu selain untuk keperluan hidup juga sebagai senjata. Di sini masih sering terjadi perkelahian. Kalau berkelahi, ya, pakai parang itu,” kisah Artus. Ngeri.

Penulis diapit 2 warga setempat.

Meski sudah diimbau untuk tidak membawa parang, saya masih menjumpai banyak lelaki yang hilir mudik dengan parang di pinggangnya. Wajah mereka keras dengan gigi memerah akibat kebiasaan mengunyah sirih dan pinang.

Sebagian besar penduduk hanya berkomunikasi dengan bahasa daerah. Hanya segelintir yang bisa berbicara dengan bahasa Indonesia. Itupun dengan logat terpatah-patah. Namun, kata Artus, dia mengharapkan perubahan-perubahan tata hidup masyarakat di sini makin menuju lebih beradab.

“Itu semua butuh konsistensi dan bantuan banyak pihak. Penerangan ini akan sangat membantu penduduk mengubah cara hidupnya.”

Saya menyaksikan inilah Indonesia. Masih ada ratusan ribu saudara-saudara kita yang butuh perbaikan dasar untuk hidupnya. Bahkan hanya sekadar sebuah bola lampu dapat menjadi begitu berkah. Beruntung pemerintah sekarang mau menyapa mereka. Memperbaiki jalan yang menghubungkan desa-desa terpencil juga menerangi rumah-rumah mereka.

Diam-diam saya bersyukur lahir dan besar di wilayah yang semua infrastruktur sudah tersedia. Bagaimana jika saya terlahir di desa terpencil seperti itu? Mungkin membaca saja saya tidak akan sanggup.

Makan bareng di malam hari diterangi satu bola listrik tenaga surya.

Saya bersyukur setiap malam dengan mudahnya menyalakan lampu. Membaca buku atau menonton TV. Bagaimanakah saudara-sausara kita, yang sejak 70 tahun merdeka baru kali ini menyaksikan bola lampu di rumahnya?

Saya juga bersyukur Indonesia punya Jokowi yang mau memperhatikan rakyatnya di seluruh pelosok. Jika tidak, menyaksikan kehidupan seperti di Wae Ngapan mungkin saya akan terus menerus ditikam rasa bersalah.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.