Kolom Eko Kuntadhi: SEMUA HARUS BERGERAK

Ada 2 problem serius bangsa ini. Pertama, soal ekonomi. Ke dua soal kaum radikal. Kita mendapat bonus demografi. Saat ini penduduk usia muda produktif jauh lebih banyak dibanding orang tua yang uratnya sudah kaku. Kalau kita misalkan di rumah, orang yang kerja lebih banyak dibanding orang tua dan anak kecil yang harus dikasih makan. Akibatnya beban per orang gak berat. Sisa duit gaji mereka bisa dipakai untuk menabung.

Ujungnya bisa berinvestasi menambah penghasilan. Masa depan jauh lebih baik.

Beda dengan Jepang, misalnya, yang penduduk usia tua lebih banyak dibanding usia muda. Jikapun anak-anak di Jepang menyerahkan ortunya ke panti jompo, tetap saja dibiayai oleh pemerintah. Dari mana duitnya? Dari pajak. Pajaknya dari mana? Ya, dari orang-orang produktif yang berkerja.

Nah, kalau jumlah nenek-kakek lebih banyak dibanding orang yang kerja, kemungkinan pajak penghasilan yang dikenakan makin tinggi. Atau pemerintah terpaksa ngutang untuk membiayai kebutuhan warganya. Bukan untuk investasi.

Intinya apa? Berlimpahnya tenaga muda di Indonesia adalah peluang besar bagi bangsa ini untuk merangsek maju. Harus dimulai dari sekarang.

Apa syaratnya? Pertama, tingkatkan kualitas manusianya agar bisa cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan ekonomi. Ke dua, undang investasi sebanyak-banyaknya untuk membuka lapangan kerja. Kalau penduduk muda bejibun, gak ada investasi dan lapangan kerja, justru sangat bahaya.

Gampangnya gini, deh. Kalau anak muda punya kemampuan dan keterampilan dia pasti bisa hidup dengan baik. Penghasilannya cukup untuk menghidupi dirinya dan keluarganya. Sedangkan anak muda gak punya kualitas, paling direkut jadi laskar yang makan dari demo ke demo. Makin kacau, kan?

Makanya program Jokowi ke depan fokus mengundang investasi masuk ke Indonesia dan menyiapkan tenaga yang dibutuhkan dunia industri. Kalau peluang memanfaatkan bonus demografi ini lewat, Indonesia seperti melepas kesempatan emasnya untuk menjadi negara maju pada 2045 nanti.

Di sisi lain, investasi mau masuk kalau politiknya stabil.

Ini masalahnya lagi. Persoalan bangsa ini yang juga butuh perhatian adalah soal radikalisme. Karena sejak lama tidak ditangani secara serius, sekarang pengaruhnya sudah menggurita. Percuma pembangunan ekonomi difokuskan, jika ideologi radikal ini juga berkembang, ujung-ujungnya negara ini akan hancur juga.

Sebab ujung dari ideeologi radikal ini mau mengganti semua sistem kenegaraan dengan syariat yang menurut tafsirannya sendiri. Depok jadi contoh, betapa buruknya pemimpin yang mabuk agama. Draft Perda Syariah yang didorong Pemda Depok akan membawa Depok menjadi wilayah Taliban.

Tapi mau gimana? Sejak dipegang PKS, Depok lebih sibuk mengurus pakaian syariah ketimbang memperhatikan jalan yang berlubang. Lebih asyik mengurus makan pakai tangan kanan ketimbang mikirin peningkatan gizi rakyatnya.

Masalahnya ajaran radikal ini sudah merangsek sampai ke tulang sumsum. Sekolah dan kampus terserang virus wahabi. Masjid dan pengajian apalagi. Bahkan BUMN dan lembaga-lembaga negara banyak disusupi. HTI dan PKS merajalela di semua sektor.

Jika pemerintah memerangi gerakan radikal ini dengan keras, resikonya terjadi gonjang-ganjing politik. Bakal ada perlawanan serius. Ujungnya stabilitas politik yang menjadi syarat pembangunan ekonomi terganggu. Apalagi mereka juga dimanfaatkan Parpol ngehe untuk menjalankan agendanya.

Tapi, jika tidak diperangi, justru bahaya buat masa depan bangsa. Percuma membangun infrastruktur kalau ujung-ujngnya Indonesia bakal jadi Suriah.

Nah, repot kan?

Di satu sisi pemerintah harus bekerja keras memanfaatkan bonus demografi rakyat. Ini butuh investasi yang syaratnya stabilitas politik. Artinya, Jokowi harus sabar terhadap berkecambahnya politisasi agama. Yang penting tidak ada gonjang-ganjing. Biar investasi masuk.

Tapi kalau dibiarkan, ujungnya percuma investasi dan pembangunan kalau akhirnya hancur juga oleh para pengusung khilafah yang gila perang dan konflik itu.

Lantas, gimana cara memeranginya sekarang, agar politik gak gonjang-ganjing sementara kecambah gerakan radikal bisa terhambat?

Cara paling efisien dan mudah adalah memotong sumber-sumber logistik mereka. Bersihkan PNS, BUMN dan lembaga-lembaga pemerintahan dari penguasaan orang-orang yang punya pandangan ini. Perketat aturan mengenai pengumpulan zakat dan sedekah yang bisa saja salah arah peruntukannya.

Gerakan ini harus diikuti swasta. Perusahaan-perusahaan swasta harus lebih hati-hati merekrut karyawan. Jangan pernah beri ruang orang yang terindikasi radikal bekerja di perusahaannya. Jika sudah terlanjur masuk, jangan beri kesempatan mereka duduk di posisi-posisi strategis.

Arahkan dana CSR untuk membiayai komunitas yang konsen pada isu toleransi dan kebhinekaan.

Bagi kita sendiri, pikirkan ulang di mana anak kita mau disekolahkan. Hindari sekolah yang mengajarkan virus intoleran kepada anak-anak. Laporkan guru dan sekolah yang kedapatan mengajarkan kebencian.

Sebab memerangi gerakan ini gak cukup mengandalkan pemerintah. Karena kankernya sudah merasuk ke organ-organ vital masyarakat, kita semua harus bergerak serius. Kita harus berfungsi sebagai penawar dari racun yang mereka sebar. Kita harus menjadi garda depan menghalangi ajaran mereka merusak bangsa ini.

Usia kita terbatas. Tapi bangsa ini harus terus berdiri kokoh. Sebab disinilah anak dan cucu kita nanti hidup. Disinilah masa depan disemai. Kita harus memulai perjuangan panjang ini dari sekarang. Di semua lingkungan kita.

Mumpung masih hidup, marilah berfikir untuk masa depan anak-anak kita.

“Untung aku jomblo, mas,” celetuk Abu Kumkum.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.