Kolom Edi Sembiring: Sepakbola Alat Perjuangan





“Apabila kita menonton satu pertandingan sepak bola, maka lebih dahulu sekali kita pisahkan si pemain, mana yang masuk klub ini, mana pula yang masuk kumpulan itu. Kalau tidak, bingunglah kita. Kita tidak bisa tahu siapa yang kalah, siapa yang menang. Mana yang baik permainannya, mana yang tidak.” (Tan Malaka, Madilog)

“Sepakbola adalah Alat Perjuangan” (Tan Malaka)

“Pergerakkan terbuka dan halus hanya akan melahirkan masa runtuh” (Tan Malaka, Gerpolek)

“Pembelaan (Pertahanan) yang sebaik-baiknya adalah yang dilakukan dengan menyerang” (Tan Malaka, Gerpolek)

Sosok laki-laki bertubuh kecil dengan sorot mata tajam itu melangkah pasti memasuki lapangan sepak bola di Bayah, Banten. Tanpa alas kaki, pria bertubuh kecil itu mulai beraksi. Di senja kota Banten, ia memainkan bola dengan lincah. Para penonton begitu terpesona, melihat kehebatan pemuda Ilyas Hussein.

Bayah, Banten pada 1943

Tan Malaka masih tetap pecinta sepak bola. Kegiatan yang tetap dilakukannya seperti masa dua tahun (1914-1916) tinggal di Harlem (Belanda). Saat itu Tan Malaka sempat bergabung bersama klub profesional Vlugheid Wint. Dalam klub itu, Tan dikenal sebagai penyerang handal yang memiliki kecepatan luar biasa. Bermain di garis depan, beberapa penjaga gawang pernah merasakan tendangan kerasnya meski bermain tanpa alas kaki.

Tapi di Bayah, untuk keamanan dirinya dari pengejaran, Tan Malaka memakai nama samaran Ilyas Hussein. Di daerah yang ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang, karena mewabahnya penyakit kudis, disentri, dan malaria, pribumi hidup sengsara dengan menjadi Romusha. Ketakutan itu tidak menghinggapi Tan. Ia tetap berjuang, agar pribumi tidak berkecil hati.

Saat itu, Tan Malaka menjadi juru tulis romusha di Banten, tepatnya di daerah Bayah pada Juni 1943. Tan Malaka menjadikan sepak bola sebagai hiburan bagi romusha yang bekerja di wilayah tersebut. Tujuan utamanya adalah sebagai alat perjuangan.

Arif Zulkifli dalam bukunya berjudul “Tan Malaka : Bapak Republik yang Dilupakan,” menyebut Tan Malaka sering membantu rakyat kecil di daerah itu lewat sepak bola. Di tengah penindasan Jepang, Tan menjadi penggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah. Tak jarang pula, ia turun langsung ke lapangan dan bermain sebagai pemain sayap maupun hanya sekadar menjadi wasit di kejuaraan Rangkasbitung.

Selesai bermain, Tan biasanya mentraktir para pemain tim sepak bola yang berlaga dalam kejuaraan tersebut.

Oleh Tan Malaka, sepak bola menjadi hiburan orang kebanyakan. Karena, pada awal tahun 1920-an, stigma kultural superioritas kolonial Belanda merasuk ke dalam olahraga yang paling populer di Hindia Belanda itu. Tak jarang ditemui palang peringatan bertuliskan Verboden voor Inlanders en Honden atau “Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing” di halaman depan sejumlah lapangan sepak bola. Banyak orang pribumi harus gigit jari hanya untuk sekedar menyalurkan hobi sepak bola.

Beberapa klub seperti Setiaki, Ster, dan Den Bruinen di Batavia adalah saksi atas politik klasifikasi kelas yang merambah ke urusan sepak bola.

Saat Tan Malaka sekolah di Belanda, ia mengikuti perkembangan kabar kesuksesan pemuda Nusantara mengangkangi pemerintah kolonial Belanda dalam hal sepak bola. Ketika itu, Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (sekarang PSSI) di bawah pimpinan Ir. Soeratin Sosrosoegondo mampu membuktikan sepak bola Nusantara dapat unjuk gigi tidak hanya kepada Belanda, tetapi kepada dunia.

Di era 1930-an, Nusantara berhasil menduduki posisi elit sepak bola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia), Burma (Myanmar), dan Iran. Dengan memakai nama Hindia Belanda, Nusantara menjadi tim sepak bola Asia pertama yang tampil dalam Piala Dunia 1938.

Melihat kesuksesan itu Tan jelas bangga karena sepak bola mampu bertransformasi bukan hanya sekadar produk kebudayaan, tetapi juga produk politik, yang di dalamnya erat persoalan identitas dan spirit kebangsaan Indonesia.




Melalui tim sepak bola “Pantai Selatan” bentukan Tan Malaka, banyak berperan dalam menggelorakan semangat kemerdekaan para pemuda lewat ajang kejuaraan lokal di sekitar Rangkasbitung. Tak hanya mengikut turnamen, tim sepak bola tersebut juga memiliki pekerjaan sampingan sebagai tim tonil (sandiwara) yang sering mengkritik kebijakan pemerintahan Jepang saat itu.

Sepak bola mampu menggelorakan sikap Nasionalisme. Bahkan kemarin sempat menghentikan nyinyir politik di media sosial.

Nonton pertandingan sepak bola sambil makan Sari Roti itu sesuatu banget. Boleh dicoba, hehehe…..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.