Kolom Juara R. Ginting: SIBOLANGIT KEMBALI BUAT SEJARAH — Karo Hilir Nan Sejuk

Setelah Jambore Nasional Pramuka 1977, nama Sibolangit kembali bergaung di seantero Nusantara. Moeldoko terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Partai Demokrat berdasarkan Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di The Hill Hotel & Resort, Sibolangit (Karo Hilir, Sumatera Utara) [Jumat 5/3]. Kongres yang jauh-jauh hari sudah dituduh sebagai upaya Moeldoko mengkudeta kekuasaan di Partai Demokrat ini diadakan di daerah yang sudah sebelum Masa Kolonial pun merupakan wilayah pemukiman tradisional Suku Karo.

The Hill Hotel & Resot letaknya berada berseberangan Jalan Lintas Karo (Medan–Berastagi) dengan lokasi “Peringatan 100 Tahun Tibanya Injil pada Orang Karo”.

Lokasi peringatan itu awalnya hanyalah lokasi penampungan anak yatim piatu bernama Gelora Kasih. Lalu, berkembang untuk juga menjadi tempat perbengkelan pelayanan GBKP terhadap desa-desa terpencil di seluruh Taneh Karo.

Belakangan, lokasinya diperluas dengan membuka Retreat Centre di sana dengan sarana-sarana aula pertemuan, pemandian alam, tempat anak-anak dan remaja bermain serta penginapan. Di situ juga dibangun Museum GBKP yang menyimpan barang-barang kuno Suku Karo.

Di sebelah museum itu ada bangunan tradisional Karo tempat menumbuk padi (lesung).

Oh ya, hampir kelupaan, di sana juga sudah dibangun rumah jompo.

Perbengkelan GBKP itu dibangun setelah Pdt. Borong Tarigan menerima Kalpataru dari Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH) (Emil Salim). Lupa tahun berapa, tapi masih ingat atas jasanya mengadakan air minum dan listrik bertenaga air ke desa-desa Karo.

Setelah dia, ada dua orang lagi putra Karo yang pernah menerima Kalpataru. Satunya merga Depari, dan satu lainnya Ketaren.

Lokasi Peringatan 100 Tahun Tibanya Injil itu adalah unik dan menarik. Sekarang ini, banyak orang menyebutnya Peringatan 100 Tahun Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Padahal, di saat peringatan itu, saya hadir di sana, tertulis di gerbang masuk besar sekali “Jubelium 100 Tahun Sehna Berita Simeriah ku Kalak Karo” yang terjemahan harafiahnya adalah “Jubelium 100 Tahun Tibanya Kabar Gembira ke Orang Karo”.

Retreat Centre GBKP

Istilah itu dibuat oleh para missionaris Belanda sendiri saat itu, kala gereja itu masih bernama Karo Kerk (Gereja Karo), bukan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Nama GBKP baru muncul di tahun 1941, setelah Jerman menguasai Negeri Belanda pada Perang Dunia II.

Ketua Moderamen GBKP yang pertama itu adalah seorang missionaris Jerman yang bertugas untuk Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) wilayah Simalungun. Nantinya, HKBP Simalungun ini melepaskan diri dari HKBP dan membentuk GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) tanpa nama Batak.

Sebaliknya, Gereja Karo yang sejak 1898 hingga 1941 bernama Gereja Karo, tanpa nama Batak, malahan menjadi GBKP sampai sekarang.

Wisatawan Kalteng terpesona melihat penampilan Sanggar Seni SIRULO di Museum GBKP. Penampilan ini disutradarai oleh Juara R. Ginting dari Nederland lewat webcam. Baca beritanya di SINI.

Faktanya jelas bahwa penamaan GBKP adalah produk politik, terkait dengan Perang Dunia II, ekspansi pembatakan oleh orang-orang Batak lewat gereja, dan kecenderungan Karo yang dari dulu melawan segala yang berbau Barat.

Istilah “Tibanya Injil pada Orang Karo” yang dipakai oleh para missionaris Belanda dan nantinya diikuti oleh orang-orang Karo merupakan sebuah fakta bahwa:

1. Orang Karo adalah Orang Karo, tidak perlu disebut Batak (diperkuat pula oleh nama gerejanya Karo Kerk tanpa sebutan Batak)

2. Daerah sekitar Sibolangit adalah wilayah Tanah Karo. Soalnya, penyiaran agama Kristen dimulai di Buluh Awar (sekarang Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang). Betahun-tahun lamanya baru agama Kristen menyebar ke Dataran Tinggi Karo. Artinya, Belanda mengakui Sibolangit sekitarnya adalah Karo Jahe (Karo Hilir) dengan menyebutnya Karo Doesoen hingga ke Medan bagian Selatan.

Sejak Jaman Jepang hingga 1955 (setelah Kemedekaan RI) tersebutlah Kabupaten Tanah Karo yang terdiri dari Kewedanaan Karo Jahe, Kewedanaan Karo Gugung, dan Kewedanaan Karo Barat. Sejak 1955, Kewedanaan Karo Gugung dan Kewedanaan Karo Barat dimekarkan menjadi Kabupaten Karo.

https://www.sorasirulo.com/gotongroyong-membangun-rumah-di-kampung-kampung-karo-deliserdang/

Ingat, bukan Kabupaten Tanah Karo sebagaimana para jurnalis dan termasuk editor-editornya yang kurang memahami sejarah sering menyebut Kabupaten Tanah Karo.

Kewedanaan Karo Jahe kemudian dialihkan ke Kabupaten Deliserdang dan sebagian menjadi perluasan Kotamadya Medan. Inilah bekas-bekas wilayah Kewedanaan Karo Jahe itu:

1. Kecamatan Sunggal (Deliserdang)

2. Kecamatan Medan Baru (Medan)

2. Kecamatan Medan Tuntungan (Medan)

3. Kecamatan Medan Johor (Medan)

4. Kecamatan Pancurbatu (Deliserdang)

5. Kecamatan Kutalimbaru (Deliserdang)

6. Kecamatan Namorambe (Deliserdang)

7. Kecamatan Delitua (Deliserdang)

8. Kecamatan Talun Kenas (Delisedang)

9. Kecamatan Biru-biru (Deliserdang)

10. Kecamatan Tiga Juhar (Deliserdang)

11. Kecamatan Sibolangit (Deliserdang)

Sekarang kita tentunya sudah memahami di mana lokasi Kongres Luar Biasa Partai Demokrat kemarin [Jumat 5/3] di alam budaya orang-orang Karo.

Kalau kita lihat sejarah formal dan pembagian wilayah secara administrasi pemerintahan saja, memang orang-orang akan berasumsi sederhana, itu adalah daerah wisata yang melayani kebutuhan nasional dan internasional.

Tapi, coba saja kunjungi kampung-kampung di sekitar itu, seperti halnya kampung ibu dari ayah saya Durin Sirugun. Kalau Pak Moeldoko sekali waktu menginap di The Hill Hotel & Resort itu, tanyakan kepada pegawainya di mana Desa Durin Sirugun. Bapak akan dipersilahkan jalan kaki saja ke Simpang Derek dan kemudian menyeberangi sebuah jurang lewat jembatan gantung yang dulunya dari satu pohon ke pohon lain di seberangnya.

Itulah kampung nenek saya. Ayah pernah cerita, kakek dan nenek beserta anak-anaknya sudah sempat menetap di Durin Sirugun ini. Di sanalah ayah saya mempelajari cara memanjat aren dan membuat gula merah. Hingga suatu saat, kakek saya menerima surat dari Raja Urung Sipitu Kuta Ajinembah (Dataran Tinggi Karo) agar dia menempati posisinya sebagai Penghulu di Desa Lauriman.

Ayahku bercerita, mereka berjalan kaki dari Durin Sirugun ke Lauriman. Dia masih usia 10 tahun.

Bagi para pembaca, jalan-jalanlah ke kampung-kampung yang berada di kecamatan-kecamatan bekas Kewedanaan Karo Jahe itu, kam akan merasakan hampir semuanya adalah bersuasana dan bernuansa Karo seperti yang dialami oleh Pimred SORA SIRULO (Bu Ita Apulina Tarigan) di dalam tulisan ini.

Baca liputan Lau Cih yang ditulis oleh Ita Apulina Tarigan di SINI.

Politik ya politik, budaya dan sendi-sendi kehidupan manusia, kita sebagai makhluk manusia yang biasa-biasa saja (bukan makhluk ghaib), jangan pula terabaikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.