Kolom Juara R. Ginting: DATA DAN INFORMASI — Kentut Solusi di Pilkada Karo 2020 (Bagian 3)

Ditinjau dari sisi sosial budaya, ada 2 jenis ekonomi di dunia ini: market/ money economy dan subsistent economy. Disebut market economy karena produksinya diarahkan ke permintaan pasar (market). Adapun produksi dalam subsistent economy adalah untuk memenuhi kebutuhan sendiri ataupun keluarga maupun kelompok tertentu.

Market economy disebut juga money economy karena sangat tergantung pada alat tukar uang.

Memang, di dalam subsistent economy kadang terjadi juga pertukaran tanpa uang yang disebut barter (barang tukar barang).

Tapi, perbedaan paling mencolok antara market economy dengan subsistent economy adalah dalam soal untung (capital) atau surplus yang di dalam pertanian bisa dikatakan produksi melebihi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga bisa menabung.

Makanya market economy disebut juga money economy dengan penekanan pada soal capital itu. Beda dengan subsistent economy dimana produksi hanyalah untuk bertahan hidup (survival).

Demikian juga dalam pertanian. Pertanian yang berorientasi pasar disebut cash crop (tanaman uang), sedangkan pertanian untuk kebutuhan hidup sehari-hari pemiliknya tetap disebut subsistent.

Suku Karo sedari dulu mengkombinasikan pertanian uang dan pertanian bertahan hidup. Tapi, sudah terjadi berbagai perubahan dalam kombinasinya.

Di Masa Pra-Kolonial, cash crop lebih dipusatkan di Karo Jahe (Karo Hilir), terutama dengan budi daya lada, kapas (cotton), dan gambir. Sedangkan Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) hampir di mana-mana hanya menanam berbagai varietas padi ladang (tuhur).

Padi ladang

Catatan kecil, pembagian Karo Jahe dengan Karo Gugung ada korelasinya dengan pemisahan antara ekonomi berorientasi pasar (market economy) dengan ekonomi bertahan hidup (subsistent). Besar kemungkinan juga punya hubungan dengan kuan-kuan Sakit Karo Mergana.

Tapi lucunya, di Karo Jahe tidak ada satupun tempat pasar, sedangkan di Karo Gugung banyak tempat pasar. Beberapa yang terbesar adalah Tiga Belawan (Seberaya), Tiga Deraya (Jeraya), dan Tiga Bembem (sekarang bernama Sukarame).

NZG melalui Karo Kerk (Gereja Karo) (sejak 1941 bernama Gereja Batak Karo Protestan) mendirikan beberapa tempat pasar di Karo Jahe seperti Tiga Sibolangit dan Tiga Juhar. Mereka juga mengubah hari pasar dari 5 hari sepekan (seperti di Jawa) menjadi 7 hari sepekan agar orang-orang Karo bisa mengimani hari Minggu menurut Kristen.

Beberapa raja Karo seperti Sibayak Lingga dan kalimbubuna Sibayak Perbesi memiliki ladang lada yang luas di Sunggal. Mereka bahkan memiliki satu diantara sekitar 50 rumah adat Karo di Kampung Sunggal (terletak di tepi Kota Medan sekarang). Sewaktu mengunjungi Sunggal tahun 1823, John Anderson menginap di rumah ini dan melukiskannya dalam bukunya yang terbit tahun 1826 (terbit ulang 1971).

Para pria Karo banyak yang turun dari Karo Gugung ke Karo Jahe untuk bekerja raron memetik lada. Mereka kembali nantinya ke Gugung dengan membawa upah uang Spanyol Carolous yang terbuat dari perak.

Beberapa penulis mengutip laporan John Anderson ini sebagai bukti orang-orang Karo berasal dari pegunungan dan merantau ke Deli. Terlalu bernafsu ingin membuktikan Karo pendatang di Deli tanpa memperhatikan Anderson menyebut mereka kembali ke pegunungan. Mereka ke Deli musiman (musim panen lada) dan datang ke Deli bukan sebagai wilayah suku lain tapi sebagai bagian Taneh Karo, yakni Karo Jahe (Karo Hilir). Pemilik kebun lada itu adalah raja-aja Karo yang tinggal di Karo Hilir ini maupun di Karo Pegunungan.

Para aron tidak membelanjakan uang itu, tapi membawanya ke pande emas untuk dijadikan padung-padung. Lalu, mereka hadiahi putri mereka dengan padung-padung itu sebagai “bawaannya” ke kampung suaminya usai acara perkawinan di kampung pihak perempuan.

Apa poin dari uraian panjang ini?

Pembagian ke ekonomi uang dan ekonomi bertahan hidup (yang sering dikait-kaitkan dengan capitalism vs communism) masih perlu dipertanyakan di Karo.

Soalnya, keuntungan pertanian uang (cash crop) dalam kasus lada tidak dilipatgandakan seperti dalam sistim kapitalisme, tapi didistribusikan secara sosial seperti halnya padung-padung dari kalimbubu ke anak beru.

Untuk diskusi Bagian 4 nanti, mari kita catat fenomena di atas: Ada pikiran dan kegiatan untuk mendapatkan laba (surplus), tapi tidak diarahkan untuk menumpuk kekayaan tapi menunaikan tuntutan sosial dan, perlu saya tambahkan, tuntutan religius yang diendapkan di dalam istilah dibata ni idah (Tuhan yang terlihat).

Demikian juga piso tumbuk lada dari mama ke bebere. Kata lada di tumbuk lada sangat jelas mengingatkan bagaimana korelasi kekerabatan dengan ekonomi yang, menurut hemat saya, terlalu banyak diabaikan oleh para pengamat sosial ekonomi Karo.

Itulah poin utama kita di bagian ini yang akan kita ulas kembali di bagian berikutnya dengan memusatkan perhatian pada perubahan besar di Karo Gugung sejak dikembangkannya sayur mayur Eropah di Raya Berastagi, sejak mana Karo Gugung menjadi wilayah cash crop tapi petaninya maupun pemimpinnya tetap kurang tertarik memetakan pasar.

Ada apa ini?

BERSAMBUNG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.