Film: THE REVENANT

 Ketika Pengharapan Menghidupkan Manusia Dari Kematian

Oleh: Ita Apulina Tarigan (Surabaya)

 

Ita ApulinaAwalnya masih menimbang-nimbang untuk menonton The Revenant hanya karena pemeran utamanya adalah Leonardo Di Caprio. Setelah Titanic, lalu Gangster of New York film-film yang lain saya kurang memperhatikan. Beberapa review berbahasa Inggris yang cukup fair yang akhirnya membuat saya memutuskan menonton The Revenant.


Kisah diawali dengan sekelompok orang kulit putih dalam ekspedisi memburu binatang untuk diambil bulunya di hutan Amerika, yang mana Hugh Glass (diperankan Di Caprio) turut di dalamnya sebagai pemandu. Malangnya, di ujung ekspedisi, mereka tiba-tiba diserbu kelompok Indian Suku Arikara hingga membuat lebih dari setengah anggota ekspedisi terbunuh. Mereka yang selamat melarikan diri dengan perahu dan membawa bulu-bulu binatang semampu mereka.

Dalam usaha mereka mencapai benteng, di tengah perjalanan, Glass diserang oleh beruang, Grizzly. Mereka bergumul, beruang berjuang, walau akhirnya mati dan Glass dalam keadaan sekarat.

Pimpinan ekspedisi akhirnya meminta anak Glass, Bridger, Fitzgerald (Tom Hardy) film 2untuk tinggal merawat sementara hingga Glass meninggal. 4 hari berlalu, Glass tetap bernafas, Fitzgerald akhirnya mengajak Bridger untuk menguburkan Glass hidup-hidup setelah sebelumnya membunuh, Hawk, anak Glass.

Kisah perjuangan Glass dimulai dari sini. Setelah dibuang oleh temannya, Glass merangkak berjalan sejauh 200 mil untuk mencari Fitz demi membalaskan dendam atas kematian anaknya. Terasa sekali horror dingin yang mencekam, salju yang semakin hari semakin lebat dan dingin. Untuk bertahan hidup Glass sampai memakan jantung bison yang baru saja dibunuh kawanan serigala. Kemudian, tidur di dalam bangkai kuda yang sebelumnya seluruh isi perutnya dikeluarkan.

Setiap frame yang merekam perjalanan Glass untuk mendapatkan Fitgerald sungguh mencekam namun indah. Ketabahan dan kekuatan melawan diri sendiri tokoh Glass berpadu getir dengan alam yang harus dilawannya. Film yang disyuting di Canada dan Amerika ini sungguh memilih lokasi yang keras dan membawa penonton bisa berhalusinasi.

Menurut informasi, sutradara Aljandro Innaritu hanya mengijinkan pengambilan gambar dengan cahaya matahari. Bisa dikatakan pembuatan film ini juga berdarah-darah, sama sepertinya filmnya sendiri.

Filosofi Indian tentang kematian dan kelahiran kembali digambarkan dengan indah dan terasa sakral. Kejadian-kejadian yang terjadi ternyata diiringi oleh kepahitan masa lalu tokoh-tokohnya. Fitzgerald, teman yang tidak setia dan mata duitan ternyata kepalanya pernah dikuliti oleh Indian Suku Ree, sehingga sepanjang hidup dia melihat orang-orang Indian hanya sebangsa binatang.




Di akhir cerita, ketika Glass sdah mendapatkan Bridger dan Fitzgerald, akhirnya dia tidak membunuh mereka.

“Pembalasan di tangan Tuhan,” demikian ucapnya, seperti ucapan seorang suku Pawnee yang membantunya, yang sedang pergi ke Selatan mencari kerabatnya setelah seisi kampung mereka dibantai oleh Suku Sioux.

Di Caprio bermain sangat cemerlang, lenguhan nafasnya menahan sakit, teriakan putus asanya ketika diserbu beruang serasa hidup. Kepahitan hidupnya ternyata membawanya mengenal dirinya kembali, almarhum anak dan istrinya.

90 menit menghabiskan waktu menonton film ini sangat berarti, membuat kita merenung kembali apa sebenarnya yang menjadi motivasi utama kita dalam hidup ini. Ketika anda memutuskan untuk menonton film ini, cari gedung theater yang soundnya bagus, ilustrasi musiknya sungguh luar biasa horror dan dingin, sedingin salju dan angin pengunungan Kanada.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.