TOL MEDAN–BERASTAGI (Antara Keinginan dan Kebutuhan)

Oleh: Yoseph Pencawan, Jurnalis

Belum lama ini, beberapa elite daerah dari Kabupaten Karo dan tetangganya, datang ke Jakarta menemui parlemen di Senayan. Mereka mempresentasikan aspirasi pembangunan jalan tol Medan–Berastagi. Ini sebenarnya bukan isu baru. Sejak sekitar 3 tahun lalu rencana infrastruktur tersebut sudah digulirkan ke tingkat provinsi. Bahkan sudah dilakukan kajian oleh konsultan konstruksi dan konon dinyatakan “possible” direalisasikan meski harus melalui kontur demografi perbukitan dan tidak sedikit melintasi jurang.

Konsepnya dengan jalan tol layang.

Gambarannya, ruas jalan tol ini akan melintasi sejumlah wilayah di 2 kabupaten, yakni Karo dan Deliserdang. Target awal adalah pembangunan 2 ruas jalan dengan total kebutuhan dana sekitar Rp 500 miliar. Ruas pertama dari daerah Sembahe sampai Lau Kaban dengan estimasi Rp 150 miliar dan ruas kedua dari Bandar Baru sampai ke Doulu dengan anggaran sekitar Rp 350 miliar. Tim loby pun sudah dibentuk, terdiri atas unsur dari beberapa stakeholder dan dimotori dinas terkait di Pemkab Karo.

Dari sisi keinginan (will), upaya ini patut diapresiasi. Luasnya rentang kendali pusat dengan daerah, ditambah lagi begitu banyaknya masalah rakyat yang harus diurus pusat, membuat daerah memang perlu sesekali mengkomunikasikan aspirasinya secara langsung ke Ibu Kota, bagaimana pun teknisnya. Bicara keinginan juga, sepertinya, tidak ada satu pun daerah di Indonesia atau bahkan di dunia, merasa keberatan bila wilayahnya dilalui jalan bebas hambatan.

Sinabung 10

Secara pribadi, sebagai “orang Karo”, mustahil juga bagi saya menolak keinginan ini karena jika perlu, jalan tol itu sampai ke Perbesi, kampung halaman saya di Kecamatan Tigabinanga (Kabupaten Karo). Namun, dari sisi kebutuhan (needs), berbeda ceritanya.

Apa memang benar Kabupaten Karo membutuhkan Tol Medan-Berastagi? Seperlu apa Deliserdang dengan Tol Medan-Berastagi? Kenapa rupanya dengan Medan kalau tidak ada tol ini?

Saya masih gamang saat memikirkan ketiga pertanyaan mendasar itu. Apalagi bila harus dijawab dengan penjelasan yang rasional dari berbagai sudut. Dari aspek ekonomi saja misalnya, ketiga pertanyaan di atas dapat dirangkum dengan satu pertanyaan, “Apa untungnya membangun Tol Medan-Berastagi?”

Selama ini, bila kita berkunjung ke Dataran Tinggi Karo melalui Berastagi, normalnya harus melalui Jl. Jamin Ginting. Ruas berstatus Jalan Nasional ini cukup mulus dan mengenai lebar, baru-baru ini sudah dilakukan pelebaran, mulai dari daerah Sembahe, sampai Kabanjahe. Cukup lebar, sampai bisa menjejerkan 4 mobil sekaligus atau dilintasi 2 truk kontainer secara bersamaan. Namun, sampai sekarang memang belum diberikan pembatas/ pemisah ruas di tengah badan jalan sehingga lebih rawan kecelakaan.

Belakangan ini juga acap terjadi longsor karena hujan sehingga membahayakan dan menyendat arus lalu lintas. Tersendatnya lalu lintas pun sebenarnya lebih sering terjadi pada momen-momen tertentu. Seperti pada saat weekend ketika terjadi lonjakan volume kendaraan baik dari arah Berastagi maupun sebaliknya (dari Medan). Atau ada truk yang tertatih-tatih menanjak sehingga kendaraan-kendaraan di belakangnya tertahan dan mengular.

Kendati demikian, kemacetan tidak terjadi setiap saat atau bahkan saban hari. Pada hari-hari biasa, nyaris tidak ada persoalan berarti saat melintasi jalan berkelok-kelok ini. Di luaran, sampai sekarang juga belum terdengar pengusaha angkutan barang “berteriak” armadanya berkali-kali nyangkut di jalan sehingga menimbulkan kerugian signifikan.

Para wisatawan lokal dan asing, pegawai, anak sekolahan, pebisnis atau kalangan lain yang sering melintasi Jl. Jamin Ginting, Medan-Berastagi, juga begitu. Belum ada yang berkeluh kesah menceritakan kenestapaannya di jalan karena selalu dihajar macet. Jadi faktanya, Jl. Jamin Ginting, Medan–Berastagi, sejauh ini belum kenapa-kenapa. Sekalipun tidak apa, asal memang pariwisata yang dikejar.

sinabung normal
Sebuah ladang di Desa Tigaserangkai (Kecamatan Simpangempat) dengan latar belakang Gunungapi Sinabung. Di ladang ini sedang tumbuh tanaman kopi berusia sekitar 6 – 10 bulan dengan tumpang sari tomat berusia 1 bulan.

Saya bayangkan, bila duit Rp 500 miliar yang diminta untuk pembangunan tol itu dipakai membiayai pengembangan kawasan Danau Toba di Kecamatan Merek, air terjun Sipiso-piso, kawasan Gunung Sibayak, Gundaling, Penatapen, air panas Doulu, Lau Kawar dan seabreg lokasi wisata lain, tentu lebih “nendang” secara ekonomi. Seabreg?

Ya, Kabupaten Karo memang mempunyai lokasi wisata yang saking banyaknya, sampai sulit dihafal. Belum lagi kawasan Bukit Barisan yang juga melintasi daerah berpenduduk lebih dari 500 ribu jiwa tersebut. Makanya, saya bingung mengapa pariwisata belum menjadi panglima ekonomi Karo menggantikan sektor pertanian yang hampir satu dekade terakhir lebih dari 70% digerus abu dan lahar dingin erupsi Sinabung.

Bukan tidak mungkin, Sinabung yang gemar erupsi pun bisa dijadikan obyek wisata geogologi. Dalam pariwisata, tidak terlalu sulit menjual sesuatu yang unik dan Sinabung punya itu. Cuma Tuhan yang tahu kapan gunung berketinggian 2.460 mdpl tersebut berhenti “batuk”. Yang jadi persoalan bila kita hanya berdiam menerima kondisi itu tanpa berupaya keras mencari peluang lain.

Sektor pariwisata juga sedang “happening” di Provinsi Sumut, terutama berkaitan dengan Danau Toba. Bicara soal pariwisata Sumut, isu sentralnya saat ini ya Danau Toba. Di atas saya katakan pariwisata harus sesegera mungkin dan semaksimal mungkin digarap oleh Kabupaten Karo, karena sekarang adalah momentumnya.

Tidak lama lagi (semoga) situs gunung berapi kuno itu akan ditetapkan oleh Unesco sebagai National Geopark Toba atau menjadi cagar yang dilindungi dunia. Danau Toba juga pada 2017 sudah dimasukkan dalam 10 destinasi wisata prioritas di Tanah Air. Regulasi teknis dan badan khusus untuk pengimplementasian kebijakan itu pun sudah ada. Setelah instrumen regulasi dan otoritas, moda transportasi seperti kapal feri, bus dan pesawat juga sebentar lagi lengkap. Ditunjang lagi dengan mulai dioperasikannya Tol Trans Sumatera, Bandara Silangit,

Akses ke dan dari Danau Toba sudah jauh semakin mudah dan cepat, dari manapun. Asiknya, Kabupaten Karo merupakan satu dari 7 kabupaten yang wilayahnya memiliki kawasan Danau Toba. Jadi, akan lebih cocok sebenarnya kalau “elite” Karo ngotot minta bantuan APBN untuk pengembangan pariwisata ketimbang Tol Medan-Berastagi.

Jalan tol itu penting, tapi lebih baik bila mementingkan dahulu pembangunan sentra ekonominya. Toh, kapasitas infrastruktur jalan penghubungnya masih memadai. Kapan waktu yang tepat untuk membangun Tol Medan-Berastagi? Kalau sudah jadi kebutuhan dan banyak cara untuk membiayainya. Tidak perlu sampai habis-habisan meloby curahan dana APBN, karena bila Kabupaten Karo sudah sexy jadi tujuan wisata dan investasi, banyak pihak berduit yang malah akan berebutan menawarkan pembiayaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.