Kolom Boen Syafi’i: TUAN RUMAH YANG DIUSIR TAMUNYA SENDIRI..

Tok tok tok…. Sang tamu mengetuk pintu si empunya rumah sambil berkata permisi, punten. Sejurus kemudian, si empunya rumah yang memang terkenal sabar dan berhati mulia, karena diajarkan begitu oleh leluhurnya, membukakan pintu rumahnya.

Si empunya rumah berkata: “iya, silahkan masuk Mas dan Mbak. Kira-kira apa yang bisa saya bantu buat kalian?”

“Kami numpang sebentar di pekarangan rumah anda bolehkah, Pak?” Kata si tamu perempuan yang mengenakan pakaian hitam berjuntai. Cuma matanya saja yang kelihatan.

Dasarnya baik dan tidak menaruh curiga sedikitpun, si empunya rumah mengizinkan si tamu untuk sebentar numpang. Karena si tamu berasal dari negeri yang dilanda konflik, tentu saja kondisi mereka tidak sekaya seperti pendatang lainnya.

Setiap harinya, si empunya rumah selalu saja memberikan makanan ke mereka.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Si tamu tidak juga meninggalkan pekarangan rumah yang janjinya dulu cuma numpang sebentar. Ternyata mereka sangat kerasan hidup di bumi yang banyak pepohonan, serta air sungai yang mengalir dengan jernihnya ini.

Dan hal yang menakjubkan yang mereka temui ini, sama sekali tidak mereka dapatkan di negeri asalnya sana. Mereka beranak pinak. Bahkan sangat leluasa mengajarkan ajaran dari gurun di Bumi Nusantara.

Tidak adakah dari penduduk asli yang menentang perilaku mereka?vTidak, karena penduduk asli tidak suka dengan yang namanya kekerasan. Tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain. Hanya ingin kedamaian di kehidupan sehari-hari.

Penduduk asli membiarkan mereka menyebarkan ajarannya. Asal tak mengganggu dan juga mengusik. Itu saja.bKenapa bisa begitu? Karena filosofis Nusantara yang mewajibkan selalu ramah dan berfikiran positif sudah mendarah daging serta menyatu di jiwanya.

Namun, kepercayaan yang telah diberikan oleh penduduk asli 500 tahun yang lalu, ternyata telah dikhianati. Karena pengikutnya sudah banyak, si tamu yang dulu diterima dengan tangan terbuka, kini berubah menjadi sosok angkara murka dengan sikapnya yang memusuhi, bahkan mengkafirkan ajaran milik penduduk asli, yang dulu menolong mereka.

Penduduk asli yang tidak sekeyakinan dengan mereka terpaksa mengungsi, karena diusir dari tanahnya sendiri. Cerita inilah yang terjadi di negeri kita saat ini. Begitu menyedihkan. Namun, yang baik pasti menemukan jalannya. Dan yang buruk pasti akan mendapati kehancurannya.

Seperti pepatah Jawa yang mengatakan: “Becik ketitik, olo ketoro.” Alias: “Peline cilik, eh kok ngaku Buto.”

Ya Salaammm..

Salam Jemblem..

Clip lagu Jamal Mirdad KEMBANG DESA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.