Untuk Rasa Kemanusiaan dan Karo Bersatu

Oleh: Alfonso Maranatha Ginting (Medan)

 

Awal kehadiran kami di pinggiran jalan Letjen. Jamin Ginting sekitaran Padangbulan (Medan) telah mendapat sambutan yang kurang baik oleh para “saingan” kami, yaitu pengamen dan pengemis jalanan. Setidaknya itu yang mereka rasakan, walau sejujurnya dalam benak kami rasa itu sedikit pun tak pernah ada terlintas.

Mereka menganggap kami sebagai saingan karena kami datang untuk meminta sumbangan alias mengemis kepada yang memiliki beban untuk membantu.

“Ngapai, bang?!” Demikian pertanyaan dengan nada seperti kurang senang yang dilontarkan terhadap kami.

“Nyarik sumbangan, dek,” jawabku pula.

“Sumbangan untuk apa, bang?” tanyanya lagi penuh curiga.

Jawabku: “Untuk bencana gempa Taneh Karo”

Lalu, dengan suara kesal, mereka berkata: “Ah, abang ini nambahi saingan aja pun.” Dia pun berlalu.

Terlintas dalam benakku: “Berarti mereka menganggap yang kami lakukan ini adalah sebuah bentuk upaya menyaingi mereka.”

Kalupun bisa, mungkin kami tak perlu berada di tempat ini. Belum lagi kami terkena panas dan asap kendaraan bermotor, orang yang menganggap kami sebeleh mata dan penuh rasa curiga.




Kami seakan telah menjadi pengemis dengan menyodorkan kotak amal kepada mereka yang melintas. Kami telah menjadi pengamen karena kami hanya bermodalkan suara dan berkata: “Mohon bantuannya untuk gempa Taneh Karo bik, buk, pak, bang…”

Kami merendahkan diri hingga selevel dengan pengemis dan pengamen. Bukan pribadi kami, bukan untuk isi perut kami, tetapi bukti rasa solidaritas dan rasa kemanusiaan untuk rekan kita yang memang memerlukan uluran tangan.

Dan, satu hal yang kami rindukan, kami hanya mau Karo bersatu. Sepengodak sepengole, pesikap jamburta gelah tetap mejile man tatapen jelma sinterem.

Karo Bersatu!  itulah keterbebanan dan kerinduan kami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.