WEBINAR BERDERET-DERET

Oleh: FRIEDA AMRAN

Tinggal di Belanda

Banyak betul webinar. Melalui whatsapp dan facebook, berderet-deret muncul pemberitahuan mengenai aneka webinar yang diadakan. Mulai dari makna batik bagi generasi milenial, desa-desa adat, diskusi sejarah dan heritage, bahasa-bahasa daerah, bedah buku, pembacaan puisi, kursus bahasa, melukis, masak …

Dalam hati aku berdecak-decak kagum. Buset, banyak sekali orang pintar di dunia ini.

Dan, banyak sekali orang yang juga ingin pintar. Ini terbukti dari banyaknya orang yang hadir di webinar-webinar itu. Terkadang lebih dari seratus orang. Bayangkan kalau webinar-webinar itu diselenggarakan di dunia nyata (namanya lalu berubah menjadi seminar), berapa banyak gedung yang harus disewa untuk itu?

Berapa kardus minuman dan makanan yang harus dipesan? Berapa kali orang harus merogoh kantong untuk mengeluarkan berapa banyak uang agar dapat hadir mendengarkan pencerahan dari semua orang pintar itu?

Aku sendiri pemalas. Kuakui itu. Melihat deretan pemberitahuan webinar-webinar itu, aku selalu merasa bersalah. Guilty feelings bertumpuk-tumpuk karena aku lebih sering malas membuka link dan duduk diam mendengar.

Minggu lalu, aku sendiri cuap-cuap dalam webinar. Bukannya pintar sih, tapi kebetulan penyelenggaranya temanku.

Beberapa hari kemudian, tetangga depan rumah, perempuan Belanda berusia 70an tahun, menggelengkan kepala dengan wajah ragu-ragu ketika ia dan suaminya kuajak makan sate ayam di rumah. Mumpung ada matahari, Misoa langsung kepingin bikin sate.

“Entahlah, Frieda. … Saya merasa agak malas ke rumahmu,” katanya. “Kulihat kamu masih saja berkumpul dengan banyak orang padahal virus corona kan sedang marak lagi!”

“Hah?! Kapan aku berkumpul dengan banyak orang??”

“Ituuuu! Ada di facebookmu! Kamu dan berapa banyak orang Indonesia tuh, … di Kedutaan Indonesia di Den Haag, ya?! Saya kan sudah berumur dan masuk ke dalam kategori rentan … makanya, … mungkin lebih baik saya tidak datang saja. Walau, … suamiku sebetulnya sudah kepingin sekali makan sate dan nongkrong di rumahmu.”

Aku memutar otak. Kapan aku ke Den Haag? Kapan ngumpul ramai-ramai dengan banyak orang Indonesia??

Sebelum aku dapat menjawab, Si Bungsu yang juga ikut mendengar omelan tetangga itu, tiba-tiba tertawa.

“Ooooo … itu webinar namanya! Mama ikut seminar on the web! Mama ga ke mana-mana kok. Dia ngomong dan diskusi di ruang makan! Online! Mama ga ketemu siapa-siapa!”

Ya ampyun. Rupanya si tetangga melihat flyer webinar itu dan mengira aku pergi–secara fisik–ke Den Haag. Wah … memang itu mauku. Yang ikut webinar waktu itu ada wakil Dubes di Belarus–Rusia. Aku bahkan lebih suka lagi kalau diajak ke Belarus.

Atau ke Addis Abeba, tempat dinas Dubes satu lagi yang bicara. Atau ke Jakarta, tempat Adri dan mbak Mel dan bu Yustina–tiga pembicara lainnya. Namun, apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat … corona menjerat.

Akhir cerita, si tetangga ber-ooooo panjang dan datang juga makan sate di rumahku.

Dan hari ini, aku tetap saja dirundung rasa bersalah karena tak satu kali pun, tak sedetik pun aku meng-klik tautan untuk webinar mana pun.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.