Kolom Eko Kuntadhi: YANG TERSISA DARI TENGKU ZULKARNAEN

Zaman ini, mungkin, manusia tidak pernah benar-benar mati. Saya ingat seorang teman, juga menjalin pertemanan di media sosial. Ia meninggal karena serangan jantung. Ia adalah teman kecil saya. Celotehnya di media sosial masih terus terbayang. Saya tidak pernah menghapus pertemanan dengannya. Meski ia sudah almarhum. Teman yang sudah meninggal akan tetap jadi teman saya. Ketika ada terselip kangen dengan celotehnya, saya kembali membuka halaman akunnya.

Membaca-baca lagi tulisan yang disampaikan.

Atau memandangi foto-fotonya. Senyumnya seperti masih menggantung. Jarak kematian terasa begitu dekat. Dengan media sosial, saya seperti merasakan dia masih ada. Jauh di ujung sana sedang bergelut dengan aktifitasnya.

Menanti-nanti kabar dari postinganya. Kelakar apa yang akan dia tuliskan hari ini?

Berapakah teman Anda yang biasanya sering bersahutan komentar yang kini gak bisa lagi membalas komentar Anda. Mereka yang kini pergi ke alam lain. Tapi media sosialnya masih tetap terpaut dengan Anda? Saya rasa banyak.

Dunia punya album foto yang begitu besar sekarang. Juga kumpulan video. Tentang orang di sekitar kita. Orang-orang biasa yang sama dengan kita. Mungkin sekali waktu, istri atau anaknya akan membuka halaman itu. Menulis di pesan inbox akun almarhum. “Papa, aku kangen.”

Tulisan yang digoreskan sambil menggigit bibir. Tulisan yang disampaikan dengan rasa rindu yang meluap. Setiap manusia, pada akhirnya akan dikenang. Media sosial adalah salah satu sarana mengenang selintas waktu kehidupan seseorang.

Bahwa pada akhirnya, dunia hanyalah tempat numpang bermain. Sementara. Dan amat pendek waktunya. Saya gak tahu. Apakah ketika saya wafat nanti, akan ada orang yang membuka-buka halaman medsos saya dengan mata yang menghangat?

Atau ada orang yang mendatangi medsos kita dengan penuh amarah. Bersyukur atas kematian kita. Atau kita akan berlaku begitu saja. Seperti seekor kucing yang mati di jalan? Kita gak tahu apa yang tertinggal nanti di kepala banyak orang, ketika kita pergi tanpa sempat pamit ke tempat yang jauh.

Hari ini Tengku Zulkarnaen meninggal. Saya gak pernah berjumpa dengannya secara fisik. Tapi dalam pemikiran saya selalu berseberangan dengannya. Sebuah kematian, tetap saja menyisakan rasa masygul. Betapapun kita berseberangan dengannya.

Kematian hanya lantas diisi dengan empati dan doa. Berapapun kita berbeda memandang kehidupan. Empati. Itulah yang membedakan kita dengan kecoak. Dan betapa anehnya kita. Justru kematian Tengku Zulkarnaen dijadikan ajang menyebar fitnah.

Dilakukan oleh gerombolan yang selama ini mengaku satu kelompok dengannya. Kelakuan yang sama juga kita rasakan ketika Maher Thulaibi meninggal. Fitnah dikembangkan. Empati disimpan di lemari baju. Hanya kecoak yang sanggup berbuat seperti itu. Dan saya bersyukur. Saya tidak satu kelompok dengan mereka.

Setiap kematian, sesungguhnya mengingatkan kita. Bahwa dunia cuma tempat numpang becanda. Setelah itu. Kita, entah ada di mana…

“Mas, serius amat ngomongnya. Belum beli baju lebaran, ya?” celetuk Abu Kumkum. Bodo!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.