Kolom Eko Kuntadhi: NILAI TUKAR TAHU GORENG

“Dolar naik terus, mas,” ujar Abu Kumkum. Dia menyomot sebuah tahu goreng isi toge. Ini tahu ke tiga yang dimakannya. Kumkum membayar Rp 5.000. Harga tahu sama seperti 8 bulan lalu, sebelum dolar naik seperti sekarang. Goceng dapat 3 potong. Saya cuma manggut-manggut. Abu Kumkum menegaskan lagi, seolah saya gak mendengar omongannya.

“Dolar sudah Rp 14.850, lho, mas.”

Saya diam saja, Barusan saya beli rokok, harganya juga sama seperti beberapa beberapa bulan lalu. Gak banyak berubah.

Tadi pagi, kata Kumkum, dia membeli beras, ikan dan sayuran di pasar. Harganya juga tidak berubah jauh. Ada yang naik, ada yang turun. Tapi gak gila-gilaan juga naik-turunnya. Harga telur memang pernah naik sedikit, tapi sekarang sudah normal lagi.

Jadi dolar naik, emang kenapa, Kum?

Coba lihat di pasar. Semua bahan makanan tersedia. Kamu mau membeli apa semuanya ada. Harganya juga masih biasa-biasa saja. Gak banyak berubah.

“Lalu kalau dolar naik, siapa yang repot? Kenapa orang-orang pada teriak soal dolar?”

Begini, kang. Yang terkena dampak kenaikan dolar itu adalah barang-barang impor. Atau barang-barang yang proses produksinya menggunakan bahan baku impor. Kalau barang itu diproduksi sendiri oleh kita, kenaikan dolar gak banyak pengaruhnya.

Siapa yang pertama kena imbas kenaikan dolar, yaitu mereka yang terbiasa menggunakan barang impor untuk konsumsinya. Harga makanan kemasan yang berasal dari impor juga naik. Tapi itu hanya dirasakan oleh kalangan menengah. Kelas kayak kita yang makan bubur ayam gerobakan, mah, cuma kena isunya doang. Dampaknya belum terasa sekarang.

Ok, dolar naik. Tapi coba lihat angka inflasi sekarang. Menurut data BPS inflasi kita rata-rata gak sampai 4%. Artinya untuk barang yang dikonsumsi publik kenaikkannya gak besar-besar amat. Kenapa inflasi bisa terjaga? Karena pemerintah serius memikirkan kemampuan daya beli rakyat.

Untuk kita, Kum, yang paling penting adalah angka inflasi terjaga. Harga-harga barang terjangkau. Bisa dibeli dengan mudah. Barangnya tersedia banyak di pasaran. Itu yang penting.

“Ngapain kamu mikirin dolar yang naik, wong kamu masih bisa makan tahu seharga goceng 3 potong,” kataku.

“Tapi kalau dolar naik, kan bahaya buat ekonomi kita?”

Iya, kalau naiknya gila-gilaan memang bahaya. Turun gila-gilaan juga bahaya.

Tapi begini. Dulu ekonomi AS krisis. Pemerintahnya memproduksi dolar banyak untuk menggerakkan roda ekonomi. Bunga bank rendah agar pengusaha bisa meminjam. Sebagian uang dengan bunga rendah itu dilarikan untuk investasi di luar AS yang keuntungannya lebih tinggi.

Lalu Trump menang. Dia mengambil kebijakan berbeda yaitu dengan menarik kembali uang yang ada di luar agar masuk kandang. Trump menaikkan pajak barang impor. Dia menghambat barang dari luar untuk masuk dengan bebas. Di sisi lain, The Fed menaikkan suku bunga.

Akibatnya orang lebih untung menempatkan dolarnya di AS dibanding dengan di luar negeri. Dana yang tadinya berada di berbagai negara, lalu terbang kembali ke haribaan AS. Akibatnya terjadi kekosongan dolar di berbagai negara.

Nah, negara-negara itu atau rakyatnya kan juga harus melakukan transaksi dengan dolar. Karena harus impor barang atau bayar utang kepada investor asing. Kita butuh dolar, sementara dolar lagi balik kandang ke AS. Akibatnya dolar yang ada di pasaran harganya jadi naik.

Bukan hanya rupiah yang tertekan. Lira Turki juga ngos-ngosan. Ringgit Malaysia juga deg-degan. Peso Argentina juga ampun-ampunan. Bath Thailand juga kena imbas. Pokoknya, seluruh dunia kena imbas dari kebijakan Trump yang ajaib ini.

Seluruh dunia kena imbasnya. Termasuk Indonesia. Tapi ada negara yang imbasnya pada angka inflasi yang melonjak sehingga barang-barang mahal. Ada juga yang berusaha menjaga dampak fluktuasi dolar dengan mempertahankan angka inflasi yang rendah. Nah, Indonesia mengambil kebijakan tersebut.

Orang-orang ada yang teriak dolar naik. Dolar naik. Tapi dia masih bisa beli beras Rp 9.500 seliter. Bisa membeli rokok dengan harga biasa. Bisa membeli pakaian dengan harga yang gak banyak berubah. Tapi dia sok-sokkan menyerang pemerintah dengan belagak pusing mikirin harga dolar. Wong, isi data saja belinya paket gocengan.

Jalan yang paling relistis untuk mengantisipasi adalah dengan menganjurkan kepada orang-orang kaya pemilik dolar untuk melepas dolarnya ke pasar. Para politisi dan pejabat yang memegang dolar, jangan cuma kritik dan nyonyor harga dolar naik, tapi tukarkan dolar miliknya menjadi rupiah.

Coba tanya Sandiaga Uno, yang sekarang lagi nyinyir, berapa banyak dolar yang sudah dilepas ke pasar untuk membantu memperbaiki rupiah? Tanya Fadli Zon, berapa sudah simpanan dolarnya ditukarkan. Tanya hal yang sama pada SBY atau Prabowo atau kepada siapa saja orang-orang superkaya yang sekarang nyinyirin pemerintah. Apakah mereka benar mau membantu rupiah agar nilainya kembali normal dengan melepas dolarnya atau, jangan-jangan, malah mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar.

Bagi rakyat kebanyakan, yang menjadi soal bukan dolar mahal atau murah. Toh, transaksi kita tetap menggunakan rupiah. Dan masuk ke restoran mahal setahun sekali. Yang paling penitng bagi kita, apakah harga barang di pasar mahal apa gak. Barangnya tersedia apa gak.

Kalau dilihat dari data inflasi sih, kenaikan rata-rata barang nilainya rendah. Masuk ke warung, miniumarket atau supermarket juga mau cari barang apa saja masih banyak.

“Tahu goreng nilai tukarnya masih sama,” ujar Abu Kumkum.

“iya benar.”

“Harga rokok tetap.”

“Nah…”

“Honor penulis juga belum ada kenaikan, ya mas.”

“Rese lu!”

One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: NILAI TUKAR TAHU GORENG

  1. Artikel ini sangat bagus menjelaskan secara sederhana dan cepat bisa dipahami arti kenaikan nilai dolar AS belakangan ini. Terutama juga ada penjelasan singkat dari segi politik ekonomi Trump yang berlainan dengan politik lama AS yang tadinya didominasi oleh orang-orang globalis (NWO) anti nasionalis. Tetapi sebagai seorang nasionalis, Trump adalah penentang globalis, penentang the establishment (penguasa ekonomi dan finans sejak AS merdeka 1776 dan yang sekarang disebut juga dengan istilah ‘deep state’ atau the ‘secret government’). Presiden Roosevelt menamakan orang-orang the establishment ini dengan istilah grup ‘finance element of the large centers’. Dan Roosevelt mengatakan bahwa orang-orang ini sudah menguasai finans dan ekonomi AS sejak jaman kekuasaan presiden Andrew Jackson (1829), walaupun kalau kita baca-baca lagi sejarah AS ini, sebenarnya sejak sebelum merdekapun finans element ini sudah menjajah AS dan menguasainya dari segi finans dan perkembangan ekonominya, karena mereka inilah yang mencetak duit dolar sejak semula. Dalam sejarah AS, ada 3 presiden AS yang mencoba mencetak dolar bagi pemerintah AS, melangkahi pencetak dolar privat itu . . . dan ketiganya presiden ini malang nasibnya, tewas dibunuh.
    Soal ini bisa dilihat di banyak tulisan di internet, salah satu disini:

    “Privately owned Federal Reserve Bank: How the Rothschild family controlled the printing of the Dollars?”

    Walaupun pencetakan duit dolar ini sampai sekarangpun masih tetap ditangan orang-orang neolib NWO ini, tetapi dari segi lain Trump tetap berusaha mengutamakan kepentingan nasional AS, salah satu dengan pajak barang masuk yang tinggi. Kepada fabrik mobil Toyota dan Ford yang pada permulaan kekuasaan Trump mau pindah ke Mexico, Trump bilang produksi kalian tidak boleh masuk ke AS, atau dipajaki tinggi sehingga tak mungkin masuk ke AS tanpa kerugian yang mematikan.

    “Akibatnya orang lebih untung menempatkan dolarnya di AS dibanding dengan di luar negeri. Dana yang tadinya berada di berbagai negara, lalu terbang kembali ke haribaan AS. Akibatnya terjadi kekosongan dolar di berbagai negara.” (EK)

    Ini adalah satu kejadian luar biasa yang belum pernah terjadi dan tidak akan pernah terjadi sekiranya Trump tidak masuk Gedung Putih, artinya kalau yang berkuasa di Gedung Putih masih tetap ‘the establishment’ atau orang-orang neolib NWO itu. Pengusaha besar neolib pastilah akan tetap menanamkan dolarnya atau fabriknya di luar negeri di negeri murah tenaga kerja tetapi menjual barangnya ke AS pula karena pajak masuk murah atau tidak ada pajaknya sama sekali. Ini bisa terjadi dan sudah banyak terjadi karena mereka-mereka juga yang mengatur dan menetapkan berapa pajak barang import. Politik nasionalis Trump yang mengutamakan kepentingan nasional AS dalam ‘America First’, bikin peraturan pajak masuk barang-barang luar lebih tinggi, maka fabrik-fabrik AS yang tadinya hijrah ke luar negeri terutama ke China berangsur-angsur kembali lagi ke AS, dan inilah salah satu sebab utama mengapa pengangguran berkurang di AS. Kita masih ingat daerah-daerah Rust-Belt yang berkarat ditinggalkan oleh fabrik-fabrik neolib AS yang hijrah ke luar negeri tahun-tahun terakhir abad lalu sejak th 80an. Sekarang mulai lagi tumbuh dan berkembang.

    Tidak ada negeri yang terasa begitu drastis penurunan jumlah penganggurannya akibat pergantian seorang presiden. Tetapi pergantian presiden kali ini memang luar biasa. Luar biasa karena dari NWO globalis ke nasionalis. Belum pernah terjadi sejak Andrew Jackson itu. Biasanya hanya pergantian dari presiden D ke R atau sebaliknya. Dan kita semua sudah sering baca bahwa partai D maupun partai R pemilik utamanya itu-itu juga yaitu ‘the party of money’, orang-orang neolib/NWO itu juga.

    Jadi politik nasionalisme Trump memang sungguhan dan sangat menantang bagi politik ekonomi global NWO, terlihat juga dari penentangan Trump atas semua organisasi internasional free trade seperti TPP, dan barusan saja dia gantikan NAFTA jadi persetujuan bilateral dengan Mexico, walaupun perundingan dengan Kanada masih belum jadi, bikin PM Kanada tidak teguran dengan Trump sampai hari ini. Kita akan saling mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari perundingan bilateral ini, kata Trump. Betul juga memang, mengapa harus orang lain yang merundingkan perdagangan antara AS dan Mexico, bicarakan antara dua negara saja, yang mana yang menguntungkan, dua negara bisa menilai dan mempertimbangkan sendiri, tanpa campur tangan pihak ke 3 seperti NAFTA atau TPP. Dalam hal ini nasionalis Jokowi juga bisa mengikuti jejak politik nasionalis sejati dari Bung Karno artinya perundingan dagang bilateral atas prinsip Trisakti.

    Pemerintahan nasionalis Jokowi bisa berjalan sejajar dengan nasionalisme Trump di AS dilihat dari segi kepentingan nasionalnya masing-masing. Tidak ada negara yang bisa mulus memperjuangkan kepentingan nasionalnya jika selalu dicampuri apalagi didominasi oleh orang ke 3 atau organisasi ke 3, seperti free trade organisations atau bankir internasional neolib NWO. Prinsip ekonomi berdikari itulah yang bisa menyelamatkan dan mengangkat ekonomi nasional tiap negeri, artinya tidak didikte oleh siapapun dari luar sana. Jokowi kelihatannya bertekad jalankan ini.
    Semoga.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.