Kolom M.U. Ginting: PILPRES 2019

Bahwa pertarungan Pilpres antara Jokowi-Ma’ruf kontra Prabowo-Sandi bisa dikatakan sudah semakin jelas bakal pemenangnya, terutama kalau dilihat dari hasil survei belakangan ini dimana pasangan nomor 1 di atas 50% dan pasangan nomor 2 berada di atas 20%. Jadi, kekuatan di pihak masing-masing petanding Pilpres ini sudah bisa diukur siapa yang kalah atau yang menang sebelum keduanya maju ke gelanggang pertandingan. Bagusnya dan indahnya ialah bahwa kedua belah pihak sangat yakin akan kemenangan masing-masing, tidak tergantung fakta survei.

Itulah indahnya pesta demokrasi ini. Apalagi kedua belah pihak sudah setuju untuk mengikuti pemilihan secara damai jujur dan adil dinyatakan dalam Kampanye damai KPU hari Minggu 23/9 lalu.

Pertandingan kali ini memang sangat berlainan sama sekali dengan Pilpres 2014 lalu dimana kedua pasangan petandingnya tidak jauh bedanya (jumlah pemilihnya). Pak Jokowi ketika itu baru pertama kali, sedangkan Pak Prabowo sudah yang ke 2 kalinya sebagai Capres atau Cawapres. Sekarang ini, yang ke tiga kalinya bagi Pak Prabowo.

Kegagalan yang ke 3 kalinya sepertinya juga di depan mata. Tetapi bagi Pak Prabowo pribadi, tentu tidak perlu mematuhi pikiran pessimis. Maju terus pantang mundur adalah sifat yang lebih ksatria dalam situasi yang istimewa sekarang ini, karena setidaknya meramaikan pertandingan dalam pesta demokrasi bangsa ini.

Ini akan membawa keindahan tersendiri pula dalam pesta demokrasi bangsa. Bahkan nation ini pantasnya juga berterimakasih kepada Pak Prabowo suka rela ikut bertanding dalam memeriahkan pesta itu, walaupun statistik dan survei tidak membesarkan hati. Cobalah, bagaimana ‘boring’nya kalau petahana Jokowi maju tanpa lawan. Dan akan sedikit sekali pembelajaran dari situ.

Belakangan, sesudah ada semacam ‘keakuran’, dimana kedua belah pihak berusaha membikin pertandingan sejujur mungkin dan juga seadil mungkin (Deklarasi Kampanye Damai), sehingga selain kalah menang bagi kedua petanding, permainan demokratis dan pencerahan demokrasi tambah luas dan mendalam. Itulah yang lebih penting jika dilihat dari kepentingan jangka panjang bangsa ini.

Itulah keuntungan bagi nation Indonesia; peningkatan kesadaran berbangsa dan berdemokrasi. Keuntungan ini tentu tidak berlawanan dengan cita-cita murni kedua belah pihak sebagai calon-calon pemimpin bangsa (presiden). Tetapi, cita-cita murni ini sering tidak terlihat dalam kenyataan sekarang, karena yang sering terlihat ialah pertentangan dan permusuhannya yang selalu dibesar-besarkan. Oleh siapa?

“America’s hegemonic project is to destabilize and destroy countries through acts of war, covert operations in support of terrorist organizations, regime change and economic warfare. The latter includes the imposition of deadly macro-economic reforms on indebted countries as well the manipulation of financial markets, the engineered  collapse of national currencies, the privatization of State property, the imposition of economic sanctions, the triggering of inflation and black markets.”

Baca tulisan Prof Chossudovsky yang berjudul Neoliberalism and The Globalization of War. America’s Hegemonic Project.

Inilah yang berlaku bagi Indonesia pada tahun 1965 dan sesudahnya. Neolib/ NWO sudah sepenuhnya menguasai Indonesia dengan memperalat Soeharto dan rezimnya. Pernyataan Chossudovsky sangat sesuai juga dengan pernyataan-pernyataan John Perkins seorang Economic Hit Men (EHM) dalam bukunya dan juga dalam ceramahnya di youtube (bisa di google saja).

Dari penjelasan Prof Chossudovsky maupun John Perkins, jelaslah bahwa orang-orang Indonesia 100% sama sekali tidak ingin bermusuhan sesamanya kalau tidak ada pengacau dari luar ini (neolib/ NWO). Ini jelas berlaku juga di pesta demokrasi pemilihan 2019. Pengacaunya atau penghasutnya selalu dari luar, seperti dimunculkannya pecah-belah model Saracen, Muslim Cyber Army, gerakan makar 411, 212, isu 5000 pucuk senjata, isu PKI, atau juga ejekan dari militer Australi plesetkan Panca Sila jadi ‘Panca Gila’, gerakan Nobar film G30S PKI dst …. dst.

Bangsa kita adalah bangsa yang berbudaya dan kultur damai. Tradisi mulia musyawarah dan gotong-royong sudah begitu sejak pertama leluhur bangsa ini ada. Semua gerakan perpecahan dan permusuhan adalah buatan luar, seperti yang didefinisikan dan dijelaskan secara mendalam oleh Chossudovsky dan John Perkins.

Mari semua penduduk negeri ini bersatu dan beramai-ramai dengan damai menyambut dan melaksanakan pemilihan dengan BERPESTA RIA, menyongsong pemimpin yang damai dan bermartabat demi menyambut dan mendorong kemajuan bangsa ini.

Salam

Catatan:

Tulisan Prof Chossudovsky di atas dibuat bulan Januari 2016, masih era Obama. “America’s hegemonic project . . . dst. Amerika ketika itu adalah Amerika era Obama sebagai boneka neolib/NWO. Obama adalah seorang globalist atau tepatnya boneka kaum globalist.

Harus dibedakan secara prinsip dengan Amerika di bawah Trump sebagai presiden AS. Trump adalah seorang nasionalist anti-globalis. Baru kemarin 25/9 dia ngomong di Dewan Keamanan PBB, sekali lagi dia dengan lancang menekankan semangat nasionalismenya (patriotismenya), bilang:

“We are standing up for America and for the American people and we are also standing up for the world. This is great news for our citizens and for peace-loving people everywhere,” Trump said. “We will never surrender America’s sovereignty to an unelected, unaccountable, global bureaucracy. America is governed by Americans. We reject the ideology of globalism and we embrace the doctrine of patriotism.” (CNN).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.