Kolom Eko Kuntadhi: MEMBALAS JASA NAKES — Dengan Memenjarakannya

Di kota Pematang Siantar (Sumatera Utara), asal kejadian yang bikin hati saya teriris. Empat orang petugas medis dituding penistaan agama. Mereka semuanya lelaki, pegawai rendahan RSUD Djasamen Saragih. Mulanya ketika ada pasien perempuan yang wafat. Namanya Zakiyah, usia sekitar 50 tahun. Pasien ini menderita penyakit dalam dan suspect Covid19. Karena itu prosesi pemulasannya harus dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat.

Tenaga perawat di kamar jenazah hanya 4 orang, kesemuanya lelaki.

Mereka menyarankan suami pasien mencari orang yang mau melakukan pemulasan. Sang suami tidak bisa mencarikan. Sementara jenazah harus cepat ditangani. Lantas, para petugas itu meminta persetujuan untuk menanganinya.

Fauzi, sang suami, menandatangani surat persetujuan. Keempat petugas itu pun melaksanakan tugasnya.

Kenapa jenazah pasien Covid19 maupun suspect Covid19 harus diurus dengan protokol kesehatan? Karena, meski sudah meninggal, jenazah masih bisa menularkan virus kepada orang lain.

Artinya, penanganan itu justru melindungi keluarga almarhum agar tidak terpapar virus.

Bagi kita, tenaga-tenaga kesehatan yang berjuang melawan Covid19 di garda depan adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Sudah ratusan tenaga medis yang wafat karena terpapar virus. Mereka tumbang. Mereka ada di medan perang, sementara kita semua, hanya diminta tunggu di rumah.

Menjauh dari virus.

Di seluruh dunia. Mereka diapresiasi karena jasa dan pengorbanannya. Tapi tidak begitu di Pematang Siantar. Fauzi tetap kecewa karena jenazah istrinya dimandikan bukan oleh perempuan. Ia mengadu ke polisi. Kekecewaan Fauzi menyebar. Atau disebarkan dengan isu agama.

Kelompok-kelompok pengasong agama menangkap momentum ini. Mereka menggelar demo besar-besaran. Puncaknya di Lapangan Adam Malik, semacam alun-akun di kita itu.

Para laskar. Dengan ikat kepala. Dan kaum perempuan memakai pakaian serba hitam bercadar. Menenteng bendera HTI bertakbir di jalanan. Atau di lapangan. Meneriakkan Aksi Bela Islam. Mereka menuding ke-4 perawat telah menista agama.

Seruan mereka diaminkan MUI Pematang Siantar.

Berbekal itulah polisi menetapkan empat orang petugas medis itu sebagai tersangka. Tuduhannya menyeramkan: Melanggar pasal penistaan agama. Yups empat orang pegawai kecil sebuah RSUD. Satu orang PNS rendahan. Tiga lainnya hanya tenaga honorer. Mereka ditugaskan untuk memerangi Covid19. Kini jadi pesakitan.

Meski ancaman hukumannya di atas 5 tahun, polisi tidak menahan para tersangka. Alasannya karena jasa tersangka masih dibutuhkan. Sebab hanya 4 orang itu perawat di bagian forensik RSUD. Gak ada yang lain.

Saya tentu saja miris. Miris semiris-mirisnya. Bagaimana mungkin orang yang pekerjaannya sangat dibutuhkan masyarakat, justru dijadikan tersangka. Hanya karena mereka melakukan tugasnya. Itu saja.

Adakah lebih ironi yang memuakkan dari kasus ini?

Mungkin saja mereka melakukan tugasnya tidak sesuai dengan kaidah fiqh. Tapi mereka memang tenaga kesehatan. Bukan ahli agama. Mereka lebih sibuk memikirkan bagaimana menjalankan protokol kesehatan ketimbang kaidah-kaidah fiqh yang debatable itu.

Lagipula, saat ini adalah kondisi pandemi. Kondisi darurat. Jika saja kondisi normal, jenazah akan langsung diserahkan pada keluarga. Gak perlu diurus di RSUD. Apakah fiqh atau tata cara syariat tidak mau tahu dengan kondisi darurat ini?

Rasa-rasanya itulah yang terjadi di Pematang Siantar (Sumatera Utara). Pemahaman agama yang kaku, fiqh oriented bertabrakan dengan suasana darurat. Dan kedaruratan gak menjadi pertimbangan sama sekali.

Bukan hanya itu. Bahkan jasa+jasa petugas medis tidak direken. Kita seperti bangsa biadab, yang bukannya berterimakasih pada para petugas medis. Kini malah mau memenjarakannya.

Jika saja tuntutan para pendemo ini dipenuhi. Kita bayangkan gelombangnya akan membuat ketakutan para petugas medis lainnya. Sebab mereka bisa saja dituduhkan dengan tudingan yang sama jika dianggap melanggar aturan fiqh yang ditafsirkan secara sempit.

Bukankah dokter, perawat, tenaga medis bisa saja menangani pasien yang bukan muhrim?

Padahal mungkin kondisinya darurat. Seandainya ada keluarga pasien tidak suka lalu mengadukan tenaga kesehatan itu ke polisi. Dianggap menista agama. Apa jadinya bangsa ini?

Apalagi jika argumennya didukung MUI yang kadang malah mengompori keadaan.

Masih ingat kasus Ahok? Polanya sama. Ia kepleset ngomong. Dituding dengan penistaan agama. Ditekankan dengan demo berjilid-jilid. Dan Ahok diseret ke penjara.

Atau kasus Ibu Meliana di Tanjung Balai (Sumatera Utara). Ibu ini hanya mengeluhkan suara speaker masjid yang terlalu besar ke tetangganya. Suaminya sakit. Hanya keluhan kecil. Bukan protes. Apalagi demo.

Tapi keluhan yang bermula dari obrolan emak-emak di warung saat belanja. Dibungkus sedemikian rupa. Dengan bumbu-bumbu mengerikan. Dicap sebagai penista agama.

Tanjung Balai meledak. Vihara dibakar. Beberapa rumah imut terbakar. Dan Ibu Meliana harus masuk penjara. Hanya karena keluhannya kecil saat ngobrol di warung kecil. Kini di Siantar ada kasus yang polanya mirip. Petugas medis menjalankan protokol kesehatan.

Dianggap tidak sesuai aturan agama.

Lalu diserbu demo besar-besaran. Atas nama Aksi Bela Islam. Yups. Aksi Bela Islam yang dihadapinya hanya 4 pegawai rendahan. Yang bekerja sesuai profesinya. Aksi Bela Islam. Yang hendak memenjarakan orang-orang kecil. Memenjarakan tenaga Nakes yang telah berjasa bagi masyarakat.

Seberapa hebat sih, empat orang pengurus jenazah itu sampai bisa menjadi penista agama?

Okelah. Katakan benar, prosesi pemulasan jenazah tidak sesuai dengan kaidah syariat. Tapi masa sih, harus dijerat dengan pasal penistaan agama? Kan keterlaluan?

Mungkin bisa dengan teguran. Mungkin bisa dengan hukuman atas kelalaian. Tapi dijerat dengan penistaan agama adalah berlebihan. Bagaimana agama yang dalam kitab sucinya mengharuskan umatnya berfikir.

Mengagungkan kemanusiaan. Kok diplintir jadi menakutkan begini?

Lagipula, mereka memang hanya petugas kesehatan. Bukan modin spesialis mengurus jenazah sesuai aturan agama. Mereka bukan ahli agama. Mereka lebih berpegang pada protokol kesehatan ketimbang tata cara fiqh.

Sekali lagi. Jika kasus ini dibiarkan begitu saja, justru akan membuat ketakutan para petugas medis. Kerja keras dan pengorbanan mereka bisa dibayar dengan penjara. Mengerikan.

Masyarakat yang termakan provokasi akan memaksa mengambil jenazah keluarganya dari RS. Karena khawatir tidak diurus sesuai syariah. Apa akibatnya?

Virus akan terus berkecamuk di sekitar kita. Yang lebih memiriskan saya. Ketika 4 orang petugas itu dijerat sebagai tersangka. Namun tidak ada satupun demonstran yang melalaikan protokol kesehatan diurus aparat.

Padahal pelanggaran mereka jelas dan telanjang.

Mengumpulkan orang tanpa protokol kesehatan, saat pandemi seperti sekarang, jauh lebih bahaya ketimbang petugas pria yang memandikan jenazah wanita. Dalam kondisi darurat. Hukum bukannya bertugas melindungi kepentingan masyarakat luas. Tapi kali ini dijadikan alat untuk memuaskan hasrat beragama yang sempit dari hanya sekelompok orang.

Hukum menjadi mandul akibat tekanan publik. Ketika mendengar berita ini saya berusaha keras mencari kontak para tersangka. Yang menurut kesimpulan saya telah dikriminalisasi. Saya menghubungi Roni.

Salah satu petugas di sana. Saat saya telepon Roni baru saja selesai mengurus jenazah di kamar mayat RSUD tersebut. Ia bersama rekannya. Empat orang itu.

Kenapa ia masih kerja, padahal ia sudah jadi tersangka?

Menurutnya jika mereka semua gak bekerja. Lalu siapa yang akan mengurus jenazah-jenazah di ruangan ini. Siapa lagi yang harus merapihkan jenazah korban kecelakaan yang tubuhnya hancur? Siapa lagi yang harus memperlakukan secara manusiawi jenazah tunawisma yang telah membusuk?

Siapa lagi yang harus menegakkan protokol kesehatan terhadap jenazah pasien Covid19?

Roni dan ketiga rekannya hanya orang kecil. Ia mengais rezeki dengan mengurus mayat setiap hari. Ia bekerja tidak kenal waktu. Kini masa depannya gelap. Masa depan anak-anaknya kelabu. Hanya karena kemarahan gerombolan orang yang keranjingan demo dan jihad.

Kasus ini mestinya membuka mata kita. Betapa kita sudah memperlakukan tenaga-tenaga medis kita secara salah. Alih-alih berterimakasih, kini kita malah mau memenjarakannya.

Saat ini kasusnya sudah final di tangan kepolisian. Polisi sudah menyerahkan berkas ke kejaksaan. Sebentar lagi Roni dan ketiga rekannya akan duduk di bangku pesakitan.

Dan siapa lagi yang bahkan mengurus jenazah di RSUD tersebut? Saya gak tahu.

Semestinya pemerintah turun tangan. Jangan biarkan Nakes kita dikriminalisasi dengan cara kasar begini. Pemerintah harus menyiapkan lawyer terbaik untuk membelanya. Sekadar memberi penegasan bahwa pengorbanan tenaga kesehatan itu tidak dibalas dengan air kencing onta.

Para penegak hukum rasanya juga harus lebih bijak. Jangan gegabah menggunakan pasal penistaan agama untuk kasus-kasus sepele. Yang bahkan motif ke arah itu saja gak ada.

Jangan mau tunduk pada tekanan gerombolan orang yang mau menempatkan tafsir mereka atas agama posisinya berada di atas hukum formal.

Sebagai masyarakat yang waras, kita penting untuk terus menyuarakan dukungan pada Roni dan rekan-rekannya. Mereka sudah berjuang demi kita. Mereka rela berkorban bahkan mempertaruhkan nyawanya demi masyarakat. Kita tidak mau menjadi bangsa biadab, yang membalas semua jasa dan pengorbanan mereka. Dengan memenjarakannya.

“Mas, kalau memandikan Nissa Sabyan itu hukumnya apa?” celetuk Abu Kumkum.

Busyet nih anak. Gue lagi emosi masih aja diledek…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.